Kolom

Membangun Peradaban Bangsa Melalui Jalan Literasi Desa

Oleh Aris Purwanto, Mahasiswa aktif Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

What is wrong with education? pertanyaan tersebut adalah suatu ungkapan yang muncul ketika suatu masyarakat mengalami carut marut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pertanyaan tersebut muncul karena notabennya pendidikan adalah suatu pondasi yang sangat penting dalam membangun peradaban suatu bangsa, ketika kita menilik sejarah peradaban Negara-negara yang besar dan maju pastilah mereka adalah Negara yang besar pula dalam hal pendidikan sehingga menguasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjaga dan mendukung kegiatan berbangsa dan bernegara.

Islam muncul kedunia arab dengan membawa risalah keilmuan, hal ini dibuktikan dengan turunnya ayat pertama kepada Nabiyullah Muhammad S.A.W, lewat Q.S Al-Alaq ayat 1-5 tersebut membuktikan bahwa berislam haruslah berkorelasi lurus dengan tradisi keilmuan. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Mencipta” adalah ayat pertama dalam surat tersebut, ayat ini menekankan bahwa pesan pertama kali yang disampaikan kepada Nabi Muhammad lewat malaikat Jibril tersebut tidak mempersempit makna iqro’ secara terminologi. Iqro apapun yang bisa kita iqro namun tetap dengan mengedepankan “Bismirrabikalladzikholaq”. Tradisi iqro yang telah berkembang dalam masyarakat islam kala itu membawa dampak munculnya renaissance of islam selama kurang lebih 6 abad lamanya, renaissance of islam tersebut dirintis dari kota kecil bernama Yastrib kemudian berubah nama menjadi Madina, suatu peradaban islam yang cerah dan mencerahkan dengan iman. Kala islam mencapai puncak tertinggi dalam konteks peradaban tersebutlah lahir cendekiawan-cendekiawan yang tidak hanya fasih dalam ilmu fiqih namun juga mahir dalam ilmu pengetahuan secara universal.

Namun bagaimana dengan keadaan umat dan bangsa kita saat ini?, Indonesia adalah penduduk muslim terbesar didunia dan didukung dengan segala potensi sumber daya alam serta manusia yang melimpah, lebih dari 262 juta penduduk bukanlah hal yang kecil jika kita membandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki jumlah penduduk sebesar 327 Juta jiwa, namun kenapa Amerika dengan jumlah penduduk satu rangking diatas kita mampu menjadi Negara super power sedangkan kita tidak? maka kita harus kembali merefleksikan diri pada pertanyaan What is wrong with education ? apa yang salah dengan pendidikan ?, menurut The Word’s Most Literate Nation (WMLN) tahun 2016 menyebutkan bahwa Amerika serikat menempati peringkat ke 7 dari 10 negara dengan tingkat literasi terbaik di dunia, sedangkan Indonesia dalam hal minat baca menempati peringkat ke 60 dari 61 soal minat baca, terlepas dari apa indikator yang dipakai oleh WMLN dalam melakukan penilaian tersebut, hasil diatas tentu merupakan suatu tamparan telak bagi kita, mungkin hal diatas menjadi salah satu faktor munculnya suatu ungkapan bahwa “orang Indonesia adalah individu yang suka berbicara namun malas ketika disuruh untuk membaca”, kelemahan masyarakat Indonesia dalam hal membaca juga pernah diungkap oleh data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 yang menerangkan bahwa presentase baca masyarakat Indonesia hanya 17,66%, angka tersebut sangat rendah jika disbanding dengan budaya menonton TV 91,68% dan mendengar radio sebesar 18,67%.

Problematika bangsa dalam kaitan minat baca sudah waktunya menjadi perhatian serius segala komponen penunjangnya, minat baca di Indonesia harus kembali ditingkatkan dengan gerakan nyata yang tidak hanya sebatas pada wacana maupun sumbangan pemikiran belaka.

Meningkatkan minat baca masyarakat tentu dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dan jalan, selain lewat jalur pendidikan secara formal para pegiat literasi harus mampu masuk menjemput bola ke masyarakat, kenapa kita harus menjemput bola? Karena tidak semua orang mampu mencicipi nikmatnya bangku pendidikan secara formal, Hardjoprakosa dalam Kasiyun (2013) menjelaskan bahwa penyebab rendahnya minat baca adalah (1) kurangnya motivasi dari pemerintah dan swasta kepada anak didik untuk membaca; (2) kurangnya peran orang tua untuk mengarahkan anak untuk memprioritaskan beli buku daripada membeli mainan atau jajanan; (3) Harga buku yang terlalu tinggi sehingga sulit terjangkau oleh masyarakat luas; (4) Kurangnya para pengarang dan penerjemah akibat royalty yang tidak menentu; (5) Perpustakaan umum yang jumlahnya belum mencukupi untuk melayani masyarakat; (6) Perpustakaan masjid yang belum terkelola dengan profesional. Poin 3,4 dan 6 yang telah di terangkan diatas menjadi salah satu landasan dasar kenapa gerakan peningkatan minat baca haruslah dilakukan secara massif dan terorganisir agar dapat menjangkau segala lapisan masyarakat, oleh karena itu sudah seharusnya komunitas-komunitas baca selain berada dalam lingkungan akademisi harus pula memikirkan gerakan yang nyata untuk masuk dalam lingkungan masyarakat desa secara langsung, hal ini bertujuan untuk mengimbangi ketimpangan wawasan antara masyarakat kota dan desa sehingga membaca dapat menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia baik dikota maupun didesa, diharapkan dengan meningkatnya tradisi iqro dalam masyarakat membuat Indonesia mampu melahirkan generasi-generasi yang cerah dan mencerahkan serta terbebas dari belenggu kejumudan pemikiran.

*Penulis adalah Aris Purwanto mahasiswa dan aktifis IMM Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Aji Rustam

Jurnalis MPI PWM Jateng, Wartawan Seniour TribunJateng

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE