BeritaKolom

Demokrasi dan Kontestasi Etika

Demokrasi dan Kontestasi Etika

Oleh : Muhammad Yunus, S.Ag.*

PWMJATENG.COM – Di tengah tensi politik yang memanas akhir-akhir ini, terdapat diskursus penting yang akan dikenang dalam sejarah demokrasi kita, yakni diskursus etika. Diskursus etika ini menyeruak menjadi perhatian dan sorotan publik di tengah konstelasi elektoral. Pelanggaran etika dalam berbagai agenda politik membuka mata dan memantik nalar publik bahwa pada praktiknya agenda demokrasi prosedural itu masih dipandu oleh budaya transaksional dari pada nilai-nilai etika dan moral. Diskursus etika ini menjadi penting karena memberikan dasar moral. Artinya, menghilangkan etika dari kehidupan politik berimplikasi pada praktik politik Machiavelistis, yakni politik sebagai alat untuk menaklukkan sesuatu, baik atau buruk, benar atau salah, patut atau tidak tanpa mengindahkan kesusilaan, norma dan bebas nilai. Pada sisi yang lain, diskursus etika menjadi keruh karena selalu diresonansikan pihak tertentu untuk mendapatkan kepentingan elektoral. Etika menjadi kerpihatinan para pengabdi ilmu pengetahuan akhir-akhir ini ketika menjadi bahan olok-olok yang disandingkan dengan kata-kata umpatan.

Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjadi penguat bukti pelanggaran etik oleh Mahkamah Konstitusi dalam urusan pengubahan batas usia minimal calon presiden-calon wakil presiden. Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan bahwa Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan enam anggota KPU pusat melanggar kode etik penyelenggaraan pemilu, resonansi etika semakin bergelora setelah berkali-kali disinggung dalam debat calon presiden-calon wakil presiden dan setiap agenda politik seremonial. Diskursus etika ini juga mengemukakan dalam pembagian bantuan sosial yang diduga kuat melibatkan sumber daya Negara untuk membantu menjaga elektabilitas konstestan pemilu tertentu.

Kepala Negara juga menyampaikan pandangan bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye juga memancing perdebatan etika. Representasi civil society yang memiliki kewarasan nalar intelektual terpanggil untuk menyampaikan pandangan kebangsaan atas terjadinya erosi demokrasi yang disebabkan moralitas, etika dan nilai-nilai luhur bangsa buruh dan memperingatkan untuk kembali pada rel konstitusi.

Franz Magnis Suseno (1988) berpandangan bahwa etika menjadi relevan dan akan senantiasa relevan untuk diperbincangkan karena kehidupan manusia terus-menerus ditandai peperangan antara kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil) yang tak akan pernah berhenti. Etika mendasarkan diri pada rasio yang menentukan moral kebajikan. Diskursus etika diangkat ke ruang publik agar pertentangan kepentingan-kepentingan tidak hanya mungkin untuk didamaikan, akan tetapi proses perdamaian itu mampu memenuhi cita rasa norma-norma keadilan dan kemanusiaan. Diskursus etika pada level waktu maupun mikro membimbing manusia bersama ilmu (science) dan estetika agar dapat mencapai tujuan bersama sebagaimana diungkapkan Aristoteles sebagai eudemoni (kebahagiaan).

Baca juga, Teladan Kiai Dahlan

Dalam konteks kepemimpinan, Negara, semua modus kekuasaan harus menghasilkan kebahagiaan (the pursuit of happiness) . Ini senada dengan ungkapan Abu Nasr Al-Farabi dalam Madinah al-Fadhilah, bahwa Negara yang baik itu berbuah kebahagiaan. Salah satu variabel penting parameter kualitas demokrasi adalah pemilu yang demokratis. Aspek penyelenggaraan pemilu dalam konteks ini menjadi penting untuk dikawal dan ditelaah kritis karena bisa menutupi kemunduran demokrasi di Indonesia. Pemilu yang demokratis bukan satu-satunya penentu indeks demokrasi.

Tentu ada faktor-faktor lain seperti kebebasan berekspresi, meningkatnya sensor pemerintah terhadap media dan tindakan represif terhadap masyarakat sipil sebagaimana yang dilaporkan oleh Varietes of Democracy dalam Democracy Report 2023. Etika penting mewarnai dan memandu pemilu. Problem ertik dalam penyelenggaraan pemilu kali ini menjadi preseden buruk yang akan menjadi memori kolektif bangsa.

Krisis keteladanan pemimpin Negara, kerapuhan pengawasan, integritas para wasit pemilu yang lemah, hingga politik transaksional adalah problem krusial demokrasi elektoral saat ini. Keteladanan elite Negara menjadi aspek penting dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Keteladanan pemimpin Negara itu setidaknya bersikap netral terhadap semua proses penyelenggaraan pemilu. Ekspektasi publik agar elite Negara netral, tidak cawe-cawe, tentunya menjadi harapan semu saat konsistensi terhadap inkonsistensi setiap pernyataan elite Negara yang dilafalkan dan kebijakan Negara yang dihancurkan,

Indikasi kecurangan dan mobilisasi aparatur Negara oleh para pemimpin semakin gencar dan vulgar. Dalam kondisi seperti ini, lahirlah public distrusi terhadap elite pemimpin Negara.. publik hanya melihat politik akhir-akhir ini mengamalkan yang pernah dikemukakan Maxwell (1936), yakni who gets what, when and how. Publik yang fakir akan kuasa hanya bisa menyimak percakapan elite tentang drama orkestrasi elektoral sembari berimajinasi lahir para negarawan dari rahim politik. Kerisauan saat ini barangkali relevan dengan yang pernah dikumandangkan oleh Buya Ahmad Syafi’i Maarif, bahwa bangsa ini surplus politikus, tapi defisit negarawan.

Baca juga, Delapan Etos Kerja Kader Muhammadiyah

James Freeman Clarke (1810-1888), seorang teolog Amerika Serikat, menyajikan perbedaan antara politisi dan negarawan. The difference between politician and a stateman is that a politician thinks about the next election while stateman thinks about the next generation.

Berbasis cerita pewayangan, kita berharap saat ini ada sosok elite Negara seperti Abiyasa yang dikenal sebagai pemimpin yang rancakaprawa (bijaksana) dan sutiknaprawa (empati terhadap penderitaan rakyatnya), serta bergelar Dewayana (seperti dewa). Seorang raja yang tidak terlena oleh kekuasaan. Ketika tugas selesai, jabatan diserahkan kepada Pandu sebagai penerus tahta kerajaan Astina. Abiyasa memilih bertapa di Wukir Betawu dan bergelar Begawan Abiyasa, hingga suatu ketika mencapai level ngerti sadurunge winarah. Kelompok kritis civil society tetap akan mengemukakan seruan dan gerakan moral—walaupun dituduh sebagai gerakan partisan—untuk mengingatkan pentingnya komitmen etik serta keteladanan elite Negara.

Pemilu sebagai kanalisasi demokrasi adalah ikhtiar memberikan hak dan kesempatan kepada setiap warga agar bisa memilih wakil dan pemimpin yang sejalan dengan kewarasan akal sehat dan hati nurani. Meminjam istilah Rama Franz Magniz Suseno, pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi mencegah yang terburuk berkuasa. Semoga etika, moral dan nilai-nilai bangsa bisa direnungi dan menghiasi setiap gerak langkah para pemimpin yang hendak berkuasa. 

*Ketua Umum Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Undaan Kudus, Anggota Bidang Hikmah & Advokasi Kebijakan Publik PD Pemuda Muhammadiyah Kudus.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE