Berita

Sumbangsih Kasunanan Surakarta bagi Peradaban Islam dan Muhammadiyah

Sumbangsih Kasunanan Surakarta bagi Peradaban Islam dan Muhammadiyah

Oleh : Yudi Janaka*

PWMJATENG.COM – Siang tadi saya bersama Ndan Wiwaha, Pakdhe Wakhid dan Ndan Eko nderekke Bopo Kiai Tafsir, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah sowan silaturahmi ke Kasunanan Surakarta . Momen syawalan memang paling tepat untuk silaturahmi. Secara tradisi Jawa memang sedemikian. Diterima oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari. Karib disapa Gusti Moeng. Beliau Pangageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat Kasunanan Surakarta.

Sasana Wilapa merupakan lembaga keraton yang berfungsi sebagai sekretariat umum Keraton. Dengan tugas pokoknya membuat surat-surat resmi serta meneruskan perintah raja yang berkuasa. Lembaga ini ada sejak PB XII, ayah Gusti Moeng. Sejak masa kemerdekaan, PB XII tidak lagi menggunakan patih untuk mendampingi tugas-tugas kesehariannya. Dibentuklah empat lembaga Keraton. Seperti Parentah Keraton, Parentah Keputren, Kasentanan, serta Sasana Wilapa.

Kasunanan Surakarta ini memegang peranan penting bagi peradaban serta perkembangan Islam di Jawa. Banyak literasi menunjukkan kontribusi Kasunanan Surakarta terhadap dakwah Islam. Dalam babad Pakepung, sebuah manuskrip Jawa yang menceritakan periode pemerintahan PB IV saat berkuasa sebagai raja Kasunanan Surakarta, menceritakan secara detail bagaimana ketaatan PB IV sebagai raja Mataram Islam. Beliau benar-benar ingin menegakkan Islam secara kaffah. Banyak dibangun masjid keraton di luar keraton. Plus diperbanyak abdi dalem pengulon. Abdi dalem yang bertugas menyebarkan serta mengajarkan Islam bagi masyarakat Jawa. Pun diperbanyak adanya tanah perdikan. Satu tugas kepala tanah perdikan adalah memperluas basis penyebaran keagamaan (Islam) di sekitar tanah perdikan.

PB IV ini mengarang serat wulangreh. Sebuah kitab jawa yang lekat dengan nilai- nilai Islam. Di buku tersebut beliau menyebut Mataram dengan Matawis. Mataram Islam. Islam menjadi sebuah konsideran utama dalam hal ihwal adat serta budaya keraton. Kasunanan Surakarta secara jelas menyebutkan sumber hukumnya adalah Alquran, Hadis, Ijma, serta Qiyas.

Baca juga, Muhammadiyah dan Salafi: Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru

Menghadapi penjajah Belanda yang juga membawa misi zending (misionaris). PB IV harus bermain cantik dalam strategi dakwahnya. Setelah terjadi peristiwa pakepung. Penggantinya, PB V menulis kitab centhini. Sebuah kitab Jawa yang menceritakan adiluhungnya budaya Jawa. Bagi saya serat Centhini, lebih ” lunak” dibanding serat Wulangreh. Meski juga intim dengan pesan Islam.

PB V tak berumur panjang. Diteruskan oleh PB VI. Seorang raja Kasunanan Surakarta yang mempunyai semangat keislaman dan nasionalisme seperti kakeknya PB IV. Beliau menjadi pendukung utama pangeran Diponegoro dalam perang Jawa yang berkembang pula menjadi perang suci. Selang sekitar 2 bulan Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda. PB VI ditangkap pula.

Episode selepas perang Jawa inilah, Belanda memulai propaganda untuk memisahkan Islam dengan budaya Jawa. Belanda tak ingin perang suci terulang lagi. Sebuah perang yang sangat merugikan Belanda. Sebuah penelitian antropolog Amerika Clifford Geertz yang mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan menunjukkan upaya Belanda untuk memisahkan Islam dan budaya Jawa. Dan sedikit banyak berhasil.

Anak PB VI , kemudian menjadi PB IX. PB VII dan PB VIII merupakan anak PB IV. Mereka berdua tak mempunyai putra. Tahta Kasunanan kembali kepada anak PB VI. Periode PB IX inilah Kasunanan Surakarta banyak mendapat limpahan ekonomi secara besar-besaran gegara kebijakan UU Gula dan UU Agraria yang dikeluarkan Belanda. Sebagai sebuah “kompensasi” atas kebijakan tanam paksa seusai perang Jawa.

Kasunanan Surakarta mencapai kejayaan era PB X. Memerintah tahun 1893- 1939. Beliau sangat terkenal sumbangsihnya pada masa pergerakan nasional. Beliau juga berperan serta membantu pergerakan Boedi Oetomo dan pendirian Sarekat Dagang Islam. Bahkan putra beliau yang kelak menjadi PB XI ditugasi sebagai pelindung Sarekat Islam.

Kelindan SDI kemudian SI inilah yang membuat kontribusi PB X kepada Muhammadiyah juga relatif tinggi. Satu bukti nyata adalah tautan sekolah milik keraton yang bernama Mambaul Ulum dengan Muhammadiyah. Banyak guru pun ulama Muhammadiyah Solo alumni Mambaul ulum. Beberapa pendiri Muhammadiyah Solo merupakan abdi dalem maupun sentana dalem keraton Kasunanan Surakarta. Sebut saja Raden Ngabehi Darsosasmito, Raden Ngabehi Parikrangkungan, serta RM. Sontohartono juga RM. Mangkutaruno. Yang menjadi guru utama saat itu ialah Haji Misbach. Seorang ulama yang berasal dari Kauman. Tempat di seputaran Masjid Agung Kasunanan Surakarta.

Baca juga, Mengkaji Keunggulan Bahasa dan Sastra Al-Qur’an

Tahun 1917, KH Ahmad Dahlan mengunjungi Solo. Diterima oleh tokoh Muhammadiyah di Keprabon Solo. Karena oleh Belanda, nama Muhammadiyah hanya boleh dipakai di Jogja, atas saran KH Ahmad Dahlan perkumpulan Muhammadiyah Solo diberi nama Sidiq Amanah Tabligh Fathonah disingkat SATV. Pada tahun 1921 akhirnya Belanda memperbolehkan perluasan daerah operasional Muhammadiyah. Tak terbatas di Yogyakarta.

Pada tahun 1929. Muktamar Muhammadiyah ke-18 diadakan di Surakarta. PB X juga memberikan sumbangannya. Di wilayah Sukoharjo. Perluasan operasional Muhammadiyah secara resmi juga berdiri di 4 tempat. Dituliskan berdiri resmi gerombolan Muhammadiyah pada tahun 1927. 4 wilayah itu adalah Kedunggudel, Pojok (Mulur), Sukoharjo, dan Kartasura.

Eloknya 2 tempat dari 4 tempat tersebut berpusat di tanah perdikan Kasunanan Surakarta. Yaitu Kedunggudel dan Pojok. Di Kedunggudel ini juga berdiri masjid keraton yang masih berdiri megah saat ini. Masjid Darusalam Kedunggudel.

Bagi Muhammadiyah, budaya menjadi salah satu penopang dakwah. Bersama SDM, Ekonomi dan politik. Keraton Kasunanan Surakarta yang menjadi punjer budaya Jawa yang berkiblat ajaran Islam jelas memiliki peranan penting. Fakta ini tak bisa disembunyikan atau dihilangkan.

Untuk itulah perlunya harmonisasi relasi Muhammadiyah dengan Keraton. Dalam hal ini keraton Kasunanan Surakarta. Sejarah juga sudah membuktikan sumbangsih keraton Kasunanan Surakarta bagi Muhammadiyah. Keraton Kasunanan Surakarta juga telah memberikan gelar Kanjeng Raden Aryo Tumenggung (KRAT) kepada Bopo Kyai Tafsir. Nama lengkapnya Kanjeng Raden Aryo Tumenggung Dr. Tafsir Dwijoluhur Pujonagoro, M.Ag.

Sekelumit tulisan ini mencoba untuk menggugah kembali mesranya hubungan Keraton Kasunanan Surakarta dengan Muhammadiyah. Saatnya sejarah diluruskan!

*Pemerhati sejarah & warga Muhammadiyah Sukoharjo.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE