Kolom

 LITERASI ERA MEDSOS

Oleh : Hendro Susilo

Kepala SMA Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta/ Sekretaris MPI Kota Solo

“Berbicara lebih mudah daripada menulis”. Kalimat tersebut terucap dari seorang siswa kami yang sedang memberikan kultum di sekolah. Memang, tiap ba’da sholat dhuha,  Sekolah kami memprogramkan “dai siswa” sebagai sarana belajar sekaligus saling menasehati diantara warga sekolah.” Menulis” dalam hal ini merujuk pada arti membuat suatu karya tulisan, dimana karya tersebut diperoleh setelah membaca, menyimak dan berbicara yang dituntut kurikulum sekolah.

Saya menyimak isi kultum tersebut, saya mencoba berfikir dan merefleksikan tausiyah dari siswa kami. Tersirat, membangun budaya menulis dalam diri siswa memiliki tantangan berat saat ini. Tantangan muncul dari perkembangan media sosial, dimana siswa sebagian besar adalah pengguna gadget yang secara tidak sadar, berdampak pada budaya tulis menulis.

Sebelum menjabarkan tantangan dalam membangun budaya menulis, sedikit saya  uraikan betapa dahsyatnya budaya menulis. Buya Hamka pernah memberikan nasihat “dengan menulis membuat hidup ini tidak sekedar hidup”. Menulis mampu membuat perubahan sosial dalam masyarakat, bahkan sebuah tulisan mampu membentuk suatu peradaban. Menulis adalah sesuatu yang mulia, setelah membaca ada kewajiban untuk menulis agar ilmu yang diperoleh tidak lepas begitu saja. Seperti nasihat Ali bin Abi Thalib “ikatlah ilmu dengan menulis”

Mengingat dunia tulis menulis sangat erat dengan ilmu dan dunia pendidikan, sekolah sebagai institusi pendidikan berperan besar dalam membangun budaya menulis. Namun tantangan menghadang, dunia media sosial yang berkembang pesat berpengaruh pada minat baca dan tulis siswa. Berdasarkan survey Kemenkominfo RI, Indonesia di tahun 2014 saja terdapat 82 juta orang pengguna internet. Dari jumlah tersebut, 80 % pengguna adalah usia sekolah antara 15-19 tahun yang menggunakan akses media sosial.

Angka remaja usia sekolah  pengguna media sosial yang besar diatas perlu kita cermati. Hal itu bisa berdampak positif maupun negatif. Positif jika sekolah mampu mengelola usia remaja pengguna media sosial untuk memanfaatkan media sosial menjadi bahan informasi dan bacaan. Sebaliknya, jika remaja pengguna media sosial terbuai dan larut dalam keasyikan berselancar di dunia maya tanpa makna,kita perlu waspadai.

 

Buku vesus Internet

Alangkah indahnya jika kita melihat usia remaja/pelajar lebih mencintai membaca buku daripada menonton televisi, bermain game atau bermain gadget. Bagaimanapun, membaca buku akan membuka titik terang cakrawala pemikiran. Peran buku masih sangat sentral dan kuat dalam pendidikan.

Muncul pertanyaan, jika buku menjadi sentral dalam pendidikan, lantas mengapa budaya baca kalangan pelajar rendah? Terus bagaimana dengan nasib budaya menulis dikalangan pelajar jika budaya baca saja rendah? Apakah perkembangan internet dan media sosial ikut menyumbangkan rendahnya minat baca buku? Jawaban dari pertanyaan ini mungkin masih diperdebatkan.

Menarik dicermati, Direktur International Informatics Institute New York, Jack Powers pernah mengatakan 90 % orang yang membaca sebuah halaman web, tidak melakukan scroll down. Artinya, mereka tidak akan meneruskan membaca halaman berikutnya. Internet tidak mengajarkan konsentrasi secara konstan, upaya yang tekun, dan kesabaran untuk mengakses hal yang sama secara terus menerus. Bahkan, merusak konsentrasi dikarenakan pengguna internet sering klik sana klik sini untuk mengganti informasi, jadi ada kesan menggunakan internet untuk hiburan semata.

Berbeda halnya dengan buku, buku mampu merangsang imajinasi pembacanya. Membaca buku mampu membangun konsentrasi secara konstan, mampu membangun cara berfikir yang runtut dan mendalam. Ini tidak didapatkan ketika membaca dari media internet atau melihat televisi yang biasanya sudah ada visualisasinya. Jadi terdapat perbedaan karakteristik ketika kita membaca informasi dari buku dan internet.

Membaca adalah jantung pendidikan. Setelah budaya membaca tumbuh baik di sekolah, tinggal selangkah lagi memasuki budaya menulis. Setiap sekolah pasti ada buku dan perpustakaan, tinggal mendorong para siswa menjadikan membaca menjadi kebiasaan. Menjadikan membaca sebagai budaya bagi siswa juga bukan perkara mudah, ditengah serbuan media sosial yang lebih menggoda dibandingkan buku.

 

 

 

Ikhtiar Membangun Budaya Menulis

Menulis tentu tidak semudah berbicara, seperti yang diutarakan siswa saat tausiyah tersebut. Menulis memang proses kreatifitas untuk menciptakan sesuatu. Keterampilan menulis diawali dari kegemaran membaca buku, menyimak, dan berbicara. Ibarat gelas kosong, jika diisi air terus menerus maka akan meluber. Begitupun membaca dan menyimak jika terus menerus maka akan mendorong proses menulis.

Sekolah wajib menumbuhkan budaya literasi, baik membaca dan menulis. Aktifitas sekolah sebenarnya tidak terlepas dari buku, ini sebenarnya potensi besar untuk menumbuhkan budaya menulis. Sebagai saran, sekolah bisa menumbuhkan budaya menulis dengan 3 hal, yakni memotivasi bahwa menulis itu keren, melengkapi sarana penunjang literasi, dan memberi perhatian besar pada kegiatan menulis.

Pertama, memberi motivasi bahwa menulis itu keren, karena menulis bagian ibadah dan bisa memberi manfaat untuk orang lain. Selama ini ada anggapan yang keliru, bahwa menulis itu bakat. Sebenarnya keterampilan menulis bisa di pelajari, sehingga aktifitas menulis di sekolah bisa ditumbuhkan dan dilatih. Sekolah harus memberikan ruang aktualisasi dan motivasi yang kuat untuk menulis pada siswanya.

Kedua, Perpustakaan bisa ambil peran besar dalam menumbuhkan literasi. Selain melengkapi buku bacaan yang menarik minat baca, ada baiknya setiap sudut sekolah tempat siswa berkumpul dan berdiskusi saat istirahat, ada “pojok buku” yang menyediakan dan bisa dibaca siswa. Ini lebih baik daripada siswa berkumpul sambil membawa gadget di tangannya.

Ketiga, sekolah memberi perhatian besar pada kegiatan menulis. Ini penting, sebab suasana literasi yang subur di sekolah akan berpengaruh pada siswanya. Dukungan sekolah terhadap literasi dapat dilakukan pada setiap aspek kegiatan sekolah. Kegiatan KBM, kegiatan ekstrakurikuler, Outing Class, PMR, Jurnalistik dan lain sebagainya dapat dibuat beragam karya tulis siswa. Jadi dunia tulis menulis tidak diidentikkan dengan jurnalistik saja. Selain itu, beragam lomba karya tulis, mengirimkan naskah siswa ke media massa, pelatihan menulis perlu digalakkan di sekolah.

Kita bersyukur, akhir akhir ini pemerintah memprogramkan sekolah literasi dan membuat contoh model sekolahnya. Program ini muncul dikarenakan memang rendahnya budaya literasi di sekolah-sekolah.Tidak  semua sekolah menaruh perhatian besar pada dunia menulis untuk siswanya. Perkembangan Internet dan Media sosial, mari kita sambut dengan memanfaatkannya sebagai salah satu sumber informasi untuk lebih menggairahkan budaya literasi. Tentunya, tetap menggunakan buku sebagai “teman setia” penumbuh budaya literasi di kalangan pelajar.InshaAllah,Salam LITERASI !

 

 

Aji Rustam

Jurnalis MPI PWM Jateng, Wartawan Seniour TribunJateng

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE