Nikahi Aku dengan Al-Qur’an
Nikahi Aku dengan Al-Qur’an
Oleh : Abi Ramadhan As-Samarani
Bagian 5
Belajar Mengaji
“Assalamualaikum!” Yadi mengucapkan salah saat memasuki ruang Masjid.
“Waalaikum Salam Warahmatullahi! Oh, Mas Yadi, silakan!” Ustaz Bahrul memberi kode Yadi untuk masuk dan mengambil tempat duduk.
Yadi pun masuk dan duduk agak belakang, di belakang anak-anak TPQ yang menunggu antrean. Ustaz Bahrul tampak sibuk dengan 20 orang anak TPQ yang menjadi muridnya. Ia tidak sendirian, melainkan ditemani seorang Ustadh lainnya yang juga secara bergantian dengannya menyimak dan mengoreksi bacaan Iqra’ anak-anak.
“Mas Yadi, apa bersedia membantu untuk mengajari anak-anak?” Ustaz Bahrul menoleh padanya sambil bertanya dengan senyum.
“Eh, tidak Ustaz. Silakan dilanjut!” Yadi tergagap menjawab tawaran Ustaz.
Ia tersenyum kecut karena di masjid ini level mengajinya sama dengan beberapa santri TPQ. Malah, sebagian santri suda lebih lama belajar pada Ustaz Bahrul dibandingkan dengan Yadi. Tawaran Ustaz Bahrul mungkin disampaikan secara tulus, tapi Yadi tahu posisi dan kemampuannya.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (1)
Saat Ustaz Bahrul kembali dengan kesibukannya, Yadi terduduk dalam renungan. Usia Ustaz Bahrul sepertinya hampir sama dengan usianya. Tapi, hari-hari beliau dipergunakan untuk memberikan pengajaran ilmu pada anak-anak. Sementara hari-harinya selama ini dihabiskan untuk hura-hura. Andai ditimbang kebaikan keduanya di akhirat nanti, sudah bisa ditebak siapa yang lebih banyak amal kebaikannya.
Yadi tersadar. Tantangan yang diberikan Icha untuk memberi mahar bacaan Al-Quran 30 juz bukan sekedar jalan untuk memperoleh tiket pernikahan. Bagi Yadi sekarang, tantangan Icha telah menjadi “berkah di tengah musibah”. Mungkin Icha sendiri tidak menyadari bahwa syarat yang ia berikan akan mengubah hidup Yadi. Yadi mulai menjalani proses hijrah dan merasakan hikmah dari perubahan pola hidup yang ia sedang alami. Saat memikirkan itu semua, ada kehangatan aneh yang menyelimuti dada Yadi. Kebahagiaan dengan berhura-hura tidak bisa diperbandingkan dengan kebahagiaan saat ia belajar mengaji dan mendalami ilmu agama.
“Silakan, Mas Yadi. Giliran Anda!” Suara Ustaz Bahrul menyentak lamunan Yadi.
“Baik, Ustaz. Sekarang sudah sampai akhir jilid 5 ya?” Tanya Yadi mengkonfirmasi perkembangan mengajinya.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (2)
“Benar, Mas! Sekarang kita sampai batas akhir jilid 5. Kemajuan belajar Mas Yadi cukup membanggakan, mengingat baru 3-4 bulan mengaji di sini.” Ujar Ustaz Bahrul memuji.
Tanpa ragu, Yadi mengikuti bacaan Ustaz Bahrul. Meski belum sepenuhnya fasih, setidaknya huruf-huruf hijayyah itu tidak tampak asing lagi. Sambungan-sambungan huruf hijaiyyah yang bagaikan tali temali itu bisa dikenali Yadi dengan mudah, meski beberapa butuh waktu untuk mengenalinya. Hanya saja, makhraj dan kelancaran bacaan Yadi yang masih harus diasah.
Setiap melafalkan huruf-huruf hijaiyyah Yadi menjadi takjub. Bacaan Iqra’ yang sederhana itu mampu menggugah relung kalbunya. Ada perasaan damai saat bibir melafalkan kata dan kalimat satu demi satu hingga pada susunan kalimat yang cukup panjang. Seolah, kutipan bacaan Alquran itu mantra pembebas dan penerang jiwa.
Karena itu, saat tiba di rumah malam harinya, Yadi sempatkan diri untuk untuk membaca Alquran secara mandiri. Ia lakukan itu secara diam-diam agar tidak diketahui orang rumah, termasuk ibunya. Ia tahu ibunya pernah menanyakan apa yang ia baca di kamar, tetapi Yadi belum mau untuk berterus terang. Yadi masih belum mampu untuk mengungkap perubahan yang ia alami dan alasannya. Ia menunggu saat yang tepat untuk itu.
Selesai mengaji, Yadi bertanya pada Ustaz Bahrul.
“Ustaz, kapankah kiranya saya bisa selesai mengaji hingga jilid 6 dan bisa mengkhatamkan Alquran?”
“Kenapa Mas Yadi begitu tergesa ingin selesai?” Tanya Ustaz Bahrul.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (3)
Sudah barang tentu Yadi tidak bisa mengungkap kegelisahan dan alasannya pada Ustaz Bahrul. Yadi tidak pula bisa mengatakan bahwa ini semua berawal dari masalah perempuan. Huh, sungguh memalukan kalau hijrah itu karena perempuan. Rasulullah sendiri pernah bersabda bahwa segala sesuatu tergantung pada niat. Orang ada yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya dan ada pula yang karena harta dan perempuan. Yadi belum bisa menjawab apakah motivasi hijrahnya saat ini.
Beruntung, Ustaz Bahrul tidak mendesak Yadi untuk menjawab. Beliau justru memilih untuk memberikan wejangan.
“Begini, Mas! Mengaji Alquran itu adalah bentuk keterampilan. Keterampilan itu butuh proses pemerolehan secara bertahap dan berulang-ulang. Setiap orang punya kecepatan belajar yang berbeda. Mas Yadi termasuk cepat dalam belajar, tapi masih banyak celah kekurangan yang perlu ditutup dan diperbaiki.”
Yadi tersipu dengan pujian Ustaz Bahrul. Bagaimana pun usaha Yadi menahan diri untuk tidak menemui Icha dan untuk memenuhi persyaratan Icha membuatnya berharap proses itu bisa berjalan lekas. Berat sekali rasanya!
“Yang penting, jalani proses mengaji ini dengan tekun. Ketekunan bisa mengalahkan kepandaian. Ketekunan pula yang akan membuat Mas Yadi bisa menemukan ceruk-ceruk hikmah dalam proses belajar mengaji ini. Keterampilan mengaji Alquran itu seharusnya bukan menjadi tujuan, Mas Yadi. Tujuan akhir belajar Alquran adalah untuk menuntun diri kita menjadi hamba yang bertakwa.”
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (4)
“Baik, Ustaz Bahrul! Saya mengerti! Apa yang Ustaz Bahrul sampaikan benar adanya. Saya menyadari bahwa saya perlu untuk memperbaiki niat dalam mengaji. Saya akan berusaha untuk lebih fokus pada proses mengaji dan mencoba menggali nilai dan ajaran mulia dari Alquran untuk hidup saya . Tapi, mohon Ustaz Bahrul bersabar andai ada kekurangan dan kecerobohan saya saat belajar. Saya masih membutuhkan banyak bimbingan dari Ustaz!” Jawab Yadi seraya meminta dukungan lebih lanjut dari Ustaz Bahrul.
“Baiklah, Mas Yadi. Menilik kecepatan belajar Mas, bulan depan juz 6 pun bisa selesai. Tapi ingat, teruslah berusaha dan bersabar! Hanya itu kunci untuk mempelajari Alquran. Pepatah mengatakan: “Perjalanan satu kilometer dimulai dan ditempuh langkah demi langkah. Memaksakan diri untuk meloncat jauh tidak akan membuat pijakan kita kokoh. Itulah dasar filosofis kita dalam belajar Al Quran”
“Baiklah, Ustaz. Saya akan berusaha lebih keras untuk bisa istiqamah atau konsisten dalam belajar. Karena waktu sudah menjelang petang, saya ijin pulang dahulu. Insyaallah besok kita lanjut kembali.” Kata Yadi sambil berdiri seraya menyalami Ustaz Bahrul dengan penuh hormat. Ketika Yadi keluar dari pintu ruang utama masjid, langit sore mulai temaram oleh mendung. Ia segera memacu kendaraannya untuk menghindari turunnya hujan di jalan.
Editor : M Taufiq Ulinuha