BeritaSastra

Nikahi Aku dengan Al-Qur’an

Nikahi Aku dengan Al-Qur’an

Oleh : Abi Ramadhan As-Samarani

Bagian 1
Satu Syarat dari Icha

PWMJATENG.COM – Sosok Yadi tiba-tiba berdiri di depan pintu, entah untuk yang beberapa kali. Rumah yang sepi itu hanya ditinggali oleh Aisyah dan ibunya (Rahma). Mereka hidup berdua saja sejak lima tahun lalu setelah ayah Aisyah (Ihsan) meninggal dunia dan kakak lelakinya (Irsyad) pergi merantau. Kedatangan Yadi di rumah yang hanya dihuni kaum perempuan itu membuat Aisyah khawatir bila-bila terjadi hal tidak diinginkan, minimal suara miring tetangga.

Yadi, yang bagaikan orang gila seolah tidak ingin melepaskan Aisyah, yang telah berulang kali menolak lamarannya. Keinginan Yadi untuk mempersunting Icha semakin kuat sehingga tanpa sungkan ia mendatangi rumah Aisyah dan melakukan pendekatan, meski Aisyah merasa semakin tidak suka dengan cara Yadi yang terlalu nekat dan memaksa.

Rahma, yang sudah tua, tampak risau dengan suasana perbincangan antara Yadi dan anaknya yang ia pantau dari belakang ruang tamu. Yadi yang akhir-akhir sering menyambangi mereka menimbulkan suasana kurang nyaman, apalagi Rahma tahu bahwa Aisyah tidak menaruh hati pada anak muda itu. Sebenarnya anak muda itu punya perawakan yang tinggi dan gagah, mirip Irsyad, tetap entah mengapa Aisyah tidak menyukainya. Sebenarnya Rahma tidak mempermasalahkan andai Aisyah merasa senang dengan pemuda tersebut, apalagi Rahma berharap anaknya itu segera mengarungi bahtera rumah tangga.

Dengan meneguhkan hati sekali lagi Icha berusaha untuk menghalau Yadi. Aisyah berkata keras pada Yadi: “Mengapa kau datang lagi kemari? Apa lagi yang kau mau?” Ujar Aisyah dengan ketus.”Harusnya kamu bisa memahami bahwa di antara kita tidak ada kecocokan, jadi tolong biarkan aku sendiri.”
Yadi terdiam sejenak, tapi ia sudah mulai kehabisan kesabaran. Sejak kecil ia selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi, di hadapannya ada seorang gadis mungil yang tidak mau membuka diri untuknya dan membuat Yadi merasa sesak dada karena itu. Ia sungguh sangat jengkel dan sedih.

“Icha!” Kata Yadi setengah menahan teriakan. Tidak bisakah kau berkata yang lebih menyenangkan hati? Berilah aku syarat atau tantangan apa yang bisa aku lakukan untuk bisa mendapatkan hatimu. Aku merasa bahwa engkaulah satu-satunya Perempuan yang bisa menjadi suluh hidupku,” Yadi berkata dengan pelan, tetapi tegas.

Baca juga, Sesama Ulama Salafi Pun (Sering) Berbeda Pendapat

Icha adalah panggilan sehari-hari Aisyah. Panggilan tersebut memang lebih pendek dan simpel sehingga keluarga Aisyah maupun orang-orang lebih mengenal sebutan ‘Icha’ dibandingkan ‘Aisyah.’

‘Apa peduliku!” Sergah Icha. “Bukankah sudah puluhan kali kukatakan, aku tidak punya perasaan kepadamu. Cinta itu tidak bisa dipaksakan, Yadi. Mengapa kamu tetap tidak mengerti?”

“Icha! Apa yang kurang dari diriku. Harta aku punya. Wajah pun tidak buruk. Cintaku tulus kepadamu. Apa lagi yang kau ragukan?” Keluh Yadi.

Icha membuang pandangannya ke arah jendela. Di luar, beberapa pohon perdu telah tumbuh meninggi. Tak heran, kesibukan Icha bekerja sambil merawat ibunya yang sakit-sakitan membuatnya tidak punya waktu untuk mengurus halaman. Belum lagi, teror Yadi membuat Icha semakin tidak bisa berpikir jernih. Ia khawatir, sakit ibunya akan semakin parah kalau keributan dengan Yadi tidak terselesaikan.

Icha tidak bisa menipu diri bahwa hatinya sudah mati bersama kekasihnya, Irfan, yang telah meninggal akibat kecelakaan lima tahun lalu. Rencana pertunangan mereka berantakan dan kenangan kuat akan sosok Irfan yang telah tiada sulit untuk hilang dari benaknya. Entah mengapa, semakin ia berusaha untuk melupakan Irfan, semakin tenggelam dirinya dalam kenangan masa lalu.

“Ah, Yadi” desah Icha yang merasa tidak tahu lagi harus bagaimana. “Bagaimana caranya agar aku bisa memahamkan kamu! Cinta tidak akan berjalan bila bertepuk sebelah tangan.” Icha berkata lirih dengan nada berkeluh kesah.

Tekad kuat Yadi, si anak manja itu, untuk menikahinya membuat Icha mengalami kebingungan. Pada dasarnya ia melihat anak muda itu punya sisi baik dan perhatian, tetapi pada sisi lain, hatinya tidak bisa dipaksa untuk meski berulang kali menekannya. Entah, apa yang ada di benak Si Bocah Tengik itu. Meski usia mereka sepantaran, dan Yadi sedikit lebih tua, tetapi sikap Yadi tampak masih belum matang secara kepribadian.

“Baiklah, Yadi. Kalau kau mau menikah denganku, maukah kau memenuhi syarat-syarat yang aku minta?” Sepontan Icha berujar di tengah kejengahan hatinya.

“Baiklah,” saut Yadi dengan cepat “Katakan apa syaratmu!” ia merasa senang akhirnya Icha mau sedikit untuk memberi harapan.

Icha sejenak tertegun seolah tidak percaya dengan ucapannya sendiri. Mengapa ia begitu ceroboh memberikan harapan pada Yadi, padahal ia sendiri tidak yakin hatinya bisa menerima. Tapi, sesaat, wajah almarhum ayah dan harapan ibunya terbayang. Tujuh tahun lalu, sebelum meninggal, Ayah Icha mengatakan bahwa ia berharap agar putri kesayangannya itu segera bisa menikah dengan laki-laki yang baik dan saleh. Ibunya juga berharap ia segera menikah dan punya momongan di tengah usia Icha yang sudah mendekati kepala tiga.

“Yadi, aku menghendaki laki-laki yang bisa menjadi imamku. Aku ingin suamiku nanti bisa mengaji dan tahu tugasnya sebagai pemimpin keluarga. Itu yang pertama!” Kata-kata itu meluncur cepat dan terang dari mulut Icha. “Coba bayangkan apakah layak bagiku untuk menikah dengan laki-laki manja dan tidak bisa menjadi imam Ketika kau harus merawat Ibuku!”

Baca juga, Basis Nilai Sejarah Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) bagi AUM Kesehatan

Yadi terkejut dengan permintaan itu. Ia sungguh tidak menyangka Icha akan mempersyaratkan hal demikian. Bagi Yadi, harta dan kedudukanlah yang selama menjadi kebanggaan. Ia percaya diri dengan kedudukan sosial dan kemampuan finansial yang ia miliki dari posisi ayahnya. Itulah yang ia pelajari dari keluarganya sehingga Yadi, dan bahkan ayah dan ibunya, tidak berpikir untuk mendidik agama Yadi dengan serius. Hanya pelajaran di sekolah yang membuat Yadi tahu sedikit tentang agama. Sedikit, karena Yadi lebih sibuk memikirkan geng sekolah dan kongkow-kongkow dengan geng motornya.
Dan mengaji….!? Aduhai, lidah Yadi pun kaku untuk mengucapkan Assalamualaikum, sehingga memilih untuk menghindari pengucapannya daripada malu. Bacaan alif ba dan ta’ yang ia kuasai tidak bisa dibilang fasih dan benar. Kini, perempuan yang dicintainya menuntut syarat yang maha berat itu.
“Mengapa ia tidak minta mobil atau rumah saja”, gumam Yadi dalam hati.

“Icha tidakkah ada syarat lain yang lebih realistis. Aku yakin bisa membahagiakanmu dengan harta yang cukup.”

Belum selesai Yadi menjelaskan, Icha sudah memotong dengan sinis: “Harta yang cukup katamu! Apakah kamu ingin mengatakan kamu akan mencukupi istrimu dengan jerih payah orang tuamu?”

Yadi hanya bisa terdiam dan tergagap. Benar apa yang dikatakan oleh Icha. Kekayaan yang dimiliki Yadi adalah hasil kerja orang tuanya karena Yadi belum bekerja.

“Ba..ba..baiklah Icha. Aku penuhi keinginanmu,” balas Yadi dengan nada lunglai. “Apa lagi syaratmu, katakan!”

Icha tersenyum pahit. Ia menertawakan tingkah Yadi dalam hati. Anak muda di depannya ini mulai kehilangan keangkuhannya dan menunduk seperti tikus yang baru jatuh ke got. Ia merasa kasihan, tapi juga kesal mengapa ia tidak mau mundur dan mengerti. Icha tahu bahwa Yadi tidak pernah terlihat shalat dan tidak bisa mengaji. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan hura-hura, touring entah kemana dan kumpul-kumpul dengan gengnya di malam hari. Oleh karena itu, Icha memberi syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh Yadi.

“Yadi, jika kamu ingin menikah denganku, aku tidak mau mahar berupa uang atau harta. Aku ingin maharku nanti adalah bacaan Alquran 30 juz yang harus kamu bacakan sendiri secara tartil. Juga, dalam akad ijab dan kabul nanti kamus mesti menggunakan lafal berbahasa Arab.”

Jeder…!
Jeder…!
Suara tegas Icha terdengar laksana petir di siang bolong bagi Yadi. Mengaji! Bacaan Alquran 30 juz! Mengaji dengan tartil! Ijab kabul dalam bahasa Arab! Apa-apaan ini semua?! Kepala Yadi seperti hendak melayang.

Dengan tergagap, Yadi menjawab: “Oh Icha, mengapa kamu begitu tega memberikan syarat sedemikian berat. Sudah lama aku meninggalkan bangku sekolah dan tidak lagi merasakan belajar. Bagaimana kau suruh aku untuk belajar hal yang berat itu?” Keluh Yadi.

Tetapi Icha hanya tersenyum singkat dan mengisyaratkan tidak ada lagi negosiasi.

“Baiklah Icha, demi kamu aku bersedia!” Namun suara Yudi terdengar lirih seperti desahan kucing yang hendak pingsan karena kalah bertarung. “Aku akan berusaha semampuku untuk memenuhi persyaratanmu. Sudah cukupkah syaratmu itu?”

Baca juga, Hasan Asy’ari: Keutamaan dan Karakter Umat Islam

“Belum!” Seru Icha. “Terakhir aku ingin pernikahanku nanti dilaksanakan secara sederhana, tetapi memenuhi aturan agama dan disahkan oleh KUA. Lalu kita tinggal di rumah ini karena ibuku sudah tua dan kurang sehat. Tidak ada yang bisa menjaga beliau selain aku. Jika kamu setuju, aku menunggumu untuk menunjukkan kemampuan bacaan Alquranmu, tetapi sebelumnya kamu harus diuji oleh Ustadh. Saat itulah, kau boleh meminangku.”

Kepala Yadi seolah berputar cepat. Segera ia kuasai dirinya sebelum ia kehilangan kesadaran. Tanpa berucap sepatah kata pun, Yadi beranjak meninggalkan rumah Icha. Ia sempat menoleh kepada Icha dengan tatapan pasrah dan bingung. Namun, sosoknya segera hilang di tikungan jalan depan rumah Icha.

Icha tersenyum puas. Ia merasa yakin bahwa Yadi akan gagal memenuhi permintaannya. Ia benar-benar belum bisa menerima keberadaan Yadi. Tapi, ia juga sedih saat mengingat pesan ayahnya dulu dan harapan ibunya. Icha sadar, ia sudah akan masuk usia matang dan kehidupan rumah tangga menjadi harapan yang ia sering dengar dari ibunya. Tapi ia sedikit lega. Untuk saat ini, Yadi tidak akan mengganggunya lagi. Ia yakin Yadi akan gagal dalam memenuhi persyaratannya.

Andai kata Yadi berhasil, Icha belum tahu harus bagaimana. Yang ia tahu sekarang adalah hidupnya Kembali normal tanpa gangguan dari Si Bengal itu.

Rahma yang mendengarkan percakapan itu dari balik pintu kamar hanya bisa menarik nafas panjang. Ia tidak mengerti mengapa Icha berkeras belum mau menikah. Rahma sulit membayangkan bagaimana masa depan Icha nantinya. Ia takut anaknya akan menjadi perawan tua seumur hidup. Lagi pula, ia berharap ada cucu dan menantu laki-laki yang akan meramaikan rumah ini.

Meski sosok Yadi bukan tipe menantu idaman, tetapi saat ini hanya ia yang punya tekad untuk menikahi Icha. Rahma melihat Yadi sebagai sosok yang sebenarnya baik. Hanya, ia memang belum mempersiapkan diri untuk menikah dan sikapnya belum dewasa.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE