Nikahi Aku dengan Al-Qur’an
Nikahi Aku dengan Al-Qur’an
Oleh : Abi Ramadhan As-Samarani
Bagian 3
Penasaran
Sore itu, Icha selesai dari bekerja di kantor garmennya. Setelah memberesi barang-barangnya, ia segera menghampiri Mio kesayangannya. Jalanan tidak lancar saat para pekerja pulang kantor sehingga Icha pun harus ekstra hati-hati untuk tidak bersenggolan. Perjalanan Icha pun tersendat-sendat hingga di lampu merah depan masjid al-Mahabbah, ia harus berhenti. Tanpa sengaja, saat menoleh ia melihat sosok yang sepertinya ia kenal. Seorang pemuda yang tinggi dan gagah sedang berjalan memasuki masjid dengan baju koko dan peci hitam.
“Benarkah itu, dia?” Icha bertanya-tanya dalam hati. Tetapi karena lampu hijau, ia pun harus segera melajukan motornya. Sudah hampir tiga bulan ini hidup Icha terasa tenang dan mengalir. Gangguan dari Si Bengal Yadi sudah tidak lagi terjadi. Mungkin dia sudah menyerah karena tidak mampu membaca Alquran. Icha hanya tersenyum saat mengingat Yadi dan persyaratan yang ia berikan.
Sesampai di rumah, Icha segera menengok ibunya, membersihkan lantai, dan mengecek dapur. Terkadang ibunya memasak sendiri, tetapi jika kondisi kurang fit, Icha akan membelikan beliau masakan dari luar, namun dengan nasi yang dimasak sendiri.
Kali ini, rupanya Ibu Icha sudah memasak, meski dengan masakan yang sederhana.
“Bu, apakah Ibu sudah makan?” Tanya Icha.
“Sudah, Nak. Tetapi ala kadarnya. Jika kamu kurang berselera bisa membeli lauk tambahan sendiri.” Jawab Raghma
“Jika Ibu tidak enak badan, tidak perlu memasak. Biar Icha saja yang melakukannya”, kata Icha sambil menghampiri ibunya.
“Sudah, Nak. Aku sudah makan. Lagi pula, aku tidak bisa hanya berbaring atau duduk-duduk saja. Bosan rasanya kalua hanya berdiam di kamar atau hanya duduk diam saja. Memasak bisa membuat Ibu bergerak dan beraktivitas.” Terang Rahma.
“Baiklah, Bu. Tapi, tolong jangan memaksakan diri, ya! Ibu jangan lupa prioritaskan Kesehatan dan hindari aktivitas yang memaksakan diri!’
“Icha!” kata Rahma memotong perkataan Icha.
“Iya, Bu. Ada apa?”
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (1)
“Apa kamu sudah ada pandangan jodoh? Ibu sudah ingin meminang cucu agar rumah ini tidak terasa sepi. Usiamu sudah hampir 29, Nak! Jangan biarkan waktu lewat begitu saja, Nak. Siapa calonmu?”
“Ibuuu…!” Seru Icha seraya bersungut. “Jangan tanyakan itu terus dong! Jodoh dan rezeki di tangan Tuhan, jika sudah saatnya akan tiba. Jika belum saatnya, ya tidak bisa dipaksa.”
Icha merasa risih dan sedih apabila ibunya mulai menyinggung masalah perjodohan. Di satu sisi, Icha sadar bahwa usianya bertambah terus, tapi ia juga belum memiliki perasaan kepada siapapun saat ini, apalagi pada Si Bengal.
“Bagaimana Ibu tidak bertanya, Nak. Kamu sekarang satu-satunya anak Ibu yang di rumah. Selain kamu dan Ibu, tidak ada siapa-siapa lagi di rumah. Kalau kamu bekerja, Ibu hanya berdiam sendirian di rumah karena Ibu tidak kuat berjalan keluar. Ibu ingin pula punya anak laki-laki menggantikan kakakmu yang tidak jelas rimbanya.”
“Sudahlah, Bu. Jangan khawatirkan Icha! Kita tidak bisa memaksakan masalah jodoh. Tolong doakan saja, Icha ya Bu!” jawab Icha sambil berdiri dan pergi ke kamar tidurnya.
Pertanyaan demikian bukan sekali dua kali ia dengar dari ibunya. Ia sampai merasa bosan untuk mendengarnya. Icha bisa memahami maksud baik Ibunya. Tapi, hatinya belum siap untuk menerima laki-laki lainnya. Bayangan almarhum Irfan masih menggurat di pelupuk matanya. Saat Irfan mengalami kecelakaan, lima tahun lalu, Icha mendampinginya hingga ke rumah sakit. Ia juga turut menjaga Irfan, bergantian dengan keluarga Irfan sendiri. Tetapi, sayang nyawa Irfan tidak tertolong, padahal Icha sudah membulatkan hati untuk membangun bahtera rumah tangga bahagia dengan Irfan.
Tapi, “Oh Tuhan!” Seru Icha. “Kapankah aku bisa membuka hati ini lagi?”
Saat hatinya menyebut nama ‘Tuhan’ ia jadi teringat kejadian di lampu merah tadi. Ia melihat sosok yang sepertinya ia kenal, tetapi ia masih belum yakin. Tiba-tiba muncul rasa penasaran terhadap sosok yang ia lihat di halaman masjid al-Mahabbah tadi.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (2)
Hari berikutnya, sepulang kerja, Icha kembali melewati masjid dekat lampu merah. Ia sengaja untuk melambatkan sepeda motornya. Sayangnya, lampu merah hanya sebentar sehingga Icha harus segera melanjutkan perjalanan pulang tanpa bisa melihat kembali sosok pemuda yang ia lihat kemarin.
“Mungkin kemarin hanya salah lihat” gumamnya. “Tetapi, bagaimana jika itu benar dia?” Icha masih memikirkan sosok yang ia lihat kemarin.
Esok harinya, pada hari Kamis, kembali Icha melewati masjid tersebut. Icha sengaja untuk berhenti sejenak di jalan depan masjid. Halaman masjid cukup luas sehingga tidak mudah untuk memastikan apakah sosok yang ia lihat kemarin adalah ‘dia’.
Kebetulan, hari itu adalah hari keberuntungan Icha. Dari jauh, sosok pemuda itu berkelebat keluar dari pintu masjid menuju arah samping kanan. Bayangannya sama seperti dua hari lalu. Sayangnya, karena halaman masjid cukup luas dan kaca helm Icha cukup gelap, maka pandangannya tidak bisa memastikan sosok yang ia lihat tersebut.
Dorongan di dada Icha untuk mengetahui sosok pemuda di masjid yang ia lewati semakin membuncah. Ia selalu menepis kemungkinan bahwa dirinya tertarik kepada pemuda tersebut, tetapi otaknya tergoda untuk memikirkan calon Si Pemuda. Kondisi itu benar-benar mengganggu Icha. Kini setiap pulang kantor, masjid dekat lampu merah selalu menarik minatnya, meski sosok tadi tidak tampak lagi.
Suatu hari, sepulang kerja, hampir saja motornya tertabrak motor sport yang hendak berbelok dari arah berlawanan menuju gerbang masjid. Icha sangat kaget dan spontan membuka berteriak; “Hati-hati di jalan, Bang. Jangan asal nyelonong saat berbelok!’
“Maaf, Mbak. Tidak sengaja. Habis, terburu-buru nih!” Kata pengendara motor tersebut. Saat melihat wajah yang tertutup helm, jantung Icha berdesir. Karena keramaian jalan, si pengendara motor sport segera memasuki halaman masjid dan Icha pun meluncur pulang. Ia sempat tertegun beberapa waktu Ketika bunyi bel sepeda motor di belakangnya bersahutan.
Sepanjang jalan, pikiran Icha bergejolak. “Apa yang dilakukan oleh pemuda tadi? Benarkah ia bersungguh-sungguh melakukannya?” Pertanyaan-pertanyaan itu menguatkan rasa penasaran Icha. Ia tidak bisa lagi menahan keingintahuan yang membuncah di dadanya.
Editor : M Taufiq Ulinuha