BeritaKolom

Tiga Ijtihad Politik Ulama

Tiga Ijtihad Politik Ulama

Oleh : Rudi Pramono*

PWMJATENG.COM – Tauhid mengajarkan kita untuk patuh, taat dan hanya beribadah kepada Allah Swt, kita juga meyakini bahwa Islam adalah agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan sejak dari bangun tidur sampai tidur kembali. Islam memiliki watak shalih li kulli zamanin wa makanin (kontekstual di setiap jaman dan tempat), para ulama dan intelektual berpikir keras bagaimana agar Islam itu tetap survive di segala jaman. Dalam praktik konsep tentang negara tidak tunggal, di dunia Islam beragam sistem : monarki, republik, demokrasi, kerajaan, dll.

Salah satu kajian klasik dan selalu aktual adalah tentang hubungan antara agama dengan negara, Islam dengan politik. Persoalan ini lepas dari istilah fundamentalis, sekuler dan wasathiyah tetapi lebih merupakan persoalan ijtihadiyah.

Dalam buku pemikiran modern dan post modern dalam Islam, Biografi Intelektual 27 tokoh, wacana pemikiran para ulama dan intelektual bisa dikategorikan 3 varian :

Pertama, mencoba melepaskan diri dari ikatan-ikatan nash : Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Arkoun, Taha Husen, Ameer Ali.

Kedua, menerapkan ayat-ayat Al Qur’an secara konsepsional dalam kehidupan keumatan seperti Jamaludin Al Afghani, Muhammad Abduh, Sayed Hoesien Nasr, Ali Syariati, Ismail Faruqi.

Ketiga, mencoba menerapkan pesan2 Al Qur’an secara ideologis dalam konteks jamannya : Abu Ala Al Maududi, Sayid Qutub, Ayatullah Khomeini.

Kelompok pertama bisa dikategorikan liberal menerima pikiran Barat tentang demokrasi, pluralisme, humanisme. Kelompok kedua konsepsional, substansi nilai-nilai Islam dalam negara. Dan kelompok Ketiga ideologis, tekstual, keras, diksi yang radikal, penerapan syariat Islam secara formal dalam bernegara, membawa semangat perjuangan masa Nabi dan para sahabat dalam dinamika kontemporer kekinian.

Baca juga, Tanggung Jawab dan Etika Pemimpin, Khianat Akan Dilaknat!

Dengan demikian semua perbedaan yang tajam dalam hubungan antara agama dan negara itu ternyata sudah menjadi wacana klasik para ulama intelektual masa lampau dan ini berarti masih dalam wilayah keilmuan Islam.

Pilihan satu di antara ketiga itu membuat kita sering bertikai dan berdebat apalagi dalam suasana pemilu saling muncul tuduhan sekuler, menjadikan agama jadi alat politik, muncul diksi perang badar, Fir’aun vs Nabi Musa, halal darahnya, nasionalisme, kebinekaan, dll yang berdampak polarisasi masyarakat.

Hubungan antara agama dengan negara, Islam dengan politik adalah wacana klasik yang akan terus menerus aktual, dulu awal berdirinya negara Indonesia terjadi perdebatan antara yang ingin negara Islam dan yang tidak, sekarang tentang khilafah atau Pancasila, semua sesungguhnya ijtihad para ulama, yang notabene mendasarkan diri pada ajaran Islam, meski berbeda dalam penafsirannya.

Lain masalah kalau itu sudah menjadi gerakan politik yang bertentangan dengan konsensus nasional suatu negara, maka tugas negara untuk mencegahnya sesuai aturan yang berlaku.

Urusan kita umat Islam akan lebih baik bijak, tabayun, dialog, luas pandangan dan tetap mengutamakan ukhuwah islamiyah, karena dibalik itu kita khawatir ada musuh yang ingin melemahkan umat Islam dan menguasai negara ini. semua perbedaan yang tajam dalam hubungan antara agama dan negara itu ternyata sudah menjadi wacana klasik para ulama intelektual masa lampau dan ini berarti masih dalam wilayah keilmuan Islam

*Ketua MPI PDM Wonosobo

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE