BeritaKolom

Perlukah Muhammadiyah Menjadi Salafi atau Lainnya?

Perlukah Muhammadiyah Menjadi Salafi atau Lainnya?

Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag.*

PWMJATENG.COM – Sesuatu yang standar itu kadang kurang memuaskan sebagian kalangan. Itulah yang harus difahami saat membicarakan tentang fenomena warga Muhammadiyah ikut salafi. Ada sebagian kalangan warga Muhammadiyah yang merasa bahwa banyak warga Muhammadiyah ikut salafi karena salafi mengusung puritanisme yang lebih tegas. Tapi pertanyaannya adalah seandainya Muhammadiyah ikut pola salafi, yang katanya tidak elitis, apakah jamaah Muhammadiyah akan membludak?

Dalam sejarah, mazhab Hanbali yang pandangannya kurang lebih sama dengan Salafi tidak pernah sebesar mazhab lain. Ulamanya ada yang diusir atau dilaporkan hakim. Mazhab yang lebih tekstualis, yaitu Zahiri, bahkan sudah lenyap dan hanya tertinggal karya satu dua tokohnya atau kutipan pendapat mereka dalam kitab-kitab fikih ikhtilaf saja. Sekarang mazhab Hanbali hanya mendominasi di Saudi, itu pun mulai tergerus akibat kebijakan baru Raja Saudi.

Ada pula yang berpendapat bahwa Muhammadiyah perlu seperti Asy’ariyah total dan mengikuti pola masyarakat tradisionalis secara lebih kaffah. Alasannya, pandangan mereka lebih mudah diterima dan banyak pengikutnya.

Pertanyaannya jika Muhammadiyah menjadi ala tradisionalis apakah dulu Muhammadiyah bisa menjadi pelopor pembaharuan Islam di Indonesia dan mengembangkan keunggulan di bidang pendidikan, kesehatan dan layanan sosial di kalangan umat Islam selama ratusan tahun berjalan? Andai Muhammadiyah seperti masyarakat tradisionalis lain orang tentu bilang: “Jika sama saja, lalu mengapa harus ikut Muhammadiyah?”

Dalam sejarah, aliran yang tidak punya ciri khas dan identitas akan cepat hilang dari peredaran, kecuali ia punya infrastruktur pendidikan agama yang lebih luas. Mazhab Thabari mirip atau dekat dengan mazhab Syafi’i. Tapi, ia juga hilang dari peredaran karena kehilangan relevansi di tengah pengikut mazhab Syafi’i yang lebih mapan.

Baca juga, Hukum Musik, UAH, dan Siapa Kaum Salaf?

Masalah dakwah itu elitis atau tidak itu tergantung audiensnya. Kalangan tarbiyah yang berdakwah di kampus-kampus umum sekarang punya partai dengan pemilih 8,25% suara Pemilih Indonesia, alias lebih dari 17 juta orang. Andai dakwah mereka dulu hanya melalui tabligh guyonan atau show massa saja, apakah mereka akan mendapat pengikut, simpatisan, dan pemilih sedemikian besar seperti saat ini? Apalagi lingkar aktivis mereka dikenal kompak dan militan.

Semua organisasi itu berkembang karena segmen masing-masing. Andai Muhammadiyah seperti salafi lalu bikin rumah sakit, maka dokter pun harus sesuai jenis kelamin dengan bangsal khusus putra dan putri. Dulu ada workshop yang diselenggarakan pemerintah yang membahas beberapa perempuan yang terlambat diobati karena ketika ia sakit parah atau mau melahirkan, sedangkan suami tidak ada dan tidak ada mahram atau muhrim, mereka menolak untuk diobati. Akhirnya pandangan agama demikian malah menimbulkan kesulitan di bidang kesehatan.

Atau bagaimana seandainya Muhammadiyah punya sekolah, lalu ada senam, tapi tidak boleh memutar musik? Atau ada mata pelajaran olah raga, apakah hanya mengajarkan Olah raga yang nyunnah saja, yaitu memanah, berenang, dan pacuan kuda. Belum lagi Rasul tidak mengajarkan kepanduan, drumband, basket yang dibuka dengan lagu sang Surya, atau lagu kebangsaan. Apakah semua itu menjadi tidak boleh?

Saya sendiri jarang bersinggungan dengan salafi, meski biasa bertemu sebagian mereka di masjid atau di pengajian yang saya isi. Tentu kita berusaha mengayomi dengan menekankan aspek purifikasi, tetapi tetap longgar pada hal-hal yang memerlukan pemahaman waqi’. Pernah ada jamaah salafi pengajian di masjid Muhammadiyah yang protes atau mengingatkan bahwa muatan ceramah kita ada yang kurang pas saat selesai. Saya jawab bahwa yang saya sampaikan sesuai manhaj Tarjih. Selesai!

Atau ada saudara atau teman yang share flyer atau tulisan ala salafi atau HTI, umumnya saya sanggah dan berikan second opinion yang masuk akal. Kalau ia pakai dalil, tapi pemahaman dalil kan butuh Ushul fikih. Jika petunjuk dalil tidak qath’i pasti pemahamannya tidak tunggal.

Baca juga, Eksistensialisme Pemimpin Organisasi dan Upaya Saling Jegal

Saya rasa di group-group yang saya ikuti tidak banyak yang suka share pendapat salafi atau HTI. Mungkin satu dua. Jika sifatnya moral, etik dan akidah yang muttafaq tentu tidak ada salahnya. Tapi jika menyangkut pendapat yang ikhtilaf dan kita rasa tidak sesuai cukup diberi second opinion atau pendapat Tarjih. Dengan sendirinya warga Muhammadiyah bisa melihat dimensi atau pendapat lain dalam persoalan itu.

Yang sulit itu kalau warga kita, apalagi pimpinan kita awam manhaj tarjih, lalu bertemu pandangan yang mirip cara pandang Muhammadiyah, misalnya purifikasi atau pan-Islsmisme, mudahlah terpengaruh. Padahal secara utuh Muhammadiyah punya ciri tersendiri. Orang yang haus ketuhanan dan ajaran agama memang akan lebih terkesan pada sesuatu yang tegas dan clear cut. Tetapi pandangan standar yang membumi itu hasil gabungan dari nash, fikih istinbath, dan fikih aplikasi yang sudah melalui pertimbangan fikih realitas dan fikih prioritas. Mungkin tampak kurang gagah, tetapi itulah keutuhan pemahaman.

Tentu saja kita tidak bisa memungkiri ada berbagai kelemahan di Muhammadiyah, juga pandangan tertentu yang belum mapan. Atau ada jangkauan dakwah kita yang terbatas pada beberapa bidang. Hal demikian patut menjadi bahan perbaikan, bukan dengan cara mengopi sikap atau cara orang lain, melainkan dengan merelevansikan dan mengembangkan pandangan dan gerakan Muhammadiyah itu sendiri.

Dalam agama ada wilayah yang patut dianggap tsabit atau taken for granted dan ada yang mutaghayyir atau bisa berubah sesuai perkembangan zaman. Hal yang sama berlaku untuk organisasi Persyarikatan Muhammadiyah. Purifikadi, dinamisasi atau tajdid, dan pan Islamisme (kesadaran akan kesatuan umat) itu adalah aspek yang tsabit atau tetap. Tetapi aplikasi, ramuan, dan pengayaannya harus dinamis agar selalu relevan dengan perkembangan zaman.

Menjadi pemahaman standar dalam konteks keislaman di Indonesia memang menuntut Muhammadiyah harus bisa mengayomi berbagai kalangan, mendorong pembangunan dan kehidupan bernegara, mengupayakan kemaslahatan dan sebagainya. Semakin dewasa orang atau organisasi memang akan lebih konsultatif dan low profil, tidak menggebu-gebu, tetapi jelas bidikan dan capaian. Beda dengan remaja yang konfrontatif dan labil, tetapi berani dan bahkan nekat. Pertanyaannya apakah untuk merelevansikan Muhammadiyah, maka kita harus bersikap ala remaja?

Menurut analisis transaksional agar kita sehat memang perlu campuran sikap kanak-kanak (keingintahuan dan perkembangan) , keremajaan (identitas dan kompetisi) dan kedewasaan (kebijaksanaan dan kompetensi yang mapan). Semua elemen itu dibutuhkan. Bedanya, semakin kita dewasa, maka karakteristik kanak-kanak dan remaja tentu tidak mendominasi atau meledak-ledak, tetapi menjadi kekuatan untuk regenerasi dan inovasi.

*Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah. Cendekiawan muslim.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE