No Dating Before Married: Tren Hijrah Cinta atau Romantisasi Agama?

PWMJATENG.COM – Fenomena “no dating before married” atau tidak pacaran sebelum menikah semakin populer di kalangan anak muda Muslim, khususnya generasi milenial dan Gen Z. Istilah ini sering dikaitkan dengan semangat hijrah dan kembalinya seseorang kepada nilai-nilai Islam. Namun, apakah ini murni bentuk hijrah cinta atau sekadar romantisasi agama dalam balutan tren?
Gerakan ini banyak digaungkan melalui media sosial oleh para influencer hijrah, ustaz muda, hingga komunitas dakwah urban. Narasi utamanya sederhana namun kuat: pacaran itu haram, dan cinta sejati hanya halal lewat pernikahan. Di balik ajakan ini, ada semangat kembali kepada ajaran Islam yang menolak hubungan tanpa akad. Tetapi di sisi lain, fenomena ini juga berisiko mencampuradukkan nilai spiritual dengan simbolisme semata.
Islam secara tegas memang melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan pernikahan. Dalam Surah Al-Isra’ ayat 32, Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةًۭۖ وَسَآءَ سَبِيلًۭا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Ayat ini menjadi landasan utama bagi para pendakwah yang menolak konsep pacaran. Dalam praktiknya, pacaran sering kali menjadi jalan menuju hal-hal yang mendekati zina. Maka, Islam mengatur interaksi antara lawan jenis dengan batasan-batasan syar’i yang ketat demi menjaga kemuliaan dan kehormatan individu.
Namun, yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana semangat ini disajikan dalam ruang publik. Banyak konten dakwah yang menyentuh sisi emosional dengan narasi cinta islami, tayangan sinema pendek bertema taaruf, dan kutipan manis tentang jodoh yang menghibur sekaligus menggoda. Sayangnya, pendekatan ini kadang melupakan esensi bahwa pernikahan bukan sekadar puncak romantisme, melainkan tanggung jawab spiritual dan sosial.
Baca juga, Kesalehan Virtual: Mengapa Kita Tampak Religius di Media Sosial Saja?
Bahkan dalam beberapa kasus, “no dating before married” digunakan sebagai pembenaran untuk menikah muda tanpa kesiapan mental, ekonomi, atau ilmu yang cukup. Alih-alih menghindari zina, pernikahan dini yang dipaksakan justru bisa menimbulkan persoalan baru seperti perceraian dini atau relasi yang timpang.
Islam menekankan pentingnya ilmu sebelum amal, termasuk dalam pernikahan. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang sudah mampu (secara lahir dan batin), maka menikahlah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa kesiapan dalam menikah adalah syarat utama, bukan sekadar semangat atau tren hijrah cinta. Islam tidak pernah melarang cinta, tetapi mengarahkan cinta agar tidak lepas kendali dari akhlak dan syariat.
Maka, penting untuk membedakan antara hijrah yang sejati dengan romantisasi agama. Hijrah adalah proses yang mendalam dan personal, menuntut ilmu, muhasabah, serta konsistensi dalam memperbaiki diri. Sementara romantisasi agama lebih mengedepankan simbolisme dan perasaan, tanpa dasar pemahaman yang kuat.
Tren “no dating before married” patut diapresiasi jika mampu mengarahkan generasi muda pada kehidupan yang lebih bersih dan bernilai. Namun, pendekatannya perlu diperbaiki agar tidak jatuh pada simplifikasi ajaran atau eksploitasi emosi semata. Cinta dalam Islam bukan sekadar soal jodoh, tapi bagaimana kita mengelola perasaan dengan cara yang diridai Allah ﷻ.
Dengan demikian, hijrah cinta semestinya bukan hanya berhenti pada slogan “no dating before married”, tapi juga harus disertai kesiapan diri dan pemahaman agama yang menyeluruh. Wallahu a’lam.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha