BeritaPWM Jateng

Ketupat dan Bedug: Simbol Islam dalam Akulturasi Budaya Jawa

PWMJATENG.COM – Manusia sebagai homo simbolikus—makhluk yang mencintai dan menggunakan simbol dalam kehidupannya—menjadikan berbagai elemen budaya sebagai bagian dari ekspresi keagamaannya. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, Tafsir, yang menyebut bahwa dalam konteks Islam di Indonesia, ketupat dan bedug menjadi simbol yang erat kaitannya dengan perayaan Idulfitri. Kemunculan gambar ketupat dan dentuman bedug di berbagai tempat menandakan datangnya hari kemenangan bagi umat Islam setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh.

Namun, di balik simbol tersebut, ada sejarah panjang yang melibatkan interaksi Islam dengan budaya lokal. Akulturasi ini menjadi cerminan dari strategi dakwah Islam yang telah berlangsung selama berabad-abad, terutama di tanah Jawa, melalui peran Walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan budaya.

Islam dan Akulturasi Budaya di Jawa

Penyebaran Islam di Nusantara memiliki berbagai teori sejarah. Salah satunya adalah teori yang menyatakan bahwa Islam berkembang pesat di wilayah pesisir Jawa melalui jalur perdagangan dan dakwah yang dilakukan oleh para ulama. Donny Khoirul Aziz dalam jurnalnya Akulturasi Islam dan Budaya Jawa (2003) menyebut bahwa penyebaran Islam di Jawa sangat berkaitan dengan kultur masyarakat pesisir, tempat di mana Syaikh Maulana Malik Ibrahim pertama kali berdakwah.

Perjalanan dakwah kemudian berlanjut dengan hadirnya Raden Patah, atau yang dikenal sebagai Sunan Ampel, yang disebut-sebut sebagai pemimpin Walisongo. Para wali ini menyebarkan Islam dengan pendekatan tasawuf, mengajarkan ajaran Islam secara bertahap tanpa menolak keras budaya yang telah berkembang sebelumnya. Mereka menanamkan nilai-nilai Islam yang ramah dan menekankan persamaan derajat manusia.

Pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Walisongo sejalan dengan metode yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Dalam surah An-Nahl ayat 125, Allah berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”

Pendekatan yang digunakan Walisongo juga mencerminkan ajaran dalam surah Al-Hujurat ayat 13, yang menekankan pentingnya mengenal dan memahami budaya masyarakat dalam berdakwah:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىٕلَ لِتَعَارَفُوْا

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”

Konsep dakwah ini menjadi dasar bagi Walisongo dalam menyesuaikan Islam dengan tradisi yang sudah ada di masyarakat Jawa, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Ketupat: Simbol Syukur dan Kesadaran Diri

Salah satu simbol yang erat kaitannya dengan Idulfitri adalah ketupat. Secara historis, ketupat bukanlah tradisi Islam, melainkan budaya yang telah ada sebelum Islam masuk ke Nusantara. Dalam tradisi Hindu, ketupat melambangkan rasa syukur kepada Tuhan atas berkah yang diberikan.

Baca juga, Makna Idulfitri: Lebih dari Sekadar Pakaian Baru

Di Jawa, ketupat mengalami proses Islamisasi yang menjadikannya lebih dari sekadar makanan khas Idulfitri. Menurut Kamus Pepak Basa Jawa (Slamet Mulyono, 2009), ketupat memiliki filosofi “ngaku lepat” (mengakui kesalahan) dan “laku papat” (empat tindakan). Empat tindakan ini meliputi:

  1. Lebaran – Menandakan berakhirnya bulan Ramadan.
  2. Luberan – Melambangkan semangat berbagi rezeki kepada sesama.
  3. Leburan – Simbol melebur dosa dengan saling memaafkan.
  4. Laburan – Menggambarkan hati yang kembali suci dan bersih seperti kapur.

Melalui simbol ini, masyarakat diajak untuk merefleksikan makna Idulfitri sebagai momentum kembali ke fitrah dengan hati yang bersih dan penuh keikhlasan.

Bedug: Dari Tradisi Majapahit hingga Islamisasi

Selain ketupat, bedug juga menjadi simbol yang tak terpisahkan dari perayaan Idulfitri. Suara dentuman bedug menandakan masuknya waktu salat dan menjadi tanda kebersamaan dalam momen keagamaan.

Menurut penelitian arkeolog Universitas Negeri Malang, Drs. M. Dwi Cahyono, bedug telah digunakan sejak era Majapahit sebagai alat komunikasi untuk menandai perubahan waktu. Ada juga teori yang menyatakan bahwa bedug diperkenalkan ke Nusantara oleh Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming, yang mengadaptasi tradisi kuil-kuil Buddha di Tiongkok.

Seiring berkembangnya Islam di Jawa, bedug diadopsi sebagai bagian dari tradisi Islam. Fungsinya bergeser dari sekadar alat komunikasi menjadi penanda waktu salat dan penanda datangnya Idulfitri.

Dakwah Kultural: Muhammadiyah dan Islam yang Adaptif

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam di Indonesia juga mengakui pentingnya pendekatan budaya dalam dakwah. Dalam konsep dakwah kultural, dijelaskan bahwa Islam perlu disampaikan dengan memperhatikan dinamika sosial dan budaya yang ada di masyarakat.

Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) PP Muhammadiyah (2015) menyatakan bahwa budaya adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Muhammadiyah memahami kebudayaan sebagai hasil endapan dari kehidupan manusia yang terus berkembang, termasuk dalam aspek agama, seni, dan filsafat.

Dalam dokumen resmi PP Muhammadiyah (2005), disebutkan bahwa dakwah kultural menjadi strategi utama dalam menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Dakwah ini bertujuan untuk menghadirkan Islam yang mampu beradaptasi dengan perkembangan sosial tanpa kehilangan esensi ajarannya.

Ikhtisar

Ketupat dan bedug adalah dua simbol yang mencerminkan bagaimana Islam dan budaya lokal dapat menyatu dalam harmoni. Kedua simbol ini bukanlah bid’ah, tetapi bagian dari proses Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama terdahulu, terutama Walisongo.

Pendekatan dakwah yang mereka lakukan membuktikan bahwa Islam dapat berkembang di Nusantara dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid. Hal ini sejalan dengan konsep dakwah kultural Muhammadiyah yang menekankan pentingnya memahami budaya sebagai sarana penyampaian pesan Islam yang lebih efektif.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE