Nikahi Aku dengan Al-Qur’an
Nikahi Aku dengan Al-Qur’an
Oleh : Abi Ramadhan As-Samarani
Bagian 6
Mengintip Yadi
“Ibuuu…Icha berangkat, ya! Nanti pulangnya mungkin agak telat. Ibu makan saja terlebih dahulu, tadi Icha sudah belanja sayur matang, tinggal lauknya digoreng lagi jika yang di meja habis” Icha berpamitan untuk berangkat bekerja sambil mencium tangan ibunya.
“Hati-hati, Nak. Jangan khawatirkan Ibu terkait urusan makan. Yang penting jaga dirimu baik-baik dan jangan mampir berlama-lama agar bisa istirahat di rumah!’ Rahma melepas kepergian putrinya itu dengan perasaan bangga. Putrinya itu begitu rajin dan sayang pada ibunya. Itulah yang membuat Rahma bersemangat untuk menjalani hari-hari, kendatipun hidup dengan kesederhanaan.
Tidak berselang lama, Icha sudah menghilang di tikungan depan rumah. Pagi itu, ia putuskan untuk berangkat lebih awal dan menyelesaikan tugas-tugas di kantor sesegera mungkin. Ia berencana pulang kerja lebih awal untuk mengobati rasa penasarannya.
Jam terasa berjalan lambat. Berkali-kali Icha melihat jam dan berharap jarum jam itu berjalan lebih gesit lagi. Tentu saja jarum jam hanya berjalan sesuai biasa. Kegelisahan Icha itu rupanya tertangkap oleh pandangan Tutik, teman kerjanya.
“Hai, Cha. Kenapa kau pandangi terus jam dinding itu? Apakah ada yang salah?”
Icha terkejut karena tindakannya ada yang memperhatikan.
“Oh, tidak..Tik! Gak ada yang salah, kok. Tapi perasaan hari ini jamnya berjalan lambat,” sahut Icha.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (1)
“Hemmm, pasti ada sesuatu, nih!” Tutik menebak dengan penuh kecurigaan. “Gak biasanya Icha ingin segera pulang kerja. Mau kemana sih, Cha?” Tanya Tutik setengah menyelidik.
“Nggak ada apa-apa, Tutik. Mungkin hanya perasaanku saja hari ini jamnya berjalan lambat. Udahlah!”
Icha menghindari perbincangan lebih lanjut dengan Tutik karena ia tidak terbiasa curhat pada teman kerjanya. Tak urung Tutik memandang Icha dengan penuh selidik, tetapi Icha tidak mengambil hati tingkah teman kerjanya itu. Meski suka kepo, Tutik bukan tipe teman kerja yang buruk.
Segera, Icha menenggelamkan diri pada pekerjaan yang sudah digelutinya selama 6 tahun. Sebagai staf administrasi di Perusahaan Garmen, Icha dituntut untuk selalu tampil prima, berkonsentrasi pada detail, dan memberi layanan terbaik. Dedikasi kerja yang tinggi itulah yang membuatnya lupa untuk memikirkan kehidupan rumah tangga. Baginya, dunia kerja inilah yang memberi kehidupan pada pikiran dan hatinya.
Jam 15.45 Icha sudah bersiap-siap pulang. Ia memberesi terlebih dahulu semua berkas dan peralatan. Ia sempatkan diri untuk menjalankan Salat Asar di musala kantor. Lalu, dengan tidak sabar ia segera menghampiri Mio-nya dan pergi meninggalkan halaman kantor tepat pada jam 16.00.
Hati Icha berdegup kencang ketika kendaraannya semakin mendekati lampu merah dekat masjid al-Mahabbah. Dari jauh, matanya sudah menatap sisi kiri jalan sehingga hampir saja ia menabrak kendaraan di depannya yang mengerem mendadak.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (2)
“Huh, hampir saja. Sabar, Icha! Sabar!” Icha bergumam pada diri sendiri.
Sesampainya di depan gerbang masjid ia belokkan motornya untuk memasuki halaman masjid lalu menuju tempat parkir. Sejenak ia agak merasa ragu, karena kali ini kedatangannya ke masjid bukan untuk beribadah, tetapi untuk mengobati rasa penasaran pada seorang pemuda.
Agar tidak tampak menyolok, ia menggunakan masker di mukanya sehingga menutupi bagian hidung sampai dagu. Hal itu membuat wajahnya tidak lagi mudah dikenali, kecuali oleh orang yang telah mengenalnya dengan baik. Sambil tengok kanan kiri, ia parkirkan kendaraan lalu berjalan dengan hati-hati menuju teras masjid.
Hatinya semakin berdesir kencang saat langkahnya semakin dekat dengan masjid. Ia langsung menuju tempat wudu dan kemudian memasuki ruang salat Perempuan yang letaknya di dekat ruang mengaji. Saat itu, ia mendengar anak-anak memulai pembelajarannya.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (3)
“Bismillahirrahmanirrahim. Radlitubillahi rabba. Wabil Islami dina. Wabi Muhammadin abiyya wa rasuula. Rabbi zidni ilma, warzuqni fahma, waj’alni minash shalihin. Amin ya Rabbal alamin!” Gema suara anak-anak TPQ membaca doa untuk memulai pelajaran terdengar keras. Doa itu mengisyaratkan kerelaan untuk menerima agama Islam dan keimanan kepada Allah selaku Tuhan dan Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah. Bagian akhir doa itu berisi harapan untuk diberi ilmu, kepahaman, dan dimasukkan sebagai golongan orang-orang yang saleh.
Icha berjalan setengah berjingkat mendekati asal suara. Ia sekarang berada di antara ruang salat perempuan dan ruang untuk mengaji. Ia mencoba untuk mengintip ruang tempat anak-anak mengaji. Dadanya berdesir begitu menatap kumpulan anak yang duduk melingkari dua orang laki-laki.
Segera Icha merasa kecewa karena ia tidak menemukan orang yang ia cari. Setelah mengedarkan pandangannya ke segenap ruang mengaji secara sembunyi-sembunyi, tetap saja ia tidak menemukan apa yang ia cari.
“Aduh, Icha, apa yang kamu lakukan! Bukankah kau sekarang tidak peduli dengan siapapun selain ibumu? Mengapa kau berharap untuk bertemu orang yang tidak kau sukai? Ada apa denganmu!?” Keluh Icha pada dirinya sendiri.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (4)
Dengan kesal, Icha hempaskan dirinya di lantai. Pikirannya penuh gejolak pertentangan. Di satu sisi, rasa penasarannya memuncak, namun ia sadar bahwa apa yang ia harapkan itu adalah hal yang awalnya tidak ia kehendaki.
“Ada apa denganmu, Icha?!” Gerutu Icha lirih pada dirinya sendiri.
“Assalamualaikum, Ustaz,” terdengar suara salam dari ruang sebelah. Suara itu, ah…Suara itu jelas tidak asing baginya.
Dengan gugup, Icha bangkit dan berhati-hati mengintip ruang sebelah.
“Duaaar!”
Icha terbelalak melihat sosok laki-laki yang baru datang. Segera ia tarik wajahnya kembali, khawatir kalau keberadaannya diketahui pria tersebut. Dada Icha berdegup kencang: “dug…dug…dug”, seperti irama takbir Idulfitri. Wajah Icha pun memerah.
“Aduuuh! Ada apa denganmu, Icha?!” Tanyanya pada diri sendiri sambil menepuk kening. Ia malu dengan ulahnya sendiri, tetapi kembali ia memberanikan diri untuk mengintip ruang sebelah.
“Ada apa, Mbak? Apakah ada yang Mbak cari?” Terdengar suara ibu-ibu dari belakangnya. Icha terperanjat dan hampir saja ia suruh suara itu tutup mulut. Ia tidak sadar kalau sejak tadi ada ibu-ibu yang salat di pojok belakang dan Ibu-ibu itu dengan jelas bisa melihat apa yang ia lakukan.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (5)
“Eh, tidak ada, Bu,” respon Icha terbata-bata. “Saya hanya ingin melihat anak-anak mengaji, Bu. Indah sekali suaranya, mengingatkan saya ketika masih kecil dulu,” jawab Icha segera agar si Ibu tidak curiga.
“Ooh, begitu! Ya silakan!” Jawab si Ibu sambil mengangguk-angguk. Tidak lama kemudian Ibu tersebut keluar setelah mengembalikan mukena ke tempatnya.
Icha menjadi lega. “Hadeh! Apa-apaan ini! Bikin malu saja!” Kata Icha dalam hati kepada dirinya sendiri sambil bersiap untuk pulang. Tetapi, ia sempatkan sekali lagi untuk mengintip ruang samping. Sosok pria yang tadi mengucapkan salam masih duduk tenang di sana, dan tidak sengaja ia melihat ke arah Icha. Matanya jelas menatap ke arah Icha dan membuat Icha sejenak terkejut dan tertegun.
“Gubrak…!” demikian gejolak dalam diri Icha karena terkejut. Buru-buru ia Tarik wajahnya dan rapikan diri kemudian segera ia berlari keluar melalui jalan samping ruang perempuan, dekat dengan tempat wudu.
Nafas Icha tersengal-sengal saat tiba di parkir kendaraan.
Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya berkecamuk dan gelisah, khawatir jika pria tadi mengenalinya. Namun Icha menghibur diri bahwa dirinya memakai masker yang menutupi sebagian besar mukanya. Mustahil, pria itu bisa melihatnya.
Namun, sesampai di rumah, wajah Icha masih tampak tegang. Ibunya sempat menanyakan mengenai apa yang terjadi sehingga wajah Icha tampak pucat. Icha hanya menjawab seperlunya, lalu segera masuk ke dalam kamar.
“Apa kamu sakit, Nak?” tanya Ibu sambil menengok ke kamar Icha.
“Tidak, Bu. Mungkin karena banyak pekerjaan, jadinya Icha kecapekan.” Jawab Icha setengah berbohong.
“Baiklah, kamu perlu istirahat, tetapi sebelumnya makan dulu, yah agar kamu tidak sakit!” Pinta Sang Ibu yang diikuti dengan anggukan kepala Icha.
Icha merasa heran dengan tingkahnya hari ini. Ia merasa benar-benar kacau dan salah tingkah. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun, ia sendiri belum mampu untuk memberikan jawaban.
Editor : M Taufiq Ulinuha