Khazanah Islam
Trending

Tanya Jawab Tarjih: Akidah Muhammadiyah (1)

Tanya Jawab tentang Pandangan Tarjih bersama Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag, M.S (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah Jawa Tengah).

PERTANYAAN

Selama ini saya masih kurang jelas tentang akidah yang dianut Muhammadiyah. Ada yang mempertanyakan apakah Muhammadiyah menganut ahlussunnah waljamaah. Mohon penjelasan tentang bagaimana sebenarnya akidah Muhammadiyah menurut Tarjih?

JAWABAN
Istilah dan Ciri Ahlussunnah wal Jama’ah

Ahlussunnah wal jamaah itu pada dasarnya adalah aliran keyakinan dalam Islam, yang dibedakan dengan Syiah atau Ahmadiyah. Istilah utuh ahlussunnah waljamaah tidak dikenal pada masa Rasulullah, tetapi pokok keyakinan dan sikap terhadap pokok keyakinan ahlussunnah wal jamaah sudah dipraktekkan pada zaman Nabi Muhammad. Ahlussunnah waljamaah bukan satu kelompok tertentu pada satu wilayah atau negara, melainkan cara pandang atau manhaj akidah Islamiyyah.

Istilah Ahlussunnah waljamaah dikaitkan dengan beberapa hadis yang secara keseluruhan masyhur dan sahih. Pertama, hadis Anas bin Malik:

إنَّ بني اسرائيلَ افترقتْ على إحدى وسبعين فرقةً ، وإنَّ أمتي ستفترقُ علي اثنتيْنِ وسبعين فرقةً ، كلُّها في النارِ إلا واحدةً وهي الجماعةُ

Sesungguhnya Bani Israel terpecah ke dalam 71 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 72 golongan. Semua di neraka kecuali satu, yaitu al-jamaah (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Kedua adalah hadis:

افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة، وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة، وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة، قيل: من هي يا رسول الله؟ قال: من كان على مثل ما أنا عليه وأصحابي

Orang Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Orang Nasrani terpecah ke dalam 72 golongan. Umat ini (Islam) akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu. Ada sahabat bertanya: “Siapakah Wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “(mereka adalah) orang yang seperti saya dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim)

Istilah ahlussunnah wal jamaah berkembang setelah perdebatan teologis dalam Islam, yang melahirkan kelompok Khawarij, Rafidhah (Syiah), Qadariyah, Jahmiyah, Murjiah, dan Muktazilah. Ahlussunnah wal jamaah dilawankan dengan kelompok-kelompok tersebut yang oleh Imam al-Asy’ari disebut ahli bid’ah dan zaygh (ragu dan menyimpang dari kebenaran) dan oleh Imam al-Baqillani dalam al-Inshaf disebut ahlul bid’ah wa dlalalah. Imam al-Asyari dalam al-Ibanah (2022: 14) menggunakan istilah Ahlussunnah wal haqq untuk menamai aliran para ahli hadis yang dipelopori Imam Ahmad bin Hanbal, yang melawan pemaksaan pandang Muktazilah oleh penguasa Daulah Abbasiyah.

Ciri-ciri Ahlussunnah wal jamaah, menurut al-Asy’ari, adalah “berpegang pada Kitab Allah, Sunnah, dan riwayat dari sahabat, tabi’in dan para imam hadis.” Istilah al-Haqq dan sunnah itu dipakai juga oleh Abu Hamid Al-Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dlalal (T.Th: 35). Al-Haq yang dimaksud al-Ghazali adalah akidah yang benar yang disampaikan Allah kepada manusia melalui lisan Rasul-Nya (Sunnah). Para ahli bid’ah mencoba untuk membisikkan perkara-perkara yang menyimpang dari sunnah sehingga merancukan akidah yang haq.

Sementara itu, Imam Al-Baqillani (2000: 67-68 dst) menggunakan istilah Ahlussunnah wal jamaah. Ciri Ahlussunnah waljamaah menurut al-Baqillani adalah percaya kepada adanya sifat-sifat Allah, sebagaimana disebutkan dalam Alquran dan hadis-hadis Nabi Muhammad, berkeyakinan bahwa Alquran bukan makhluk, melainkan kalamullah yang qadim (dahulu), berkeyakinan mengenai takdir, melihat Allah di akhirat, dan syafaat Rasul. Iman kepada sifat Allah ini menjadi pokok perbedaan antara Ahlussunnah wal jamaah dengan penganut ta’thil (peniadaan sifat Allah) tajsim (sifat Allah itu empiris seperti sifat makhluk).

Keyakinan standar Ahlussunnah waljamaah tercakup dalam rukun Iman. Ibnu Taimiyah dalam al-Aqidah al-Wasithiyyah (1999: 54) mengatakan: “Keyakinan firqah najiyah (kelompok yang selamat) yang mendapat pertolongan pada hari kiamat, yaitu ahlussunnah wal jamaah adalah: iman kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, kebangkitan setelah kematian, dan iman terhadap qadar, baik dan buruknya.” Ibnu Taimiyah meyakini Allah punya sifat, tetapi tidak terbatas pada jumlah tertentu, melainkan segala sifat yang Allah lekatkan pada diri-Nya dalam Alquran, seperti Maha Pengampun, Maha Penyayang, Wajah, Tangan, Ridla, Marah dan sebagainya. Ia menegaskan kembali bahwa Al-Quran bukan makhluk, melainkan Kalam Allah yang sejati yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.

Hal itulah yang membedakan Ibnu Taimiyah (dan kalangan salaf) dengan Asy’ariyyah, yang fokus pada sifat-sifat yang menjadi keharusan bagi Allah. Ibnu Taimiyah dan kalangan salaf umumnya membatasi takwil atau penafsiran secara majazi terhadap sifat Allah dengan menyerahkan maknanya kepada Allah. Pendekatan ini sering disebut Tafwidz, yaitu menerima keberadaan sifat Allah, tetapi menyerahkan maka sesungguhnya pada Allah.

Menurut Abdul Hamid Hakim (T.Th: 86-87) secara umum pandangan mengenai takwil terhadap ayat-ayat Alquran mengenai sifat Allah dapat dibagi menjadi tiga pandangan. Pertama, kelompok yang menolak, yaitu pandangan musyabbihah (kelompok yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat Tuhan. Kedua, kelompok yang menerima takwil, tetapi menyerahkan takwilnya kepada Allah. Ketiga, kelompok yang menerima takwil (secara mutlak). Pandangan pertama masuk kategori batil keyakinannya, sedang dua pandangan lain memiliki contoh dari sahabat.

Standarisasi keyakinan Ahlussunnah wal jama’ah ke dalam rukun iman, sebagaimana dikemukakan Ibnu Taimiyah di muka, juga diyakini kalangan Asy’ariyyah. Asy’ariyyah mengemukakan pula sifat-sifat bagi para rasul. Karya Asy’ariyyah kontemporer seperti al-Jawahir al-Kalamiyyah karya Thahir al-Jazairi (T.Th) memasukkan rukun iman sebagai pokok akidah dengan rincian tentang sifat wajib dan mustahil bagi Allah dan Rasul-Nya dalam bahasan mengenai Iman kepada Allah dan Iman kepada Rasulullah. Al-Jazairi membagi iman kepada Allah menjadi dua: ijmal (global)dan tafshil (rinci). Iman secara global adalah meyakini bahwa Allah bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, suci dari sifat kurang. Sementara itu, iman secara rinci adalah dengan meyakini sifat-sifat wajib bagi Allah yang 20.

Dengan demikian, keyakinan Ahlussunnah wal jamaah berkisar pada rukun iman, berikut uraian rinci per-rukun. Keyakinan pada Allah diikuti dengan keyakinan terhadap sifat Allah, utamanya wajib menurut Asy’ariyyah, atau sifat apapun yang dilekatkan Allah pada diri-Nya sendiri dalam Alquran. Pada titik inilah terjadi perbedaan antara Asy’ariyyah dan Salaf atau Atsariyyah (Ibnu Taimiyah dan kalangan Hanbali). Namun, pada tataran umum keduanya memiliki standar akidah yang sama.

Akidah Muhammadiyah menurut HPT

Uraian mengenai akidah Muhammadiyah paling jelas tertuang pada Himpunan Putusan Tarjih (HPT) 1. Pokok akidah Muhammadiyah dijelaskan dengan satu hadis dari Umar RA tentang Jibril yang datang dan bertanya kepada Rasulullah tentang Islam, iman, Ihsan, dan tanda-tanda kiamat. Namun, HPT hanya fokus pada pertanyaan tentang Islam dan iman.

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْت

Dari Umar R.a. juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“ (HR Muslim).

Jadi, keyakinan pokok Muhammadiyah juga berkisar pada rukun iman yang enam. Rukun tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Iman kepada Allah

Bab mengenai Iman kepada Allah dalam HPT menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya, pencipta segala sesuatu, pasti ada-Nya, tanpa awal dan tanpa akhir, dan tidak yang menyamai, memiliki sifat sempurna, dan suci dari sifat mustahil dan kurang. Segala sesuatu ada di tangan-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Ada pun sifat-sifat yang dijelaskan dalam HPT antara lain: Wujud, Yang Pertama (Dahulu), Esa, Berbeda dengan Makhluk, Hidup, Mendengar, Melihat, Berkuasa, Mengetahui dan Berfirman. Sifat-sifat yang disebutkan dalam HPT merupakan potongan atau kutipan dari ayat-ayat Alquran.

Sikap Muhammadiyah terhadap sifaf-sifat Allah adalah tafwidl atau menyerahkan pengertian mengenai sifat kepada Allah dan menghindari pembicaraan mengenai Dzat Allah dan hubungan dzat dengan sifat. Pada masa lalu, hubungan antara sifat dan dzat Allah menjadi sebab pertikaian di kalangan ulama ahli jalan (teolog) sehingga melahirkan madzhab pengingkaran pada sifat Allah (ta’thil) dan penyamaan sifat Allah dengan sifat makhluk (tajsim/ tamtsil).

Menurut HPT, akal kita tidak mungkin mencapai pengertian tentang dzat Allah dan hubungan dzat dengan sifat Allah. Pembahasan mengenai hal itu tidak diperintahkan dalam Alquran, apalagi surat Syura ayat 11 tegas menyatakan: Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya.” Surat Thaha ayat 110 menegaskan keterbatasan kekuatan akal manusia dalam mengetahui hal-hal demikian. Cukuplah orang beriman memikirkan makhluk untuk membuktikan keberadaan, kekuasaan dan kebijaksanaan Allah.

Tuntunan untuk lebih berpikir mengenai ciptaan Allah, bukan dzat-Nya itu sejalan dengan atsar dari Ibnu Abbas:

تَفَكَّرُوا فِي خَلْقِ اللَّهِ ، وَلا تَفَكَّرُوا فِي اللَّهِ“ (رواه أبو نعيم عن ابن عباس)

Berfikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Dzat Allah” (HR. Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas).

Ajaran untuk berpikir mengenai ciptaan Allah, bukan mengenai Allah bukan berarti anjuran untuk tidak ingat Allah. Ajaran tersebut mengajarkan agar penghayatan kepada Allah dilakukan dengan mentadabburi (merenungkan) ciptaan-Nya yang menjadi tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan merenungi tanda kekuasaan-Nya, maka seorang hamba akan semakin mengenal dan menghayati keagungan dan kuasa-Nya.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE