BeritaKolom

Relasi Perempuan dan Lelaki

Relasi Perempuan dan Lelaki

Oleh : Rudi Pramono, S.E.*

PWMJATENG.COM – Kartini telah menjadi simbol perlawanan budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai pelengkap dan pelayan laki-laki. Di masa RA Kartini yang hidup dalam keluarga kaum bangsawan di Rembang, perempuan dijadikan warga kelas 2 harus taat dan patuh di bawah kekuasaan laki-laki, diperlakukan tidak adil, dll ada guyonan satire : perempuan itu macak, masak, manak, kasur, dapur, sumur menjadi tema besar dan inti persoalan.

Budaya menempatkan perempuan di bawah dominasi laki-laki pun mendapatkan dukungan dari tafsir agama, antara lain melalui poligami, waris, dll, bisa menjadi salah satu hal yang membuat “agama dipersalahkan” (padahal itu bisa jadi merupakan tafsir tekstual dan konservatif)

Alhasil kultur patriarki dalam budaya dan agama menjadi sasaran kritik kaum feminis dan para pejuang kesetaraan gender, bahkan mereka justru menganggap adat dan agama menjadi alat bagi dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Sementara itu sekarang tantangan hidup yang semakin besar, membuat perempuan juga harus ikut mencari nafkah selain untuk pengembangan diri akibat dari pendidikan yang didapatkannya, juga banyak faktor lainnya, membuat perempuan harus berada di sektor publik, namun disisi lain ada situasi “belenggu” budaya dan “agama” yg bias gender yang tetap menempatkan perempuan jangan lupa dengan akarnya di rumah (ruang privat)

Umumnya perempuan menerima itu apa adanya dan ikhlas menerima konsekuensinya, yang kita kenal dengan istilah peran ganda, pemikiran mereka membantu suami mencari nafkah, sehingga perempuan menjadi kurang maksimal dalam prestasi di samping karena lelah dan letih menjalani peran ganda, semakin “parah” ketika kemudian perempuan juga harus berpikir keras mengatur keuangan demi tercukupnya kebutuhan, sementara laki-laki sepertinya kalau sudah menyerahkan gaji bulanan sepertinya “tidak terlalu peduli lagi”

Itulah situasi ketidakadilan gender, setelah Kartini sukses mewujudkan kesetaraan gender sekitar 100 tahun yang lalu, di mana Kartini telah “mengeluarkan” perempuan dari ruang privat dari kungkungan adat, dengan sekolah dan bekerja, dalam perkembangan jaman terjadilah peran ganda perempuan yang dinilai tidak adil oleh kaum feminis.

Baca juga, Halalbihalal: Manifestasi Ajaran Islam dalam Menjaga Toleransi dan Kebersamaan

Kaum perempuan telah berada di dua kaki satu kaki di ruang privat (merawat anak dan mengurus rumah tangga) dan satu kakinya lagi diruang publik (belajar, bekerja dan aktivitas masyarakat lainnya, sementara itu laki-laki “konsisten” diruang publik ( bekerja saja, urusan anak, rumah, pendidikan, keuangan urusan istri)

Bagaimanakah baiknya? Kalau dalam perspektif tentang amal saleh dalam Al Qur’an diwajibkan bagi setiap laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan surga-Nya, dalam ilmu pengetahuan modern, peran perempuan dibutuhkan dalam peran publik karena karakter loyal dan telaten selain fisiknya yang cocok untuk pekerjaan pelayanan dan administrasi, jadi jelas dalam agama dan ilmu pengetahuan modern perempuan juga harus beramal saleh secara luas dan bermanfaat.

Menurut saya ada solusi peran ganda itu juga harus dilakukan oleh laki-laki dalam wilayah yang bukan kodrat perempuan (hamil, melahirkan, menyusui). Kaum laki-laki juga harus ikut merawat anak, mendidik anak, merawat rumah, memasak, kalau perlu belanja juga tidak apa-apa dan ikut mengelola keuangan bersama istri, sehingga relasi yang berjalan bisa adil, seimbang, dan bersama untuk kebahagiaan keluarga.

Namun juga ada pilihan lain, lebih tegas dan jelas, perempuan di rumah (merawat, mendidik anak dan rumah) sementara suami di luar mencari nafkah semaksimal mungkin untuk mencukupi kebutuhan keluarga atau ada juga yang kemudian mengirimkan anaknya ke pondok karena mobilitas orang tuanya yang tinggi di ranah publik.

Baca juga, Inspirasi R.A Kartini: Guru sebagai Pengasah Pikiran dan Pendidik Budi Pekerti

Itu saya pikir beberapa pilihan “Ijtihad keluarga Kartini modern” yang bisa diambil di jaman sekarang ini untuk menjawab isu tentang kesetaraan dan keadilan gender yang intinya tetap dalam konteks menuju keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah.

Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu (tajdid) harus ikut memikirkan hal ini, karena KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah melalui Aisyiyah lah yang justru lebih dulu telah “mengeluarkan perempuan” untuk mengaji, berorganisasi, sekolah, berdaya, berkarya, bekerja bahkan sebelum ada Kartini.

Muhammadiyah harus menyusun konsep Islam untuk menjawab konsep kesetaraan gender kaum feminis yang dikhawatirkan menjadi sekuler dan liberal dan bisa mempengaruhi kaum perempuan, dan ini mungkin telah terjadi dengan banyak perempuan aktif yang tidak mau menikah karena dikhawatirkan akan mengganggu aktifitas dan karirnya, dan kehidupannya mengarah ke kehidupan dunia, menjadi sekuler, liberal bahkan mungkin ada yang atheis

Nabi dan Rasul mendakwahkan tauhid yang mengandung konsep persamaan dan kesetaraan manusia, dan telah menjadi gerakan sosial egalitarianisme melawan oligarki politik ekonomi dan pembebasan perempuan yang ketika itu di jaman jahiliyah dianggap komoditi belaka.

Islam sebagai agama yang sempurna pasti shahihun liqulli zamanin wa makanin (relevan di sepanjang jaman di setiap ruang dan waktu). Wallahu a’lam.

*Ketua MPI PDM Wonosobo.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE