BeritaKhazanah Islam

Penggunaan Biji Tasbih untuk Berzikir, Bid’ahkah?

Penggunaan Biji Tasbih untuk Berzikir, Bid’ahkah?

Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag.*

PWMJATENG.COM – Terkait dengan penggunaan tasbih untuk sarana ritual, Syaikh Bakr Abu Zaid menyebutkan, bahwa penggunaan tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800 M orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga al-Barahimah di India, pendeta Kristen dan Rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke benua Asia. Lebih lanjut beliau juga mengutip sejarah tasbih yang dimuat di al-Mausu’at al-‘Arabiyah al-‘Alamiyah, 23/157, yang secara singkat sebagai berikut:

Orang-orang Katolik menggunakan limapuluh biji tasbih kecil yang dibagi empat yang diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang sama. Juga dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan tiga biji kecil, kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka membaca puji Tuhan dengan biji tasbih yang besar, dan membaca pujian Maryamiyah dengan biji tasbih yang kecil. Orang-orang Budha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan persembahyangan. Juga dilakukan oleh orang-orang Hindu di India, dan dipraktikkan oleh orang-orang Kristen pada abad pertengahan. Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M. Dalam kitab Musahamatul Hindi disebutkan, bahwa orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.[1]

Pandangan Fuqaha

Ibnu Allan ash-Shiddiqy membolehkan penggunaan biji tasbih sebagaimana bisa dilihat dari kutipan ini.

“Simpulannya, yaitu bahwa penggunaan gelang tasbih untuk menghitung zikir yang banyak yang dapat melalaikannya karena banyaknya dari konsentrasi zikir lebih utama daripada menghitungnya dengan jari atau sejenisnya. Penghitungan zikir dengan jari tangan pada jumlah (terbatas) yang tidak menghasilkan kelalaian terutama zikir setelah salat dan sejenisnya lebih utama,”[2]

Imam as-Suyuthi dalam al-Minhaj sebagaimana dikutip Tengku Hasby ash-Shiddieqy menyatakan:

 “Tidak dinukillan dari ulama salaf atau khalaf larangan menghitung zikir dengan biji tasbih, bahkan kebanyakan ulama mempergunakan biji tasbih, mereka tidak memandang hal itu makruh”.[3]

Baca juga, Enam Tingkatan Halalbihalal

Sedang Syaikh al-Albani cenderung menganggap berzikir menggunakan tasbih adalah bid’ah. Sementara Syaikh bin Baz, Syaikh al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jibrin, berpendapat boleh saja menggunakan biji tasbih untuk menghitung dzikir walau yang lebih utama menggunakan jari jemari, serta berpesan jangan sampai riya` jika menggunakan biji tasbih itu.[4]

Pandangan Muhammadiyah

Pandangan Muhammadiyah melalui fatwa Majelis Tarjih mirip dengan apa yang dikemukakan ulama Saudi pada umumnya yakni boleh mneggunakan biji tasbih untuk berdzikir karena dia hanya wasilah saja bukan tujuan. Namun menggunakan jari jemari untuk berdzikir jelas lebih utama dan sesuai sunnah. Dalam hal ini Majelis mengemukakan beberapa riwayat terkait enggunaan biji tasbih untuk berdzikir.

Pertama :

“Dari Safiyyah ra [diriwayatkan] ia berkata: Rasulullah saw masuk ke (rumah) saya sedangkan di hadapanku ada 4.000 biji kurma yang kugunakan untuk bertasbih. Lalu beliau bertanya: Wahai Bintu Huyay, apa ini? Aku menjawab: Biji kurma ini kupakai untuk bertasbih. Beliau bersabda: Sungguh aku telah bertasbih lebih banyak daripada (tasbihmu) ini sejak aku beranjak dari sisi kepalamu. Aku berkata: Ajari aku wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Ucapkan: Subhanallahi ‘adada maa khalaqallahu min syai’” [HR. al-Hakim, katanya Hadits ini shahih sanadnya, dan ada Hadits lain sebagai syahid yang sanadnya lebih shahih dari Hadits ini].

Hadis kedua.

Dari Aisyah binti Saad bin Abi Waqqas [diriwayatkan] dari ayahnya bahwa ia bersama Rasulullah saw masuk (rumah) seorang perempuan sedang di hadapannya ada biji-bijian atau batu-batu kerikil yang dipergunakannya untuk bertasbih. Maka beliau bersabda: “Aku beritahu kamu sesuatu yang lebih mudah atau lebih utama dari ini, kemudian beliau melanjutkan: Subhanallah ‘adada maa khalaqa fis samaak, wa subhanallah ‘adada maa khalaqa fil ardli, wa subhanallah ‘adada maa khalaqa baina dzalik, wa subhanallah ‘adada maa huwa khaaliq, wallahu akbar mitsla dzalik, wal hamdu lillah mitsla dzalik, wa laa ilaaha illallah mitsla dzalik, wa laa haula wa laa quwwata illaa billah mitsla dzalik” [HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi].

Majelis menambahkan penjelasan, bahwa di masa lalu dan era-era selanjutnya batu-batu atau biji-bijian pernah dipakai sahabat untuk berzikir, lalu dalam perkembangannya disusun sedemikain rupa sehingga terbentuk kalung/gelang biji tasbih seperti yang ada sekarang ini supaya bisa digunakan berulang kali. Kalung/gelang biji tasbih tersebut ada yang terbuat dari batu-batuan, biji kurma, kayu, plastik dan lainnya dan biasanya terdiri dari 99 butir atau terkadang 33 butir. Menggunakan kalung atau gelang tasbih ketika berzikir itu dibolehkan karena telah dicontohkan oleh para sahabat Nabi saw, dan beliau tidak mengingkarinya. Kalung/gelang biji tasbih tersebut hanyalah alat untuk menghitung zikrullah supaya sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Baca juga, Hukum Kawin Kontrak dalam Islam

Hanya saja perlu ditegaskan di sini bahwa zikrullah dengan menggunakan jari-jari lebih diutamakan, karena lebih aman dari riyak dan telah dilakukan serta diperintahkan sendiri oleh Rasulullah saw, sebagaimana dalam Hadits-Hadits berikut:

Dari Abdullah bin Amr [diriwayatkan] ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah saw menghitung tasbih (zikir). Ibnu Qudamah menambahkan: dengan tangan kanannya” [HR Abu Dawud].

“Dari Humaidlah binti Yasir [diriwayatkan] dari neneknya, Yusairah ra., yaitu seorang perempuan Muhajirin, ia berkata: Rasulullah saw pernah bersabda (kepada kami): Hendaklah kalian selalu tetap bertasbih, tahlil dan taqdis. Dan janganlah kalian lalai, niscaya kalian akan lupa tauhid. Dan hendaklah kalian hitung dengan jari-jari, karena sesungguhnya jari-jari itu nanti akan dimintai pertanggungjawaban dan diminta untuk berbicara” [HR al-Hakim, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud].[5]

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, ulama Salafi sendiri tidak satu suara dalam mneyikapi penggunaan biji tasbih untuk menghitung dzikir. Syaikh al-Albani dengan lantang membid’ahkan, sedang Syaikh bin Baz dan Syaikh al-Utsaimin dan beberapa ulama Saudi lainnya mirip dengan pandangan Muhammadiyah.

Apa yang dipilih Majelis Tarjih dan juga Syaikh bin Baz serta Syaikh al-Utsaimin pada dasarnya lebih pas dan kuat untuk diambil. Bahwa zikir yang utama tetaplah dengan menggunakan jari tangan sebagai alat untuk menghitungnya. Namun tidak perlu dilarang, dicela, dibid’ahkan, jika ada orang yang menggunakan biji-biji tasbih untuk menghitungnya. Karena  biji tasbih hanyalah alat bukan tujuan itu sendiri. Sama seperti orang sekarang menggunakan pengeras suara untuk azan, khutbah, atau pun pengajian.

Sementara itu sebagian ulama seperti Syaikh Ali Jum’ah Mufti Agung Mesir, berpendapat bahwa menggunakan biji tasbih adalah sunnah dan lebih utama dari menggunakan jari jemari jika dikhawatirkan akan terjadi kekeliruan dalam menghitungnya. Dengan demikian hatinya mudah menyatu dengan bacaan zikir tanpa terganggu konsentrasi dengan menghitung memakai jarinya.[6]

Adapun di antara dasar hadis tentang kebolehan memakai tasbih ketika berzikir adalah sebagaimana berikut.

Pertama. hadis riwayat Shafiyyah bint Huyai. Ia berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا، قَالَ: «لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ، أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ؟» فَقُلْتُ: بَلَى عَلِّمْنِي. فَقَالَ: «قُولِي: سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ» أخرجه الترمذي

“Rasulullah saw. mendatangiku sedangkan di hadapanku terdapat empat ribu biji yang aku bertasbih dengannya. Rasulullah saw. pun bersabda, “Sungguh kamu telah bertasbih dengan menggunakan ini, Perhatikanlah aku akan mengajarimu yang lebih banyak dari pada tasbihmu.” Lalu aku berkata, “Iya, ajarilah aku.” Kemudian beliau bersabda, “Bacalah Subhanallah adada khalqih (Subhanallah sebanyak ciptaan Nya). (HR. At-Tirmidzi)

Kedua. Riwayat Saad bin Abi Waqqas. Bahwasannya suatu ketika ia bersama Rasulullah saw. mendatangi seorang wanita yang di depannya terdapat biji atau kerikil yang ia bertasbih dengan menggunakan biji atau kerikil itu. Lalu Rasulullah saw. pun bersabda

«أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا -أَوْ أَفْضَلُ-»، فَقَالَ: «سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَالْحَمْدُ للهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ مِثْلُ ذَلِكَ» أخرجه أبو داود واللفظ له والترمذي وحسنه والنسائي وابن ماجه وصححه ابن حبان والحاكم.

Aku ingin memberitahukanmu yang lebih mudah bagimu dari pada ini – atau lebih afdhal. Lalu beliau membaca “Subhanallah adadama khalaqa fis samaa’ (subhanallah sejumlah apapun yang Dia ciptakan/makhluk di langit), subhanallah adada ma khalaqa fil ardl (subhanallah sejumlah apapun yang Dia ciptakan di bumi), subhanallah adada maa khalaqa baina dzalik (subhanallah sejumlah apapun yang Dia ciptakan di antara langit dan bumi), subhanallah adada ma huwa khaaliq (subhanallah sejumlah apa yang Dia ciptakan), Allahu Akbar mislu dzalik (Allahu Akbar seperti sejumlah itu/bacaan subhanallah), Alhamdulillah mislu dzalik (alhamdulillah seperti jumlah itu/bacaan subhanallah), Lailaaha Illa Allah mislu dzalik (Laa ilaaha illaa Allah seperti jumlah itu), Laa haula walaaquwwata illaa billaah mislu dzalik). (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Baca juga, Meningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan Selepas Ramadan: Menjaga Konsistensi dalam Ibadah

Ketiga. Riwayat dari Al-Qasim bin Abdirrahman, ia berkata:

كَانَ لِأَبي الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه نَوًى مِنْ نَوَى الْعَجْوَةِ في كِيسٍ، فَكَانَ إِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ أَخْرَجَهُنَّ وَاحِدَةً وَاحِدةً يُسَبِّحُ بِهِنَّ حَتَّى يَنْفَدْنَ” أخرجه أحمد في “الزهد” بسند صحيح.

Abu Darda’ r.a. memiliki sejumlah biji kurma di dalam sebuah kantong. Saat ia melaksanakan salat di pagi hari, ia mengeluarkannya satu persatu sambil bertasbih dengan biji-biji itu sampai habis. (HR. Ahmad).

Keempat. Riwayat dari Abu Dadhrah Al-Ghifari, ia mengatakan:

حَدَّثَنِي شَيْخٌ مِنْ طُفَاوَةَ قَالَ: تَثَوَّيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضي الله عنه بِالْمَدِينَةِ، فَلَمْ أَرَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ تَشْمِيرًا، وَلا أَقْوَمَ عَلَى ضَيْفٍ مِنْهُ، فَبَيْنَمَا أَنَا عِنْدَهُ يَوْمًا وَهُوَ عَلَى سَرِيرٍ لَهُ وَمَعَهُ كِيسٌ فِيهِ حَصًى أَوْ نَوًى وَأَسْفَلُ مِنْهُ جَارِيَةٌ لَهُ سَوْدَاءُ وَهُوَ يُسَبِّحُ بِهَا، حَتَّى إِذَا أَنْفَدَ مَا فِي الْكِيسِ أَلْقَاهُ إِلَيْهَا فَجَمَعَتْهُ فَأَعَادَتْهُ فِي الْكِيسِ فَدَفَعَتْهُ إِلَيْهِ” أخرجه أبو داود والترمذي وحسنه والنسائي.

“Seorang syeikh dari Thufawah bercerita kepadaku, dia berkata, “Saya bertamu kepada Abu Hurairah di Madinah. Saya tidak pernah menemukan seorang sahabat Nabi saw. yang lebih berusaha untuk menghormati tamunya melebihi beliau. Pada suatu hari, ketika saya sedang berada di rumahnya, beliau berada di atas ranjang. Di sampingnya terdapat kantung yang berisi kerikil atau biji kurma yang digunakan menghitung jumlah bacaan tasbihnya. Di sisi bawah ranjang itu terdapat seorang budak perempuan hitam miliknya. Jika kantung itu telah habis isinya, dia lalu memberikannya kepada budaknya itu. Budak itu lalu mengumpulkan isi kantung itu dan memasukkannya ke dalamnya lalu menyerahkannya kembali kepada beliau.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi dan An-Nasai)

Selain itu terdapat riwayatnya cucu Abu Hurairah yang bernama Nu’aim bin Al Muharrar bin Abu Hurairah. Ia mendapat cerita dari kakeknya (Abu Hurairah) yang memiliki sebuah tali yang mempunyai seribu ikatan. Abu Hurairah tidak akan tidur sampai ia bertasbih dengan menggunakan seribu ikatan tali tersebut. Riwayat ini terdapat di dalam kitab Zawaiduz Zuhud karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’nya.

Sementara itu, masih banyak pula riwayat tentang pemakaian tasbih yang dilakukan oleh Saad bin Abi Waqqas, Abu Said Al-Khudri, Abu Shafiyyah (budak Nabi saw.), Fathimah dan para sahabat serta tabiin lainnya. Bahkan sejumlah ulama seperti imam As-Suyuthi telah menulis satu kitab khusus terkait disyariatkannya berzikir menggunakan tasbih. Beliau menulis karya yang berjudul Al Minhah Fis Sabhah.[7]

Perlu diingat, inti dari dzikir adalah mengingat dengan hati dengan penuh kekhusyuan dan membayangkan keagungan dan kebesaran Allah SWT. Dzikir akan lebih lengkap jika hati mnegingat dan lisan menyebut secra pelan/lirih. Soal apakah mau dihitung atau tidak itu nomor sekian, termasuk pakai alat apa untuk menghitung lebih nomor sekian lagi. Wallahu a’lam.

Penutup

Berdzikir menggunakan biji tasbih dan semisalnya dihukumi boleh oleh Majelis tarjih Muhammadiyah dan juga beberapa ulama senior Saudi Arabia seperti Syaikh bin Baz, Syaikh al-Utsaimin. Namun mereka tetap mengatakan, berdzikir dengan jari lebih utama dan lebih sesaui sunnah. Sedang ulama Salafi lain semisal Syaikh al-Albani bersikeras menggunakan biji tasbih untuk berzikir adalah bid’ah.

Tasbih (su’bah) adalah alat bukan tujuan, jadi alat tidak semestinya dihukumi bid’ah atau terlarang, sama seperti orang sekarang memakai pengeras suara untuk adzan, pesawat untuk transportasi naik haji, keran untuk berwudu dan lain-lain. Wallahu a’lam.

*Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah

Editor : M Taufiq Ulinuha

Daftar Bacaan

al-Arfaj, Abdul Ilah bin Husain, Konsep Bid’ah & Toleransi Fiqih, Cet. II, (Jakarta : al-I’tishom, 2013)

Al-Juraisyi, Khalid bin Abdurrahman, Fatawa ‘Ulama al-Balad al-Haram, Cet. XVIII, (Riyadh : Dar al-Alukah li an-Nasyr, 2014)

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa & Haji, Cet. II, ( Jakarta : Dar al-Falah, 2004)

Jum’ah, Ali, Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’, Cet. II, (Jakarta : Khatulistiwa Press, 2017)

Rahman, & Ade Jamarudin, Perbedaan Fatwa Fiqih Salafi Wahabi, (Yogyakarta : Zanafa Publishing, 2017).

Somad, Abdul, 37 Masalah Populer, Cet. XII, (Pekanbaru : Tafaqquh Media, 2017)

Maktabah asy-Syamilah Versi 3.4.

HadisSoft

https://suaramuhammadiyah.id/2019/07/19/zikir-dengan-biji-tasbih/, diakses 27 Desember 2021.

https://tarjih.or.id/zikir-dengan-biji-tasbih/, diakses 23 Desember 2021.

https://www.dakwahmanhajsalaf.com/2020/10/hukum-berdzikir-menggunakan-tasbih.html, diakses 23 Desember 2021.

https://almanhaj.or.id/1764-sejarah-tasbih-dan-hukumnya.html , diakses 23 Desember 2021.

https://bincangsyariah.com/ubudiyah/hukum-berzikir-menggunakan-tasbih/, diakses 23 Desember 2021.


[1] https://almanhaj.or.id/1764-sejarah-tasbih-dan-hukumnya.html , diakses 29 November 2021.

[2] Ibnu ‘Alan, Al-Futuhat, I :252.

[3]  Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Jilid I, Cet. I, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2011), hlm. 741.

[4] Abdul Ilah bin Husain al-Arfaj, Konsep Bid’ah & Toleransi Fiqih, Cet. II, (Jaakrta : al-I’tishom, 2013), hlm. 218-224.

[5] https://suaramuhammadiyah.id/2019/07/19/zikir-dengan-biji-tasbih/, https://tarjih.or.id/zikir-dengan-biji-tasbih/

[6] Ali Jum’ah, Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’, Cet. II, (Jakarta : Khatulistiwa Press, 2017), hlm. 210.

[7] https://bincangsyariah.com/ubudiyah/hukum-berzikir-menggunakan-tasbih/

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE