Pangan Organik
Pangan Organik
(Bagian Ketiga)
Oleh : Khafid Sirotuddin*
PWMJATENG.COM – Sekarang ini semakin banyak orang yang memiliki kesadaran untuk mengonsumsi makanan organik. Mereka tidak lagi sekedar makan untuk memenuhi rasa lapar dan kenyang. Namun sudah muncul kesadaran bagaimana tubuh mendapatkan asupan makanan yang aman, bergizi baik, seimbang dan menyehatkan.
Bahan pangan organik dihasilkan dengan menggunakan metode pertanian organik, yang membatasi input sintetik modern seperti pestisida sintetik dan pupuk kimia. Bahan pangan organik juga tidak diproses menggunakan iradiasi, pelarut industri atau bahan tambahan makanan kimiawi.
Gerakan pertanian organik atau ‘Revolusi Hijau’ muncul pertama tahun 1940-an menanggapi industrialisasi pertanian pada saat itu. Kini berbagai negara menerapkan kebijakan pangan seperti pelabelan ‘sertifikasi organik’ agar suatu bahan pangan dapat dijual ke masyarakat sebagai “bahan pangan organik”. Dengan regulasi ini, bahan pangan organik wajib diproduksi dengan cara yang sesuai standar organik, yang telah ditetapkan pemerintah suatu negara dan organisasi internasional.
Dalam perdagangan ekspor-impor produk hortikultura (buah dan sayuran) segar misalnya, dikenal adanya GAP (Good Agriculture Practice) sebagai standar baku atau ‘syariat’ yang mengatur ketentuan- ketentuan antara lain :
Pertama, budidaya produk hortikultura (on-farm) sejak pembibitan, penanaman, saprotan (pupuk dan pestisida) yang dipakai, waktu dan cara pemanenan.
Kedua, hal ihwal teknologi pasca panen (off farm) yakni perlakuan terhadap produk setelah dipanen. Meliputi cara pembersihan, grading, cara pengawetan yang diijinkan (waxing, pengasapan belerang, dll) hingga packaging yang disarankan.
Ketiga tata cara dan aktivitas pendukung lainnya (non farm) juga diatur. Misalnya bagaimana agar produk horti tetap ‘terjaga dan memenuhi standar kualitas dan keamanan pangan’ dalam masa pengiriman/distribusi baik menggunakan moda transportasi laut, udara dan darat (shipping, trucking). Juga prosedur penyimpanan yang baik berdasarkan jenis dan varietas buah sayuran segar (cool storage).
Untuk industri pangan berbahan baku buah dan sayuran juga diatur ketentuan-ketentuan khusus. Misal dalam industri pangan olahan seperti sirup, juice, selai, saus, caramel, keripik, roti, dan sebagainya.
Tentu kita masih ingat adanya 2 korban meninggal di Amerika tahun 2015, setelah mengkonsumsi ‘karamel apel’ yang dibelinya.
Baca juga, Teruo Higa dan EM
Maka dalam waktu relatif singkat pihak berwenang sudah bisa mengetahui sumber penyebabnya dan lebih cepat melakukan langkah-langkah pengamanan berupa penarikan produk dari pasar. Langkah cepat dan tepat dilakukan agar korban tidak bertambah karena konsumsi produk yang sama. Akhirnya diketahui bahwa karamel apel yang mematikan itu terpapar bakteri Listeria monocytogenes.
Dari mana pihak berwenang mengetahui dalam waktu yang relatif singkat? Informasi awal tentu didapat dari ‘barcode’ atau ‘kode produksi’ karamel apel yang tercantum dalam kemasan. Dari barcode akan diketahui ‘produsen/pabrik karamel apel, kapan produksinya, siapa pemasok apel, siapa petani atau perkebunan penghasil nya, kapan apel tersebut panen dan saprotan yang dipakai’. Berbekal penelusuran ‘matan dan sanat yang shahih’ atas riwayat produksi pangan olahan itu, akhirnya diketahui bahwa bakteri Listeria monocytogenes yang ditemukan pada karamel apel berasal dari pupuk yang dipakai sebagai salah satu saprotan pada sebuah perkebunan apel di California, Amerika.
Apel Granny Smith ditemukan pertama kali di Australia pada tahun 1867. Warna kulitnya hijau dan rasanya masam. Apel jenis ini diyakini banyak mengandung anti oksidan dan vitamin dibandingkan apel jenis lain. Namun apel Granny Smith ini kurang begitu laku di pasaran Indonesia. Selain alasan harga yang relatif mahal, ternyata konsumen kita lebih tertarik membeli buah yang warna kulitnya ‘kuning atau merah’, dengan ‘rasa yang manis’.
Budaya Makan Buah dan Sayuran
Standar produksi hortikultura (buah dan sayuran) yang organik, sehat, aman dan memperhatikan aspek ekologis, belum sepenuhnya disadari dan diaplikasikan secara baik dan benar sesuai GAP. Sebuah standar kesehatan dan keamanan pangan yang berlaku di dunia.
Masyarakat kita masih kurang atau tidak mau tahu seberapa aman dan sehat produk horti yang setiap hari dikonsumsi. Kita abai atau ‘ora nggalbo’ (Jawa) terhadap sayuran segar yang dibeli di pasar: bayam, kangkung, wortel, brokoli, kembang kol, seledri, dll. Kita juga tidak mau tahu asal muasal buah yang kita beli di pasar berasal dari mana, petani/perkebunannya siapa dan dengan cara apa buah-buahan mangga, nangka, durian, pisang, alpukat, dll. matang atau masak? Apakah masak di pohon, ‘diembu’ dengan karbit, ‘dipantek’ dengan kayu bakar, atau bahkan ditambahi zat kimia tertentu yang disemprotkan pada kulit buah.
Beberapa waktu lalu, sempat viral video tentang buah pisang yang ‘dimatangkan paksa’ dengan cara disemprotkan zat kimia tertentu ke kulit buah pisang. Sehingga dalam waktu 5-10 jam kulit pisang yang tadinya hijau berubah menjadi kuning dan terlihat “seakan-akan” matang pohon.
Baca juga, Adab Vs Ilmu
Sempat viral juga video tentang ikan asin dan tahu, di mana proses pengasinan dan pengawetannya menggunakan larutan air yang ditambahkan formalin sintetis. Obat kimia yang biasa dipakai untuk mengawetkan jenazah manusia dan hewan.
Sebenarnya formalin alami atau natural itu ada pada kulit buah- buahan. Yakni semacam ‘serbuk putih’ yang terlihat menempel pada buah mangga, anggur, apel, pisang, srikaya dan beberapa jenis buah tropis maupun sub-tropis. Fungsinya melindungi kulit buah agar tidak cepat busuk ketika buah sudah matang.
Asupan pangan organik (beras, buah, sayuran, dll) yang sehat dan tidak mengandung residu pestisida kimia sintetis sangat diperlukan tubuh. Oleh karenanya kita musti membiasakan diri memilah dan memilih bahan pangan yang baik, benar dan aman bagi kesehatan.
Ada kalimat bijak yang sangat perlu untuk kita renungkan: “Jadikan makanan kita obat, sebelum obat-obatan menjadi makanan kita”.
Kami berharap jaringan RSMA (Rumah Sakit Muhammadiyah-Aisyiyah) se Jateng bisa menjadi pioner dalam penyediaan asupan makan (diet) yang mendukung proses penyembuhan bagi pasien-pasiennya.
Dengan asupan diet yang baik, menjadikan obat2an dan antibiotik yang diberikan dokter kepada pasien, bakal lebih maksimal. Berupa penyediaan ransum makanan dan minuman oleh bagian instalasi gizi RSMA yang berkeadaban, yaitu makanan yang halal, thayyiban, sehat, aman, organik dan berimbang.
Membuat Bahan Pangan Organik Secara Instan
Saat ini sudah mulai muncul kesadaran di sebagian kecil masyarakat kita arti pentingnya bahan makanan organik bagi kesehatan. Ditandai adanya beberapa kedai/toko/outlet dan warung yang menjual bahan pangan organik dan produk turunannya. Seperti sayuran dan buah2an organik, berbagai makanan dan minuman organik, beras organik, dan semacamnya.
Permasalahan yang kita hadapi adalah budidaya tanaman pangan, pertanian dan peternakan organik ‘belum membudaya’ di kalangan petani, pekebun dan peternak kita. Indikatornya adalah meningkatnya penjualan pupuk kimia, pestisida, insektisida, herbisida, fungisida kimia sintetis, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Indonesia.
Indikator lain adalah meningkatnya beraneka ragam penyakit degeneratif di masyarakat akibat pola makan yang tidak sehat dan berimbang. Kami menjumpai beberapa pasien gagal ginjal yang sedang menjalani cuci darah (hemodialisa) di RSI Muhammadiyah Weleri Kendal, dalam usia yang relatif sangat muda, yakni 19-35 tahun.
Kami juga mendapati cukup banyak orang menderita penyakit DM (Diabetes Melitus/Kencing Manis) di usia sangat produktif (17-30 tahun).
Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan bahan pangan organik dengan cara mudah dan murah?
Dengan teknologi ‘Probiotik Siklus’ (PS) memungkinkan hal itu didapatkan secara instan.
Caranya sangat mudah, yaitu dengan menambahkan produk probiotik siklus tertentu ke dalam air untuk merendam sayuran, buah-buahan, tahu, daging ayam broiler dan semacamnya.
Cukup 5-10 cc untuk 1.000 cc (1 liter) air, dan semua bahan pangan direndam selama 30 menit, lalu tiriskan.
Hasil uji laboratorium yang sudah dilakukan beberapa kali, teknologi ini mampu mereduksi zat-zat kimia sintetis dan pestisida kimia yang tersisa di bahan pangan sampai 90% lebih. Selain itu bahan pangan organik memiliki waktu expired lebih lama. Sebuah teknologi mutakhir yang mudah, murah dan bisa dilakukan dari rumah kita. Wallahu’alam
*)Ketua Umum Asosiasi Ekspor Impor Buah-Buahan dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo), 2012-2019
Editor : M Taufiq Ulinuha