EditorialKolom

Muhammadiyah Garis Luwes

PWMJATENG.COM – Suatu ketika ada seorang sahabat non Muslim yang juga aktivis pergerakan mengirimkan satu pesan WhatsApp dengan mengatakan, “Seandainya saya Muslim pasti saya akan bergabung dengan Muhammadiyah, sebab Muhammadiyah itu rasional dan penghuninya adalah para kaum intelektual”. Dalam waktu yang berbeda sahabat yang lain menyampaikan keluh kesahnya, “Saya ini lahir dari orang tua Muhammadiyah, lingkungan Muhammadiyah, ngaji di tempat pengajian Muhammadiyah, pernah ngajar di salah satu Amal Usaha Muhammadiyah, fanatik saya adalah fanatik Muhammadiyah, hanya saya ini tidak pernah masuk dalam jajaran struktural ortom maupun Muhammadiyah, dalam kapasitas tertentu ternyata orang seperti saya ini masih saja diragukan Kemuhammadiyahannya”.

Saat menjadi mahasiswa kita pernah menyeleggarakan Darul Arqom yang salah satu pesertanya adalah non Muslim, saat itu kami dihabisi dan dihakimi bahwa perkaderan yang dilakukan telah menyimpang dari khittah, perlu dirombak, diluruskan, dibenahi dan seabrek kata lain untuk menghujat para penyelenggara saat itu. Cerita yang berbeda kita jumpai di suatu wilayah tertentu untuk menjadi pimpinan persyarikatan ternyata harus berangkat dari ortom, bahkan ortom tertentu; tentu aturan ini tidak tertulis tetapi nuansa dan upaya untuk memonopoli kepengurusan hanya berasal dari baju yang sama sangat terasa. Faktanya ada sebagian di antara warga persyarikatan yang belum move on dari background aktivitasnya di masa lampau.

Dalam sekala yang lebih luas, sebagian warga persyarikatan menjadi kaku, eksklusif, tidak percaya diri bahkan terkesan alergi ketika harus berinteraksi dengan komunitas di luar Muhammadiyah. Dengan teman-teman NU, percikan pertikaian masa lampau masih saja menghiasi hubungan keduanya. Yasinan, tahlilan, 7 hari, 40 hari dan seterusnya tampak masih menjadi bagian kekakuan interaksi keagamaan. Dengan Salafi kurang percaya diri akhirnya sebagian jadi terhipnotis oleh para jamaah bergamis itu; lalu diam-diam mulai hijrah dengan mengubah cara beragama sebagaimana manhaj salafus sholih. Dengan MTA menganggap kelompok ini lebih tegas dan lebih mengikuti sunah. Pada mereka yang dianggap sebagai kelompok kiri Islam bersikap menjaga jarak karena khawatir aqidahnya akan terkoyak.

Belum lagi ketika dihadapkan dengan kelompok di luar Islam dengan beragam isu keagamaan kelihatan sekali kalau sebagian warga Muhammadiyah kedodoran. Membangun dialog lintas agama; kerjasama dengan non Muslim; menerima bantuan dari pihak yang berbeda keyakinan; anti dengan tarian Barongsai adalah deretan contoh kekakuan sikap sebagian warga organisasi berlambang Matahari ini.

Pada wilayah politik kekakuan itu kembali ditampilkan dengan membangun opini anti terhadap partai yang tidak pakai ayat; karena dianggap sekuler, liberal dan membahayakan kepentingan Islam. Tapi pada saat partai non ayat sebagai pemenang dan tidak memberi kursi yang proporsional keyakinan bahwa kekuasaan tidak berpihak pada kepentingan Islam semakin menjadi-jadi. Mereka barangkali lupa bahwa partai politik yang pernah mencoba mengkoyak jantung persyarikatan adalah partai yang bacaan bismillahnya sangat fasih; lalu kenapa tiba-tiba anti terhadap partai yang secara kesejarahan tidak pernah mengusik ketenangan Muhammadiyah?

Dalam kontek narasi organisasi sebenarnya pikiran-pikiran resmi Muhammadiyah telah meletakkan dasar-dasar argumen yang luwes dan luas tentang bagaimana bergerak, bertindak, berinteraksi, bekerjasama dan seterusnya. Namun demikian hal ini tidak berbanding lurus dengan perilaku sebagian warganya, sekali lagi hanya sebagian tidak secara keseluruhan. Meskipun jumlahnya tidak bisa dikatakan sedikit. Barangkali orang mulai lupa bagaimana KH Ahmad Dahlan memadukan tiga kutub pemikiran dalam waktu yang bersamaan; Islam (diambil dari Timur Tengah), Modern (metodologi barat) dan tradisionalisme (Jawa). Ketiganya dihimpun dalam satu tarikan nafas yang mampu menghasilkan gerak langkah yang luwes dan mengubah peta jalan sejarah ummat Islam Indonesia.

Pendiri Muhammadiyah memberikan contoh konkrit bagaimana keluwesan itu ditampilkan. Mengajar di sekolah Belanda; mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) Muhammadiyah yang seluruh dokter dan perawatnya orang Belanda yang Kristen; punya jama’ah pengajian khusus orang-orang Nasrani di daerah Muntilan; mempunyai forum dialog rutin dengan komunitas ummat Budha di Borobudur; berkawan dengan para tokoh pergerakan yang buah pikirannya berbeda dengan beliau, namun semua itu tidak mengubah identitasnya sebagai seorang Muslim yang Muhammadiyah.

Pak AR bahkan pernah dikatakan oleh Gus Dur sebagai satu-satunya orang Muhammadiyah yang mampu memuhammadiyahkan orang NU di kandang NU tanpa menyakiti orang-orang NU; saat beliau mengubah Salat Tarawih yang biasanya 23 rakaat menjadi hanya 11 rakaat. Buya Syafi’I saat menjadi ketum PP Muhammadiyah pernah menggalang kekuatan lintas agama untuk perang melawan korupsi; sebuah langkah brilian, cerdas dan strategis. Pak Din juga contoh lain dari tokoh Muhammadiyah yang pergaulannya lintas agama, lintas budaya, dan melintasi pikiran umum warga persyarikatan.

Sebenarnya sudah banyak contoh kelompok madzhab garis luwes dalam Muhammadiyah. Hanya saja kiprah dan pemikirannya belum menjadi arus utama dalam ormas yang usianya telah melampaui satu abad ini. Bayangkan, seandainya suatu saat akan ada Pendeta, Biksu, Pastur, Brahmana, kaum Atheis dan kelompok lainnya mengikuti Baitul Arqom agar mereka menjadi faham cara pandang Islam yang sejuk sebagaimana paham agama Muhammadiyah; dan setelah lulus jangan lupa tetap diberi sertifikat dan NBM, he…he.

Menarik kalau suatu saat warga Muhammadiyah menyelenggarakan maulid Nabi Isa dengan komunitas Gereja untuk menjelaskan cara pandang kita tentang siapa Isa. Bayangkan pula kalau ada orang mengenakan baju batik Muhammadiyah ikut yasinan, tahlilan, 7 hari, 40 hari; lalu setelah itu menjelaskan tafsir Surat Yasin kepada para jama’ahnya sesuai dengan Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Tak kalah elok jika warga persyarikatan aktif di Golkar, PDIP, Nasdem, Demokrat, PKS, PKB, Gelora, PAN, Ummat, Pelita dan seterusnya tanpa harus kehilangan identitas Muhammadiyahnya. Dan sungguh indah jika orang-orang yang berada di luar struktural Muhammadiyah tetap dihormati dan dimanusiakan; sehingga menjadi Muhammadiyah tidak harus selalu berada dalam garis struktural.

Jika ada yang mampu mendorong untuk mewujudkan ide-ide besar itu maka itulah madzhab Muhammadiyah garis luwes. Insyaallah siap jadi makmum yang taat.

Penulis : Muhammad Zuhron Arrofi, M.Pd.I. (Gus Zuhron) – (Sekretaris MPK PWM Jawa Tengah, Dosen UNIMMA)
Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE