BeritaTokoh

Milad 106 ‘Aisyiyah, Merefleksikan Kegigihan Ketua ‘Aisyiyah Pertama Siti Bariyah

PWMJATENG.COM, Semarang – “Eyang Bariyah seorang wanita yang keras, sebagai juragan batik yang ulet.” (Mu’tasimbillah Al-Ghozi)

Amin Masjid Besar Yogyakarta telah mendirikan sebuah perkumpulan pengajian perempuan pertama di kampung Kauman, bersama istrinya, pada tahun 1914.

Anggota perkumpulan pengajian ini terdiri dari murid-murid perempuan di Sekolah Netral (Neutrale Meisjes School) dan Sekolah Agama (Diniyah Ibtidaiyah). Perkumpulan pengajian khusus kaum perempuan ini didirikan bermula dari tiga gadis Kauman yang menuntut ilmu di sekolah Belanda atas anjuran Khatib Amin.

Pada tahun 1913, tiga gadis Kauman pertama kali menuntut ilmu di Neutraal Meisjes School di Ngupasan. Mereka adalah Siti Bariyah, Siti Wadingah, dan Siti Dawimah. Selain memasukkan tiga gadis Kauman ke sekolah umum, dua gadis lainnya, Siti Umniyah dan Siti Munjiyah disekolahkan di Diniyah Ibtidaiyah.

Langkah K.H. Ahmad Dahlan yang menganjurkan anak-anak perempuan di Kauman masuk sekolah umum merupakan gagasan baru yang sesungguhnya masih sangat sulit diterima oleh masyarakat setempat. Gagasan Kiai Ahmad Dahlan ini sempat dianggap sebagai langkah kontroversial, karena masyarakat setempat memang masih beranggapan bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah. Apalagi jika seorang perempuan harus ke luar kampung untuk masuk sekolah yang dipimpin oleh orang Belanda. Langkah Kiai Dahlan tersebut jelas dianggap sebagai upaya menjerumuskan kaum perempuan dalam kekafiran.

Meskipun mendapat kecaman dari masyarakat setempat, Khatib Amin tetap mendidik dan menjaga anak-anak gadis yang dianjurkannya menuntut ilmu di sekolah Belanda. Lewat perkumpulan pengajian Sapa Tresna, mereka dibina dan dididik dengan materi pelajaran agama Islam. Perkumpulan pengajian perempuan Islam pertama di kampung Kauman bernama Sapa Tresna inilah yang di kemudian hari menjadi cikal-bakal organisasi ‘Aisyiyah.

Dalam tradisi Jawa, status perempuan diungkapkan lewat pepatah, “suwarga nunut, neraka katut.” Tradisi Jawa memang masih menganggap perempuan berada di bawah status pria. Pandangan yang demikian tidak hanya termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga merambah pada arah pemahaman keagamaan.

Kiai Ahmad Dahlan datang sebagai pembaru Islam yang berusaha mengubah paradigma status kaum perempuan di bawah kaum pria. Dengan menganjurkan para gadis di Kauman untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah Belanda, Kiai Dahlan sedang menunjukkan bahwa kaum perempuan pun mampu hidup setara dengan kaum pria. Siti Bariyah, putri Haji Hasyim Ismail, termasuk salah satu di antara gadis-gadis di Kauman yang menerima anjuran dari Khatib Amin untuk masuk ke Sekolah Netral.

Siti Bariyah

Siti Bariyah binti Haji Hasyim Ismail, lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1325 H. Berdasarkan informasi dalam sebuah catatan pribadi peninggalan Haji Hasyim Ismail disebutkan: “Tatkala dhahiripun Bariyah amarengi ing dinten Jum’ah legi, kaping 21 wulan Shafar tahun Be Sanat 1325” (Ketika lahir anak perempuan Bariyah bersamaan dengan hari Jum’at legi, tanggal 21 bulan Shafar tahun Be sanat 1325).

Perlu diketahui, Haji Hasyim Ismail memiliki tradisi unik. Dia selalu menuliskan sejarah keluarganya, baik berupa peristiwa pendirian rumahnya, kelahiran, bahkan sampai peristiwa meninggal anak-anaknya. Haji Hasyim Ismail mencatat peristiwa-peristiwa bersejarah dalam keluarganya di halaman marginalia pada kitab Fathul Muin. Di samping itu, Haji Hasyim Ismail juga menulis pada lembaran-lembaran khusus yang dijilid bersama dengan kitab tersebut. Catatan-catatan tersebut ditulis dengan tangan menggunakan huruf Arab berbahasa Jawa (Pegon).

Mu’tasimbillah Al-Ghozi, salah satu cucu Haji Syuja’ (putra Haji Hasyim Ismail), telah menyusun silsilah Bani Hasyim berdasarkan sumber informasi dalam manuskrip peninggalan Haji Hasyim Ismail ini. Menurut keterangan Mu’tasimbillah, kelahiran Bariyah diperkirakan pada tahun 1325 H.

Siti Bariyah adalah adik kandung Siti Munjiyah, aktivis Sapa Tresna cikal bakal ‘Aisyiyah. Dia gadis berparas ayu dengan kulit kuning langsat. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu pendek. Mata bulat lebar. Tatapan matanya tajam. Di antara santri-santri perempuan Kiai Dahlan, Bariyah paling sering diajak bertabligh di kantor-kantor pejabat pemerintahan dan di sekolah-sekolah umum. Santri perempuan lain yang sering diajak bertabligh oleh Khatib Amin adalah Siti Wasilah (istri K.R.H. Hadjid). Keduanya memang memiliki kemampuan dan wawasan yang melebihi santri-santri perempuan yang lain. Bariyah mahir berbahasa Belanda, juga bahasa Melayu, sedang Wasilah mahir melatunkan tilawatil Qur’an. Sebelum pengajian dimulai, Khatib Amin menyuruh Wasilah untuk membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an sambil dilagukan dengan merdu. Bariyah mendapat giliran untuk menerjemahkan ayat- ayat al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu dan Belanda. Konon, dengan model pengajian seperti ini, banyak orang yang senang dan berlomba-lomba mengikuti pengajian.

Bariyah merupakan salah satu di antara putra-putri Lurah Kraton Yogyakarta, Haji Hasyim Ismail, yang menjadi motor penggerak reformasi Islam yang dirintis oleh Kiai Ahmad Dahlan. Sebagai putri Haji Hasyim Ismail, Bariyah bersaudara dengan Jasimah (Bu Jusak), H. Syuja’, H. Fachrodin, Ki Ba- gus H. Hadikusumo, H. Zaini HS, Munjiyah, dan Walidah. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai “Bani Hasyim” (anak-anak Haji Hasyim Ismail).

Ketua Aisyiyah Pertama

Pada tahun 1917, setelah mendapatkan kader-kader perempuan yang dipandang memiliki kecakapan di bidang kepemimpinan, Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah menggelar rapat pembentukan Bahagian ‘Aisyiyah (Sapa Tresna). Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kiai Ahmad Dahlan, H. Fachrodin, H. Mochtar, dan Ki Bagus Hadikusuma. Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Wadingah, dan Siti Badilah yang masing-masing masih berusia belasan tahun hadir mewakili kelompok Sapa Tresna. Kiai Dahlan mendapat usulan agar Muhammadiyah membentuk organisasi yang secara khusus bertujuan untuk memajukan kaum perempuan.

Dalam pertemuan ini, mula-mula nama yang diajukan untuk perkumpulan yang akan dibentuk adalah ‘Fatimah.” Tidak jelas apa argumentasi yang melandasi usulan nama ini. Siapa yang mengusulkan nama ini, di antara 10 tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut, pun tidak diketahui. Yang jelas, nama ini tidak disepakati dalam pertemuan tersebut. Lalu, Haji Fachrodin, kakak kandung Siti Bariyah, mengajukan nama “Aisyiyah.” Pemberian nama ini dinisbatkan kepada istri Nabi saw yang bernama Siti Aisyah. Para pengikut Siti Aisyah dinamakan ‘Aisyiyah. Nama ini- lah yang berhasil disepakati dalam pertemuan tersebut. Akhirnya, pertemuan tersebut berhasil memutuskan pembentukan Muhammadiyah Bahagian Istri (perempuan) yang diberi nama ‘Aisyiyah.

Dalam proses pembentukan Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah, Siti Bariyah, lulusan Sekolah Netral, dipercaya sebagai ketua (president) pertama.’ Dia sebagai lulusan Neutraal Meisjes School dan aktivis pengajian Sapa Tresna dipandang memiliki kecakapan khusus dalam memimpin salah satu organ di Persyarikatan Muhammadiyah ini.

Struktur pertama Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah adalah sebagai berikut:

Ketua : Siti Bariyah
Penulis : Siti Badilah
Bendahari : Siti Aminah Harowi

Pembantu :

Nj. H. Abdullah
Nj. Fatimah Wasool
Siti Dalalah
Siti Wadingah
Siti Dawimah
Siti Busyro

Cukup menarik dalam proses pembentukan struktur pertama HB Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah ini. Siti Bariyah tidak hadir dalam pertemuan pada tahun 1917 di kantor HB Muhammadiyah. Dia tidak tampak di antara empat gadis perwakilan dari perkumpulan Sapa Tresna yang mengajukan usul pembentukan organisasi perempuan pertama di Kauman. Tetapi, Siti Bariyah justru ditunjuk sebagai ketua pertama ‘Aisyiyah.

Dalam pertemuan antara perwakilan Sapa Tresna yang diwakili empat gadis dengan pengurus HB Muhammadiyah pada tahun 1917 terdapat nama Siti Busyro. Gadis berumur belasan tahun ini tidak lain adalah putri Kiai Dahlan, pendiri dan president HB Muhammadiyah pada waktu itu. Sekalipun Siti Busyro putri pendiri Muhammadiyah, tetapi kecakapannya dalam memimpin organisasi tidak terlalu menonjol jika dibanding Bariyah. Di sinilah letak profesionalisme dan kemodernan Muhammadiyah dalam memilih pimpinan berdasarkan kualitas seseorang, bukan atas dasar nasab atau keturunan. Selain mengedepankan profesionalisme dan kemodernan, Muhammadiyah tidak menerapkan praktik nepotisme sebagaimana yang berlaku dalam perkumpulan-perkumpulan tradisional.

Aktivis Sapa Tresna lulusan Neutraal Meisjes School di Ngupasan inilah yang pada tahun 1917 mendapat amanat sebagai pengurus pertama Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah. Siti Bariyah, generasi pertama Sapa Tresna yang berhasil menamatkan pendidikan di Neutraal Meisjes School, dianggap lebih menguasai ilmu pengetahuan dan kecakapan dalam hal kepemimpinan modern sehingga dia dipercaya sebagai ketua pertama HB Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah. Tampaknya, inilah alasan mengapa bukan Nyai Ahmad Dahlan atau anak-anaknya (Siti Aisyah dan Siti Busyro) yang ditunjuk sebagai ketua pertama HB Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah, tetapi justru Bariyah yang tidak turut serta dalam pertemuan dengan pengurus HB Muhammadiyah pada tahun 1917.

Siti Bariyah menjabat sebagai ketua HB Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah sejak periode 1917-1920. Dalam Algemene Vergadering tahun 1917, Siti Bariyah dipilih dan ditetapkan sebagai ketua (president). Pada tahun 1923, pada masa kepemimpinan Nyai Ahmad Dahlan, peran Siti Bariyah tetap signifikan di jajaran HB ‘Aisyiyah sebagai vice voorzitter (wakil ketua). Kapasitas intelektual Bariyah tidak hanya dibutuhkan di HB ‘Aisyiyah, tetapi juga diperlukan di HB Muhammadiyah, pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim.

Baca juga, Jadwal Musyda Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah se Jawa Tengah Periode Muktamar ke-48

Dokumen Soewara Moehammadijah nomor 9 Th. Ke-4 September 1923 memuat sebuah artikel penting tentang “Tafsir Maksoed Moehammadijah” yang ditulis oleh Siti Bariyah, vice voorzitter ‘Aisyiyah.” HB Muhammadiyah telah memberikan otoritas penuh kepada sosok Bariyah, wakil ketua ‘Aisyiyah, untuk memberikan penafsiran terhadap rumusan Tujuan Muhammadiyah. Jika bukan karena kapasitas intelektual Bariyah, barangkali HB Muhammadiyah tidak akan semudah menyerahkan otoritas penafsiran tujuan organisasi kepada adik kandung Haji Fachrodin ini.

Selain memegang pucuk pimpinan di ‘Aisyiyah, peran intelektual Siti Bariyah juga terlihat ketika dia terlibat dalam proses merintis penerbitan Soeara ‘Aisjijah tahun 1926. Bariyah adalah salah satu di antara empat redaktur Soeara ‘Aisjijah pertama setelah mengalami perubahan. Struktur redaksi pertama Soeara ‘Aisjijah hanya bertahan selama tiga nomor, setelah itu berubah dengan penambahan em- pat orang, Siti Wakirah, Siti Hayinah, Siti Wardiyah, dan Siti Bariyah.

Dalam kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan (1927), Siti Bariyah kembali terpilih sebagai ketua HB ‘Aisyiyah. Permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah ini digelar di Pekalongan dalam situasi politik umat Islam yang kian memanas. Kongres ini digelar pada tahun yang sama ketika Centraal Sarekat Islam (CSI) menggelar kongres di Randublatung untuk menegaskan disiplin organisasi. Sekalipun kebijakan disiplin organisasi ini ditujukan pada pengurus Sarekat Islam (SI) yang aktif di Indische Sociaal De- mocratische Vereniging (ISDV), tetapi beberapa pengurus Muhammadiyah terkena dampaknya Mulai saat itulah hubungan antara Muhammadiyah dan SI makin renggang, bahkan kian meruncing sehingga memaksa Haji Fachrodin, penningmeester (bendahara) CSI mundur dari organisasi ini dan memilih untuk tetap aktif di Muhammadiyah.

Pengusaha Batik

Sebagaimana tradisi masyarakat di Kauman, Siti Bariyah menikah dengan Muhammad Wasim, seorang anggota atau keturunan dari masyarakat Kauman. Masyarakat endogami yang terbentuk lewat perkawinan antar keluarga merupakan salah satu karakteristik masyarakat Kauman pada awal abad ke-20 Sebagai anggota masyarakat Kauman, Siti Bariyah juga menikah dengan seorang keturunan anggota masyarakat Kauman. Tahun pernikahan Bariyah memang tidak diketahui secara pasti. Tetapi, dalam catatan silsilah Bani Hasyim, Siti Bariyah diketahui menikah dengan Muhammad Wasim bin K.H. Ibrahim (President HB Muhammadiyah 1923-1932). K.H. Ibrahim putra Penghulu K.H. Muhammad Fadhil. Dia saudara kandung Siti Walidah atau adik ipar Kiai Ahmad Dahlan. Setelah menikah, K.H. Ibrahim menetap di kampung Ngadiwinatan dan menekuni profesi sebagai juragan batik. Dengan demikian, anak-anak K.H. Ibrahim termasuk keturunan warga Kauman.

Sebelum menjabat sebagai President HB Muhammadiyah, K.H. Ibrahim adalah seorang ulama dan sekaligus pedagang batik di kampung Ngadiwinatan. Sebagai seorang ula- ma, dia menguasai bahasa Arab secara fasih. Sebagai seorang pedagang batik, dia memiliki rumah produksi dan jaringan pemasaran yang cukup luas. Anak-anak keturunan K.H. Ibrahim mewarisi profesi sebagai pedagang batik, termasuk Muhammad Wasim, suami Bariyah Dengan demikian, Siti Bariyah Wasim, selain menjabat sebagai ketua HB ‘Aisyiyah, juga dikenal sebagai pengusaha batik dan menetap di Jalan Gerjen (sekarang Jalan Nyai Ahmad Dahlan nomor 36).

Sesungguhnya, sumber-sumber yang menyebutkan tentang profesi Bariyah sebagai pengusaha batik masih perlu dijernihkan kembali. Kauman, pada awal abad ke 20, memang menjadi sentra kerajinan batik. Namun demikian, tidak semua kategori pengusaha batik adalah pembuat batik. Jika K.H. Ibrahim adalah pengusaha batik dalam arti yang sesungguhnya, yakni pengusaha yang membuka pabrik pembuatan batik, maka Bariyah dan suaminya hanya menyediakan jasa mengetel atau menghaluskan kain dengan kanji sebelum diproses menjadi batik.

Rumah Siti Bariyah yang menyediakan jasa pengetelan terletak di Jalan Gerjen. Bersama suaminya, Bariyah menjalankan roda bisnis ini. Pernikahan Bariyah dengan Muhammad Wasim menurunkan tiga anak: Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad. Siti Antaroh menikah dengan Karnoto B.A. Keduanya menetap di Desa Jambu, Ambarawa, Jawa Tengah. Sedangkan Ichnaton menikah dengan Siti Chaerani. Setelah Siti Chaerani meninggal dunia, Ichnaton menikah lagi. Dia menetap di Kediri, Jawa Timur. Adapun Fuad mendapat tugas mengajar di Sumatra Utara. Dia menikah dengan Upik, seorang bidan. Fuad mendapat tugas belajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) sampai selesai. Setelah lulus, dia bertugas sebagai Hakim di Kuningan Cirebon sampai wafatnya.

Siti Bariyah meninggal dunia setelah melahirkan Fuad, anak ketiganya. Setelah meninggal dunia, anak-anak Bariyah yang masih kecil diasuh oleh Siti Munjiyah, kakak kandungnya. Dalam asuhan Munjiyah inilah anak-anak Bariyah tumbuh dewasa. Bariyah memang meninggal dunia dalam usia relatif muda, tetapi namanya telah tercatat dengan tinta emas bahwa dialah president (ketua) pertama HB Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE