Menikah Itu Mudah, yang Sulit Adalah Budaya Kita

Menikah Itu Mudah, yang Sulit Adalah Budaya Kita
Oleh : Abdul Rasyid, S.E. (Personal Finance & Investment/Ketua Umum PD IPM Kota Pekalongan 2014-2015/Sekretaris PCM Banjarharjo Brebes)
PWMJATENG.COM – Laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat bahwa angka pernikahan di Indonesia terus mengalami penurunan. Penurunan angka pernikahan terjadi hampir di semua daerah. Jawa Barat mengalami penurunan hingga 29 ribu. Kemudian Jawa Tengah yang termasuk padat penduduk menyusut hingga 21 ribu dan Jawa Timur mengalami penurunan hingga 13 ribu.
Angka pernikahan di Indonesia dalam kurun waktu enam tahun terakhir mengalami penurunan. Idealnya, dengan jumlah penduduk yang terus bertambah tiap tahunnya, angka pernikahan mestinya juga bertambah, bukan menurun. Data pernikahan tahun 2018 sekitar 2 juta, tahun 2019 sekitar 1,96 juta, tahun 2020 sekitar 1,79 juta, tahun 2021 sekitar 1,74 juta, tahun 2022 sekitar 1,7 juta, dan tahun 2023 sekitar 1,57 juta.
Laporan Statistik Indonesia 2024 juga menyoroti angka perceraian di Indonesia selama tiga tahun terakhir. Angka perceraian sempat meningkat pada tahun 2022, namun kembali menurun pada tahun 2023, meski tidak signifikan. Tahun 2021 terjadi perceraian sekitar 447 ribu, tahun 2022 sekitar 516 ribu, dan tahun 2023 sekitar 463 ribu.
Jika angka pernikahan dibandingkan dengan angka perceraian, maka tiap ada 4 pencatatan pernikahan, ada 1 kasus perceraian. Perbandingan ini bisa menjadi lonceng pertanda bahwa Indonesia menghadapi darurat keluarga. Sebab di tahun-tahun sebelumnya (tahun 2010 ke belakang), perbandingan kasus pernikahan dan perceraian masih 7:1 hingga 10:1.
Setidaknya terdapat dua alasan kenapa angka pernikahan menurun tiap tahunnya.
Pertama, ketidaksiapan secara ekonomi. Banyak individu menunda atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah karena merasa belum siap secara finansial. Untuk dapat melangsungkan sebuah pernikahan, banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh calon pengantin. Bahkan di beberapa daerah, karena faktor budaya dan kebiasaan, biaya tersebut dapat mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Angka itu tentu terasa memberatkan bagi calon pengantin dengan penghasilan yang belum mencukupi.
Menikah itu murah. Yang mahal itu resepsi atau pesta pernikahannya. Rukun nikah dalam Islam itu ada lima: calon pengantin pria, calon pengantin wanita, wali, dua saksi, dan shighat (ijab qabul). Kemudian ditambah mahar atau mas kawin. Kalau semua itu terpenuhi, berarti sah pernikahannya.
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(QS. Al-Baqarah: 286)
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ
“Berikanlah mahar meski hanya berbentuk cincin dari besi.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.”(HR. Abu Daud)
Dalam riwayat lain disebutkan:
خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik nikah adalah yang paling mudah.”(HR. Abu Daud dan Al-Hakim)
Yang membuat menikah itu mahal dan susah ya karena adat dan budaya setempat. Bahasa orang sininya, “umum batur”—yang maksudnya mengikuti apa yang umumnya orang lakukan. Lamaran, seserahan, resepsi mewah, sudah menjadi budaya yang tiap tahun rutin diadakan oleh orang yang punya hajat pernikahan. Karena adat dan budaya seperti itu, seolah-olah kalau kita tidak melaksanakannya, kita dianggap bersalah atau menyalahi kebiasaan. Padahal konsep menikah dalam Islam itu sangat sederhana dan murah. Justru adat dan budaya yang dinormalisasi oleh masyarakatlah yang membuatnya menjadi rumit dan memberatkan. Bagi golongan menengah ke atas, mungkin tidak menjadi masalah. Tapi bagi masyarakat golongan menengah ke bawah, tentu memberatkan.
Pada prinsipnya, menikah itu sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan. Jangan memaksakan diri. Kalau kemampuan kita menikah dengan anggaran Rp10 juta, ya dikomunikasikan bagaimana agar cukup dengan anggaran itu. Jangan memaksakan menikah dengan anggaran Rp50 juta, sedangkan Rp40 juta-nya belum tahu akan diambil dari mana. Ujung-ujungnya bisa jadi berutang ke bank, ke koperasi, ke pinjaman online. Lalu ada yang bilang, “Yang penting bisa diangsur,” ya monggo-monggo saja kalau punya pandangan seperti itu. Tapi banyak kejadian, setelah menikah justru pasangan dibebani dengan utang yang sangat banyak.
Baca juga, Paripurna! PWM Jateng Tutup Serangkaian Ibadah Ramadan dan Syawal dengan Halalbihalal bersama MLO, PDM-PDA, dan AUM
Orang menikah itu memulai kehidupan barunya setidaknya dari nol. Ada juga yang memulainya dari Rp5 juta, Rp10 juta dan seterusnya karena masih punya tabungan atau investasi. Tapi jangan sampai, orang yang baru mulai kehidupan justru dibebani utang besar. Dia tidak lagi memulai dari nol, tapi dari minus. Kasihan, bukan?
Padahal setelah menikah itu harus mulai mikir biaya makan sehari-hari, biaya program kehamilan kalau ingin cepat punya anak—periksa ke dokter, beli vitamin, dan sebagainya. Lalu biaya persalinan, membeli perlengkapan bayi, dan setelah punya anak harus mikir lagi soal biaya pendidikan. Bayangkan berapa banyak biaya yang harus disiapkan pasca menikah. Kalau sebelum menikah saja masih punya tanggungan utang dari pesta pernikahan, kondisi keuangan jadi tidak sehat. Akhirnya sering bertengkar dan berujung pada perceraian. Kejadian seperti ini sangat banyak.
Jadi, kalau kita memaksakan diri menikah dengan anggaran di luar kemampuan hanya karena ingin “umum batur” atau agar tidak jadi bahan omongan tetangga, justru kita sendiri yang akan menanggung beban. Yakinlah, orang lain hanya bisa komentar saja, tidak akan membantu sepeser pun untuk mencicil utang kita. Daripada menikah dengan anggaran besar, lebih baik uangnya disimpan untuk keperluan pasca nikah yang jauh lebih penting.
Barangkali ingin daftar haji suami-istri, biaya daftar haji sekarang sekitar Rp25 juta per orang. Dua orang berarti Rp50 juta. Masa tunggu sekarang? Bisa 32 tahun untuk wilayah Jawa Tengah.
Permasalahan seputar resepsi pernikahan di masyarakat kita ini cukup pelik dan perlu diurai bersama. Para tokoh agama dan tokoh masyarakat perlu menormalisasi pernikahan dengan konsep yang sederhana—bahkan mencontohkannya langsung. Masyarakat juga perlu dibina dan diberi pemahaman bahwa menikah itu mudah dan murah, tidak perlu biaya besar—cukup disesuaikan dengan kemampuan.
Jangan sampai anak-anak kita takut menikah karena mahalnya biaya menikah. Tapi di sisi lain, mereka malah pacaran terus-menerus tanpa arah dan akhirnya terjebak dalam pergaulan bebas atau zina. Na’udzubillah.
Kedua, ketidaksiapan secara psikologis. Pernikahan sejatinya merupakan upaya dari dua individu untuk membangun kehidupan bersama menuju keluarga yang bahagia dan sejahtera. Namun dalam perjalanannya, banyak kasus yang mewarnai kehidupan rumah tangga. Kasus kekerasan dalam rumah tangga, misalnya, adalah kasus yang kerap ditemui. Korbannya pun bervariasi, namun yang paling sering menjadi korban adalah perempuan dan anak.
Konflik dalam rumah tangga yang berkepanjangan bahkan sering kali berujung pada perceraian. Bahkan jika melihat statistik, angka perceraian di Indonesia cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Perceraian tidak hanya terjadi pada keluarga yang tampak sering konflik, tapi juga pada keluarga yang selama ini terlihat baik-baik saja.
Kondisi seperti ini secara tidak langsung memengaruhi kondisi psikologis orang-orang yang ingin menikah. Pengalaman dan kejadian buruk yang dialami oleh pasangan yang sudah menikah membuat mereka berpikir berkali-kali sebelum melangsungkan pernikahan. Terlebih jika kasus tersebut dialami oleh orang-orang terdekat, seperti orang tua, saudara, atau tetangga. Bahkan kasus yang menimpa figur publik atau idola pun bisa memengaruhi sisi psikologis seseorang.
Hal inilah yang turut menjadi alasan mengapa orang memutuskan untuk menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah sama sekali. Karena mereka takut jika setelah menikah akan mengalami perlakuan kasar dari pasangannya, atau takut mengalami kegagalan dan akhirnya bercerai.
Kebanyakan anak muda Indonesia menikah bermodalkan dua hal: cinta dan pekerjaan. Padahal itu belum cukup. Menjelang pernikahan, orang tua biasanya sibuk menyiapkan gedung, katering, pelaminan, undangan, urusan seragam. Padahal yang lebih dibutuhkan anak-anak menjelang menikah adalah bekal tentang psikologi pernikahan, fikih pernikahan, hukum positif pernikahan, psikologi perempuan, kesehatan reproduksi, keuangan keluarga, parenting, dan masa-masa rawan dalam pernikahan, terutama lima tahun pertama yang sangat menentukan.
Apalagi jika anak laki-laki tidak dibekali dengan pendidikan menjadi seorang suami, sehingga tumbuh seperti rumput ilalang—hidup, tapi tanpa arah, tanpa pembinaan bagaimana menjadi seorang pemimpin dalam rumah.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha