Khazanah Islam

Manhaj Sahabat dalam Menerima dan Menyampaikan Hadis

Manhaj Sahabat dalam Menerima dan Menyampaikan Hadis

Oleh : Muhammad Taufiq Ulinuha*

PWMJATENG.COM – Manhaj, secara bahasa, berarti “thariq” yang artinya jalan atau cara. Dalam konteks kajian ilmu hadis, manhaj merujuk pada cara atau metode yang ditempuh oleh para ahli hadis, khususnya para sahabat Rasulullah Saw. dalam memahami hadis. Cara ini melibatkan pemahaman baik dari sisi sanad (rantai perawi) maupun matan (teks hadis) dan hal-hal yang terkait dengan periwayatannya. Cara para sahabat dalam menerima dan menyampaikan hadis pada masa Rasulullah Saw. berbeda dengan cara yang dilakukan oleh generasi setelah itu.

Pada masa Rasulullah Saw., sahabat yang dekat dengan beliau, seperti Khaulafaur Rasyidin, memiliki minat besar untuk memperoleh hadis langsung dari Nabi Muhammad Saw. Mereka berusaha keras mengikuti beliau agar dapat menerima secara langsung perkataan, perbuatan, atau taqrir (persetujuan) beliau. Para sahabat yang tidak dapat hadir secara langsung mencari sahabat lain yang dapat mendengar dan melihat apa yang disampaikan oleh Nabi. Dalam menyampaikan hukum atau melakukan ibadah, Nabi Muhammad Saw memastikan bahwa setidaknya ada sahabat yang menyaksikan agar informasi tersebut dapat disampaikan secara akurat.

Manhaj Sahabat dalam Menerima Hadis

Dalam hal ini ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad Saw.

  1. Para sahabat selalu aktif menghadiri majelis yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Beliau menyediakan waktu khusus bagi para sahabat untuk mendengarkan dan memahami berbagai ajaran agama Islam. Para sahabat berupaya untuk mengikuti berbagai majelis tersebut, walaupun mereka menghadirinya secara bergiliran. Jika ada sahabat yang tidak dapat hadir, mereka memastikan agar informasi dan pesan-pesan agama yang disampaikan dapat diwariskan dengan baik dengan bantuan sahabat-sahabat yang hadir. Dengan demikian, semangat para sahabat dalam menghadiri pengajian dan berpartisipasi dalam menyebarluaskan ajaran Islam sangat kuat pada masa Rasulullah.
  2. Rasulullah Muhammad Saw sendiri menghadapi berbagai persoalan, dan beliau yang menyampaikan masalah tersebut kepada para sahabat. Jika jumlah sahabat yang hadir saat penyampaian masalah tersebut cukup banyak, Nabi Muhammad Saw memastikan informasi tersebut tersebar luas di kalangan mereka. Namun, jika jumlah sahabat yang hadir terbatas, beliau memerintahkan kepada sahabat yang hadir untuk segera menyampaikan berita tersebut kepada sahabat-sahabat yang tidak hadir.
  3. Ketika para sahabat menghadapi kesulitan, ketidakpastian, ataupun memiliki persoalan,  mereka selalu mencari petunjuk dan penjelasan langsung dari Rasulullah Saw. Sebagai Rasul dan pemimpin umat, beliau memberikan fatwa dan penjelasan hukum Islam untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para sahabat. Jikalau ada sahabat yang malu bertanya, maka dia mengutus sahabat lain yang berani untuk bertanya langsung tentang suatu peristiwa atau masalah hukum yang dialaminya itu dan Rasulullah juga selalu terbuka untuk menjawab pertanyaan dan memberikan bimbingan.
  4. Terkadang para sahabat menyaksikan langsung perbuatan Rasulullah, terutama dalam konteks ibadah, seperti wudu, salat, zakat, dan haji. Dengan sesegera, sahabat yang menyaksikan hal itu pun menyampaikan peristiwa tersebut kepada sahabat yang lain hingga generasi sesudahnya. Proses ini membantu menjaga akurasi dan kesahihan pelaksanaan ibadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.

Manhaj Sahabat dalam Menyampaikan Hadis

Para sahabat sangat berhati-hati dalam menyampaikan kembali hadis yang telah diterimanya. Seperti halnya sikap hati-hati yang diterapkan oleh Abū Bakr, ‘Umar bin Khaṭṭāb, ‘Uṡmān bin ‘Affān, dan ‘Alī bin Abī Ṭālib terhadap periwayatan hadis dalam masa awal-awal Islam. Sikap kehati-hatian dalam meyampaikan hadis mencerminkan ketelitian dan tanggung jawab mereka terhadap warisan Islam. Meskipun ‘Uṡmān dan ‘Alī memiliki sikap hati-hati, seruan mereka tidak begitu berpengaruh terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam menyampaikan hadis. Dalam kasus ‘Uṡmān, kemungkinan pengaruhnya kurang dibandingkan dengan ‘Umar karena ‘Uṡmān tidak sekeras ‘Umar. Sementara itu, ‘Alī menghadapi pertentangan politik dan ekspansi wilayah Islam yang luas, yang membuat kontrol ketat terhadap periwayatan hadis menjadi sulit.

Pentingnya kendali terhadap periwayatan hadis disoroti, di mana luasnya wilayah Islam bisa menjadi faktor pembatas dan mempersulit pengendalian. Namun, di sisi lain, wilayah yang luas juga memungkinkan para sahabat untuk menyebarkan hadis kepada sahabat lain dan tabi’in. Selanjutnya, tabi’in yang menerima hadis menyampaikannya pada tabi’in lain atau pada generasi tabi’ tabi’in, begitu pun seterusnya. Periwayatan hadis terus berlanjut hingga pada akhirnya hadis tersebut sampai kepada Mukharrij. Para penghimpun hadis (al-mukharrij) menjadi kunci dalam mengumpulkan dan menyebarkan hadis, dan karya mereka menjadi sumber pengetahuan hadis pada masa berikutnya. Metode periwayatan hadis kemudian dijelaskan, terbagi menjadi dua:

a. Al-riwayah bi al-lafdzi

Beberapa poin yang terkait dengan periwayatan hadis secara lafdzi yaitu

  1. Periwayatan lafdzi yang tepat. Lafaz hadis harus disampaikan dengan tepat tanpa perubahan, penggantian, penambahan, atau pengurangan kata. Ini menunjukkan komitmen untuk menjaga keselamatan dan integritas lafaz yang berasal dari Nabi Muhammad Saw.
  2. Penegasan dari ulama terkemuka. Beberapa ulama terkemuka seperti Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy, dan Raja ibn Hayuh menegaskan pentingnya periwayatan hadis dengan lafaz. Mereka menolak periwayatan hadis dengan makna atau tafsir, dan mementingkan penyampaian sesuai dengan lafaz yang diterima.
  3. Penjagaan terhadap redaksi. Kesepakatan ulama ahli hadis bahwa menjaga lafaz hadis dengan sepenuh hati lebih utama daripada periwayatan secara makna. Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memastikan keseragaman dan keakuratan redaksi hadis, serta untuk menghindari perbedaan yang mungkin timbul akibat interpretasi makna.
  4. Fashahah dan balaghah. Penjagaan terhadap lafaz hadis dikaitkan dengan nilai-nilai fashahah (kelancaran) dan balaghah (keindahan bahasa) dalam perkataan Nabi. Memahami dan menyampaikan hadis dengan lafaz yang benar membantu mempertahankan keindahan dan kekayaan bahasa dalam ajaran Islam.
b. Al-riwayah bi al-ma’na

Berikut beberapa poin berkaitan dengan pengertian periwayatan bi al-ma’na dan beberapa pendapat ulama yang dapat diambil dari penjelasan tersebut:

  1. Definisi Periwayatan Maknawi: Periwayatan maknawi didefinisikan sebagai penyampaian hadis oleh seorang rawi berdasarkan makna atau arti hadis dengan lafal dari dirinya sendiri tanpa melakukan perubahan, penambahan, atau pengurangan keterangan.
  2. Pendapat Ahmad Umar Hasyim. Menurut Ahmad Umar Hasyim, periwayatan hadis dengan makna adalah penyampaian hadis dan periwayatannya dengan maknanya, baik seluruh lafaznya dari rawi atau sebagian, dengan syarat perawi harus memelihara makna hadis.
  3. Pendapat Muhammad Ajjaj al-Khatib: Muhammad Ajjaj al-Khatib mengungkapkan bahwa perawi yang melakukan periwayatan secara maknawi diwajibkan menjelaskan bentuk tahammul yang digunakannya. Ulama memiliki motivasi untuk menjaga otentisitas hadis tanpa melakukan perubahan atau distorsi.
  4. Perbedaan Pendapat Ulama. Meskipun sebagian besar ulama hadis memperbolehkan periwayatan secara maknawi, praktiknya tetap tidak bersifat “longgar.” Artinya, walaupun diberikan izin untuk melakukan periwayatan maknawi. Terdapat batasan dan syarat yang harus diikuti, sehingga keragaman redaksi hadis tetap tidak dapat dihindari.

Referensi

  1. Al-Muhaddis al-Fasil Bain ar-Rawi wa Al-Wa’i 
  2. Masyariq Al-Anwar
  3. Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis
  4. Al-Ifshah ‘ala Nukat Kitab ibn Salah
  5. Nukhbat al-Fikr
  6. Nuzat an-Nazar
  7. ‘Umul al-Hadis
  8. Mustalah al-Hadis
  9. Metodologi Penelitian Hadis dan Kaedah Kesahihan Sanad Hadis
  10. Ikhtisar Musthalahul Hadis

*Wakil Sekretaris PWPM Jawa Tengah, Ketua Bidang Medkom DPD IMM Jateng, Wakil Ketua Kwarwil HW Jawa Tengah, & Pemred PWMJateng.com. Pernah nyantri di Muallimin, Darul Arqom, & Mas Mansur UMS.

Editor : Ahmad

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE