
PWMJATENG.COM, Bantul – Ketakwaan yang lahir dari ibadah Ramadan bukan sekadar peningkatan spiritual, tetapi juga fondasi bagi kehidupan yang lebih baik dalam berbagai aspek. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan bahwa kehidupan yang dilandasi takwa akan melahirkan pribadi-pribadi teladan yang membawa manfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa.
Dalam Khutbah Idulfitri di Lapangan Trimulyo, Jetis, Bantul, Senin (31/3), Haedar menyampaikan bahwa umat Islam yang benar-benar mengamalkan ketakwaan akan meneladani akhlak Nabi Muhammad ﷺ dan menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Ia menegaskan bahwa ketakwaan bukan hanya konsep spiritual, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam kehidupan sosial dan kebangsaan.
Menurut Haedar, ketakwaan dalam lingkup keluarga akan menghadirkan ketenteraman dan kebahagiaan. Rumah tangga yang dibangun di atas nilai-nilai ketakwaan akan dipenuhi kasih sayang, saling menghormati, dan kepedulian terhadap sesama. Suami dan istri menjalankan perannya dengan penuh tanggung jawab dan kemuliaan, sementara anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang membentuk mereka menjadi pribadi saleh dan berbakti kepada orang tua.
Ia mengutip konsep birrul walidain (berbakti kepada orang tua) dan qurrata a’yunin (generasi permata hati) sebagai indikator keluarga yang harmonis. Haedar menekankan bahwa keluarga yang demikian tidak hanya membawa manfaat bagi anggotanya, tetapi juga bagi lingkungan sekitar dengan mempererat tali silaturahmi dan memperkuat kepedulian sosial.
Pasca-Ramadan, ketakwaan seharusnya tercermin dalam kehidupan sosial yang lebih harmonis. Haedar menekankan pentingnya menjaga hubungan antarwarga dan elite bangsa agar tetap damai, moderat, toleran, dan rukun, meskipun terdapat perbedaan agama, suku, ras, atau pandangan politik.
Ia mengingatkan bahwa di tengah kondisi sosial dan ekonomi yang menantang, semangat kepedulian dan berbagi harus semakin dikuatkan. Menurutnya, ketakwaan sejati akan mendorong seseorang untuk mengulurkan tangan kepada yang membutuhkan serta mengedepankan sikap saling menolong.
Baca juga, Mudik: Perjalanan Fisik dan Spiritual yang Sarat Makna
“Apalagi dalam kondisi kesulitan hidup yang memerlukan sikap saling peduli dan berbagi,” ujarnya.
Dalam era digital saat ini, ketakwaan juga harus tercermin dalam perilaku di media sosial. Haedar menyoroti pentingnya menjaga etika dan keadaban dalam berinteraksi di dunia maya. Ujaran-ujaran yang mencerminkan sikap ihsan—kebaikan, kedamaian, keselamatan, dan keutamaan hidup—harus lebih dikedepankan.
Sebaliknya, ujaran yang mengandung kebohongan, hoaks, ujaran kebencian, serta permusuhan harus dijauhi. Baginya, ketakwaan tidak hanya tampak dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam tutur kata dan sikap seseorang di ruang publik, termasuk media sosial.
Lebih luas, Haedar menegaskan bahwa ketakwaan yang lahir dari Ramadan harus menjadi kekuatan dalam membangun bangsa. Ia mengutip konsep baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik dan mendapat ampunan Tuhan), sebagai visi ideal kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, adil, makmur, dan berkeadaban.
Menurutnya, pemimpin yang bertakwa akan menjalankan amanah dengan kejujuran dan keadilan, serta menjauhkan diri dari korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan gaya hidup berlebihan.
“Kehidupan berbangsa dan bernegara akan terasa damai, adil, makmur, bermartabat, berdaulat, dan berkemajuan secara berkeadaban karena dilandasi ketakwaan,” jelasnya.
Sebaliknya, ia mengingatkan bahwa manusia sering kali tergoda oleh kekuasaan, sehingga melupakan tanggung jawab dan amanahnya. Padahal, sebesar apa pun kekuasaan seseorang di dunia, tetap kecil di hadapan Allah.
Menutup khutbahnya, Haedar mengingatkan bahwa orang bertakwa yang diberi kekuasaan harus mampu menunaikannya dengan sidiq (jujur) dan amanah (bertanggung jawab). Ia mengingatkan bahwa Allah Maha Kuasa atas segalanya, dan manusia harus senantiasa rendah hati dalam menghadapi kehidupan.
Kontributor : Adam
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha