BeritaKolom

Fenomena Dai YouTube Dadakan dan Kaderisasi Ulama Persyarikatan

Fenomena Dai You Tube Dadakan dan Kaderisasi Ulama Persyarikatan

Oleh : Bramantyo Suryo Nugroho, M.H.*

PWMJATENG.COM – Media sosial yang membawa ruh kebebasan berpendapat memang melahirkan dua sisi mata uang yang sulit dihindari. Sisi yang pertama, menjadikan kreatifitas dan inovasi bak jantung yang terus memompa semangat berkarya bagi kehidupan manusia modern. Dan sisi kedua, menghasilkan sebuah “isme” yang mendewakan kebebasan. Bebas berpendapat, bebas berbicara, bebas mengungkapkan ide dan gagasan, itulah keadaan yang sering disebut sebagai liberalisme (Setiawan & Sudrajat, 2018). Liberalisme menimba paham rasionalisme, sekularisme, empirisisme, dualisme dan humanism dari modernisme. Sedangkan dari postmodernisme diambil nilai pengingkaran terhadap kebenaran absolut, penghapusan metafisika, penghapusan nilai atau nihilisme dan persamaan atau equality (Hamid Fahmy Zarkasyi, 2009).

Liberalisme membawa dampak destruktif pada paham agama Islam. Keadaan ini sejatinya telah diramalkan oleh Francis Fukuyama, akan mengancam masyarakat Islam. Fukuyama menegaskan dalam bukunya The End of History and The Last Man:

“…Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional…” (Fukuyama, 1992)

Keterbukaan yang tak terkontrol dan kebebasan ini mengakibatkan problem yang tidak sederhana. Otentisitas dan otoritas kebenaran dari informasi yang diproduksi di platform kekinian macam media sosial pun dipersoalkan. Karena siapa saja bisa berbicara tanpa memandang seberapa layak dia berbicara dalam ranah kapabilitas keilmuan. Keadaan yang disebut Tom Nichols sebagai The Death of Expertise atau matinya kepakaran (Nichols, n.d.).

YouTube sebagai salah situs web berbagi video asal Amerika Serikat yang dibuat oleh tiga mantan karyawan PayPal pada Februari 2005, memungkinkan penggunanya mengunggah, menonton, dan berbagi video. Dengan bermodal kamera, smartphone dan data seluler, setiap orang dapat memproduksi video untuk tujuan hiburan, pendidikan dan lain sebagainya. Di tengah gempuran pemikiran tersebut yang semakin menjadi-jadi, kita disuguhkan fenomena yang cukup unik dan mengajak kita untuk terus berkontemplasi. Fenomena tersebut adalah maraknya dai dadakan di platform media sosial khususnya di media YouTube.

Baca juga, Hadir di Sruweng, Ketua PWM Jateng Jelaskan Perbedaan Mendasar Muhammadiyah dengan Salafi

Kasus yang masih hangat barangkali mengenai Ustadz Adi Hidayat (UAH). Dalam kasus ini, UAH dikritik oleh Ustadz Muflih Safitra dengan konten YouTube-nya karena UAH dianggap oleh Ustadz Muflih Safitra menodai kesucian Alquran dengan menyelewengkan makna dari surat As-Syu’ara sebagai surat pemusik dan sahabat Nabi, Hasan bin Tsabit sebagai pemusik nabi. Umat dibuat bingung, karena perdebatan yang kontraproduktif ini berpangkal pada sosok yang dianggap berilmu dengan kaliber ustadz. Kita pun seolah diajak untuk kembali ke perdebatan ratusan bahkan ribuan tahun lalu mengenai halal-haram musik.

Sejatinya, apabila kita hendak menelaah lebih jauh pada khazanah peradaban Islam masa lampau, sejarah keilmuan Islam mencatatkan bahwa para ulama terdahulu sudah terbiasa dengan perdebatan dan perbedaan pendapat. Imam Ghazali misal, berbeda pendapat dalam beberapa pandangan filsafatnya dengan filsuf-filsuf muslim era sebelumnya seperti Ibnu Sina, Al-Farabi dan Al-Kindi, hingga lahirlah karya besarnya dalam dunia filsafat Islam, Tahafutul Falasifah. Perdebatan berlanjut ketika Ibn Rusyd memberi kritikan terhadap karya Imam Ghazali tersebut dengan kitabnya Tahafutut Tahafut. Imam Syafi’i terkadang berbeda pendapat dengan gurunya, Imam Malik. Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i. Banyak kisah menceritakan bagaimana para Imam besar tersebut berbeda pendapat namun tetap mengedepankan tasamuh dan sikap rahmah demi kemaslahatan umat. Maka sebenarnya perbedaan pandangan dalam internal umat Islam adalah suatu hal yang biasa, bahkan memperkaya khazanah peradaban Islam itu sendiri.

Keadaan yang memanas ini, diperburuk dengan munculnya konten creator yang menjadi komentator-komentator di platform YouTube. Mereka membuat reaction terhadap video-video para ustadz baik yang pro maupun yang kontra. UAH yang dipersepsikan sebagai Ulama Muhammadiyah mendapat banyak reaction dari mereka yang mengklaim dirinya bermanhaj salaf. Sebut saja konten kreator dengan akun “HERRI PRAS”. Pembuat konten YouTube yang kini telah memiliki subscriber berjumlah 1,22 juta ini banyak membuat video reaction terhadap kasus UAH. Belasan video telah dia produksi dengan tendensi yang menyudutkan UAH dan cenderung membela Ustadz Muflih Safitra. Maka muncul pertanyaan yang penting dan mendasar, siapakah sebenarnya “HERRI PRAS” ini?

“HERRI PRAS” ternyata adalah seorang pesilat yang berasal dari Jember. Dia mendirikan Pencak Silat Garuda Indonesia (PSGI) pada tahun 2017. Dalam sebuah video yang dia buat, dia mengaku pernah bekerja di sebuah perusahaan yang bernama PT Hindoli yang berlokasi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dia tidak memiliki background pendidikan keagamaan sama sekali. Celakanya, konten yang terus menerus dia unggah di YouTube adalah reaction pada fenomena-fenomena berbau keagamaan, ranah yang sangat sensitif bagi masyarakat di Indonesia. Telah banyak ulama, ustadz dan kyai yang ia jadikan konten, UAH, Buya Syakur, Habib Luthfi, Gus Iqdam, dan lain-lain. Komentar-komentarnya cukup merisaukan dan cenderung memecah belah umat.

Selain HERRI PRAS, muncul juga konten kreator lain seperti Zulkarnain El-Madury yang cukup vokal memberikan penentangan terhadap orang-orang yang berpandangan tidak sejalan dengannya. Zulkarnain yang mengaku sebagai dai Muhammadiyah tersebut juga banyak mengkritisi internal Muhammadiyah sendiri hingga menyamakan antara Muhammadiyah dan salafi. Dalam salah satu video terbarunya yang diupload pada 21 Mei 2024 yang berjudul “Jawaban Kepada PDM Sidoarjo Manhaj Salafy Dan Manhaj Muhammadyah”, ia mengklaim bahwa problem antara Muhammadiyah dan salafi baru muncul setelah ada kasus UAH dan Ustadz Muflih Safitra.

Baca juga, Tafsir: Pancasila Adalah Pijakan Kita dalam Berbangsa dan Bernegara

Terlepas dari semua fenomena ini, persyarikatan Muhammadiyah perlu bermuhasabah. Upaya kaderisasi yang dilakukan melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah seharusnya menjadi garda terdepan untuk melahirkan kader-kader persyarikatan yang unggul. Krisis kader ulama perlu segera diatasi dengan menghidupkan pusat-pusat kajian, pendidikan ulama, optimalisasi peran AIK mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga tinggi di persyarikatan. Warga persyarikatan juga perlu untuk terus membaca, meningkatkan pemahamannya mengenai persyarikatan dan paham agama Muhammadiyah.

Kesadaran warga persyarikatan terhadap paham agama Islam menurut Muhammadiyah menjadi sangat krusial karena banyak permasalahan umat sebenarnya diawali dari kesalahpahaman dan dangkalnya paham agama warga persyarikatan. Masih banyak kita lihat bagaimana di akar rumput warga persyarikatan masih mengalami kebingungan pada hal-hal terkait dengan paham agama. Bagaimana warga persyarikatan memiliki pemahaman yang komprehensif dan holistik terhadap akidah, fiqh, muamalah dalam perspektif Muhammadiyah, itulah yang harus difokuskan dan mendapat perhatian.

Yang paling utama dan mendesak untuk segera disempurnakan adalah pematangan konsep-konsep Muhammadiyah itu sendiri dalam aspek-aspek paham keagamaan. Kita masih sering melihat bagaimana dai-dai Muhammadiyah yang saling berbeda pendapat dalam memahami tuntunan ibadah, konsep-konsep akidah, atau yang lebih dalam yaitu mengenai manhaj tarjih Muhammadiyah. Ke depan, dai-dai Muhammadiyah seharusnya dihasilkan melalui suatu tahapan pendidikan yang legit dan diakui oleh Muhammadiyah. Sehingga tidak muncul konflik, pertentangan dan problem keumatan disebabkan kerancuan pemahaman terhadap paham keagamaan Muhammadiyah. Wallahu a’lam bisshowab.

*Pengajar di Pondok Pesantren Darul Ihsan Muhammadiyah Sragen, Alumni Pascasarjana Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Sragen.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE