Kolom

Belajar Memasak di Rumah

Oleh : Khafid Sirotudin*

PWMJATENG.COM – Memasak adalah pekerjaan sehari-hari ibu rumah tangga. Selain menyiapkan sarapan buat anak-anak sebelum berangkat sekolah, juga bentuk pengabdian tulus seorang ibu buat suami dan keluarga. Sayangnya tidak setiap ibu memiliki ketrampilan memasak yang higienis, sehat dan enak. Orang Jawa bilang “cemplang” atau “rasane ora ngalor ora ngidul” (rasa masakannya hambar).

Beruntung kami memiliki simbah dan ibu kandung yang pintar memasak. Bu Nana, istri saya pernah ngidam “bothok udang” masakan ibu sewaktu mengandung anak pertama. Terpaksa saya minta bantuan ibu untuk membuatkan dan mengirimkan bothok udang ke Yogyakarta melalui jasa travel dari Weleri. Ajaib, istri bisa makan lahap tanpa mual berkat lauk bothok buatan ibu.

Kami sekeluarga juga bersyukur memiliki istri yang pintar memasak. Beragam “bumbu dasar” untuk aneka masakan di Tritisan Coffee and Tea milik kami made-in istri. Tritisan CT memasuki usia 8 tahun pada 27 Februari 2023 nanti.

Begitu juga Nasi Kuning Mringin, usaha kecil milik istri dari rumah yang menginjak usia 7 tahun. 2 outlet (gerobak) Naskun Mringin beroperasi setiap hari jam 06.00-09.00 WIB. Hari Minggu dan bulan ramadhan libur. Mringin hanya melayani take away dan pesanan untuk berbagai hajatan. Meski belum bisa “nyugihi” (membuat kaya) tapi setidaknya bisa “nguripi” (menghidupi) 4 pekerja dan tambahan uang saku anak kuliah.

Kami juga punya usaha sampingan berupa angkringan, namanya Angkringan 69. Motto-nya “Angkringan Kita Beda”. Telah berjalan 12 tahun, bisa “nguripi” puluhan tetangga, kerabat, teman dan handai taulan. Angkringan 69 murni kami berikan penuh sebagai sedekah jariyah, amal usaha yang berkelanjutan. Awalnya, tahun 2010, kami membuat 1 gerobak beserta peralatan dan perlengkapan jualan. Juga sedikit modal kerja untuk para pemasok “sego kucing” dan aneka kudapan. Sekarang berkembang menjadi berapa, di mana dan seperti apa kami tidak tahu. Sebab semua hasil infaq dan tabungan yang dikumpulkan mereka kelola mandiri. Seingat saya setiap 2-3 tahun mereka sedekahkan ke orang lain sebagai modal usaha angkringan atau kuliner sejenis (revolving sedekah).

Bu Nana lah yang sedari awal mengajari dan memberi contoh cara memasak yang enak, porsi standar nasi bungkus, cara packaging yang baik, memberi label sederhana untuk setiap bungkus. Sedang saya kebagian menyiapkan dan mendidik calon penjaga/penjual, serta mempromosikan Angkringan 69. Mengajari membersihkan alat dan perlengkapan, cara berpakaian rapi, melayani pelanggan yang baik, hingga membuat “pakta integritas/komitmen” menjadi penjual Angkringan 69 yang baik. Beberapa problem dasar yang sering dilupakan para penjual makanan Kaki Lima.

Saya ajarkan nilai-nilai dan amalan yang harus terus dijaga dan dipraktekkan setiap hari. Seperti kejujuran, keadilan, syukur, sabar, sedekah, menabung, semangat, disiplin dan berdoa. Setiap hari wajib sedekah dan menyisihkan sebagian penghasilan buat tabungan. Saya melarang keras penjual Angkringan 69 melakukan ghasab, yakni menguasai atau mengambil hak orang lain (tempat, lokasi, barang) secara dzalim (tidak adil). Angkringan 69 tidak boleh berjualan diatas trotoar yang menjadi hak milik publik bagi para pejalan kaki. Kami selalu “nembungke” (meminta ijin/meminjam) ke pemilik. Kami tempatkan Angkringan 69 di halaman kantor BMT BINAMA Weleri, depan Gudang KOPTI Sukorejo dan halaman rumah milik pribadi di Kendal.

Semua usaha kuliner kami berawal dari hobby jajan dan kebiasaan istri memasak. Selama istri kuliah di FE Undip Semarang tinggal bersama budhe yang punya usaha catering. Salah satu pelanggan masakan budhe adalah suwargi Gubernur Ismail.

Cooking Class

Di berbagai sekolah memasak (cooking class) membutuhkan biaya mahal. Apalagi jika pengajarnya Chef Terkenal. Tahun 2015, saya ikut belajar manajemen masak-memasak sehari (8 jam, 4 materi) di Semarang dengan membayar 4 juta rupiah.

Meutia Hafidz, putri kami kebetulan sedang magang sebulan di Pemkab Kendal sambil mengambil data penelitian untuk Tugas Akhir menyelesaikan studi di IPDN. Berbeda dengan kebiasaan adiknya Salma Hafidz yang baru selesai lulus Sarjana Kedokteran Gigi. Sejak kecil masing-masing sudah punya ketertarikan kegiatan, hobby dan kebiasaan berbeda. Jika Tia senang belajar dalam kesunyian, Salma lebih enjoy belajar sambil menonton TV dan mendengarkan musik. Yang satu suka “macak” (berdandan), yang satunya suka “masak”.

Sebelum masuk IPDN, Meutia sempat kuliah sebentar di Islamic Fashion Institute Bandung dan pernah sekali memamerkan karyanya pada fashion show di Plaza Indonesia Jakarta. Kami tidak pernah mengharuskan anak untuk sekolah di jurusan apa atau kuliah mengambil program studi tertentu. Bagi kami semua jurusan/prodi baik, semua ilmu perlu dan bermanfaat. Asal “ditemeni” (serius, fokus, konsisten, berkelanjutan) pasti menghasilkan karya luar biasa.

Sebagai orang tua, kami terharu setelah “nyolong pethek” (salah terka) terhadap Salma yang telah banyak membuat karya ekonomi kreatif sebagai “content creator” aneka masakan/kuliner dari berbagai hotel, resto dan cafe di Yogya. Dikerjakan disaat sela waktu kuliah FKG di UMY, khususnya saat liburan akhir pekan. Ada 2 keponakan laki-laki yang kuliah di Yogya seringkali menemani dan mengawal proses pengambilan gambar dan video malam hari. Keahlian memasak yang sudah terasah di rumah sangat membantu pekerjaan membuat konten yang musti mencicipi beragam makanan minuman (mamin) yang akan dipromosikan. “Ngirit uang jajan dan perbaikan gizi anak kos pakdhe” ujar salah satu keponakan kami saat ketemu di Yogya.

Pemilik resto/cafe/manager hotel biasanya menghubungi agar dibuatkan beberapa konten sebelum melaunching produk mamin baru. Awalnya kami “ora nggalbo” (tidak mengira) ketika terlambat mengirim uang saku terlihat santai. Ternyata mendapat “cuan” (keuntungan) dari pembuatan aneka konten makanan. Selaras dengan hobby dan kebiasaan sejak kecil yang suka masak di rumah sekaligus suka jajan di sekolah.

Alah Bisa Karena Biasa

Setiap profesi, pekerjaan dan ketrampilan membutuhkan waktu, proses, latihan dan pembiasaan. Kebiasaan melakukan pekerjaan secara baik, akan menghasilkan sikap dan sifat bekerja secara baik. Dengan sikap dan sifat yang bagus akan membuahkan karakter sebagai profesional dan pekerja yang bagus pula.

Seorang pilot handal butuh jam terbang yang tinggi dan teruji melewati cuaca buruk. Seorang nahkoda kapal yang hebat pernah melewati gelombang air laut yang dahsyat. Begitu pula chef dan barista profesional pasti teruji melakoni pekerjaan memasak dan membuat minuman yang enak selama puluhan tahun. Begitulah Sunatullah menjalankan sifatnya secara absolut, pasti, obyektif dan evolutif (berproses, bertahap).

Seorang kawan Tionghoa pernah bercerita mengapa bangsa mereka bisa berhijrah dan mampu bertahan hidup di setiap wilayah yang ditempati. Setiap anak muda China oleh orang tuanya diharuskan menguasai salah satu dari 4 jenis pisau sebelum pergi merantau (hijrah makaniyah). Keempat jenis pisau tersebut, yaitu :

Pertama, Pisau Dapur.

Maknanya harus pandai memasak. Setiap orang hidup butuh pangan (makanan dan minuman). Maka tak heran jika Chinese Food menjadi salah satu makanan yang mendunia. Saya suka mampir makan di kedai Muslim Chinese Food jika berkunjung di Kudus. Juga senang makan Hainan Chicken Rice, nasi hangat yang dikukus dengan campuran parutan jahe yang disajikan bersama kaldu dan daging ayam yang lezat.

Kecap Manis, Taoto, Terasi, Bakpia, Bakpao, Bakmi, Bakwan, Cap Cay adalah sebagian kecil jejak pangan yang telah dibuat imigran China di masa lalu. Sebagian budaya pangan di Indonesia disumbang oleh WNI keturunan China yang turun temurun tinggal di sini.

Kedua, Pisau Cukur.

Setiap orang membutuhkan jasa tukang cukur, capster salon maupun barber shop yang marak hadir sampai ibukota kecamatan dan kelurahan. Beragam jasa memotong dan merapikan rambut, menyemir atau mewarnai (colouring), creambath, smoothing dan berbagai perawatan rambut dibutuhkan banyak orang. Terutama kaum hawa yang suka ribet dengan penampilan rambutnya.

Seorang perantau yang memiliki ketrampilan menggunakan pisau cukur dapat dipastikan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Sekalipun menjadi tukang cukur keliling antar kampung yang menggelar jasanya dibawah pohon mangga halaman rumah pelanggan.

Ketiga, Pisau Kayu.

Bisa berupa kampak ataupun alat pasah kayu. Dahulu orang membangun rumah dengan mengandalkan bahan baku dari kayu dan bambu. Maka orang Jawa sering menyebut rumah dengan istilah “papan” (lembaran kayu). Seorang pekerja migran yang menguasai ketrampilan sebagai tukang kayu dibutuhkan banyak orang. Jasanya diperlukan untuk membuat kusen-kusen, pintu, jendela, almari dan berbagai perabot rumah tangga.

Keempat, Pisau Kain.

Yaitu berupa gunting, alat untuk memotong kain. Setiap insan membutuhkan pakaian untuk melindungi badan dan mempercantik penampilan. Seganteng apapun pria dan secantik apapun wanita, jika telanjang badan tanpa pakaian berjalan di pinggir jalan, pasti dianggap sebagai orang gila, edan, tidak waras.

Berpakaian yang pantas menjadi salah satu penanda peradaban dan budaya bangsa. Model, bentuk, motif dan jenis pakaian menjadi salah satu ciri budaya suatu daerah, suku bangsa dan orang beragama. Seorang penjahit (tailor) yang terampil menggunakan “pisau kain” dibutuhkan semua orang untuk menghadirkan pakaian yang baik dan pantas sesuai norma agama, etika sosial dan budaya.

Eit, kembali ke judul tulisan ini. Selama 3 hari kami disuguhi Meutia aneka masakan hasil cooking class di rumah. Ada Bakwan Jagung, Sego Gurih, Nasi Liwet Sunda yang ditaburi Teri Nasi, Cap Cay, Udang Goreng Tepung, Udang Bakso Saos Tiram, Ayam Penyet, Ca Baby Kailan, Cumi Lombok Ijo, Kering Tempe Teri, Roti dan Ice Cream.

Sebagai seorang bapak saya hanya bisa melafadzkan doa kepada-Nya. Semoga kelak Meutia bisa membangun keluarga sakinah mawadah warahmah, mampu berprestasi sebagai ASN abdi negara, bangsa dan masyarakat. Terwujud mimpinya memiliki butik dan rumah makan besar yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat, serta menjadi wanita shalihah ahli sedekah. Terimakasih bu Sekda Meutia atas hasil pelatihan memasak selama 3 hari di rumah.

Rabbi habli minash-shalihin. Ya Tuhanku anugerahkanlah kepadaku keturunan-generasi yang shalih. Amin.

*Pemerhati Pangan, Social-Entrepreneur, Ketua LHKP PWM Jateng

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE