Khazanah Islam

Zakat Profesi Jangan Diingkari

Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag.*

PWMJATENG.COM – Zakat profesi termasuk salah satu tema fikih kontemporer yang belum sepenuhnya diterima di kalangan ulama Islam. Beberapa kalangan masih meragukan bahkan menolak keabsahan penarikan zakat profesi yang dikenakan kepada berbagai profesi ‘basah’ yang hasilnya jauh di atas penghasilan petani. Namun kalangan pendukung zakat profesi tampaknya lebih kuat pengaruh dan ajarannya terbukti dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat pada pasal 4 poin h pada  pendapatan dan jasa; telah dinyatakan oleh UU tersebut sebagi salah satu obyek zakat mal di Indonesia (Ahmad Hadi yasin : 1432 : Bab IV).

Memang di masa   Rasulullah   Saw,   sahabat   dan   para   ulama   klasik, jenis-jenis   profesi masyarakat   masih  terbatas  dan   tentunya   peraturan zakat   dalam   konteks   harta yang  wajib  dizakati    sesuai    pula   dengan perkembangan  ekonomi  yang ada   saat   itu.  Berdasarkan   itu   pula   para   ulama   menetapkan   bahwa   harta   yang   wajib   dizakati hanya      lima  macam,      yaitu   binatang     ternak,    emas,    dan    perak,    perdagangan, pertanian, barang tambang dan rikaz (harta temuan) (al-Jazairi : 1360 : I :541).  Dalam kerangka ini pula Abd Rahman al-Jaziri dalam kitabnya  al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah mengatakan  “Tidak ada zakat diluar yang lima macam tersebut” (al-Jazairi : 1360 : I :541).

Pengertian Zakat Profesi

Zakat secara bahasa sebagaimana dijelaskan oleh Abu Muhammad Ibnu Qutaibah berasal dari kata az-zaka` wa an-nama` wa az-ziyadah. Dinamakan demikian karena zakat menumbuhkembangkan harta (Ibnu Qudamah : 1968 : II : 427). Literatur Arab memperkenalkan zakat profesi dengan sebutan zakatu kasb al-amal wa al-mihan al- hurrah (زكاةُ كَسْبِ العَمَلِ والمـهَنِ الحُرَّةِ) yang secara terjemahan bebas  berarti zakat atas penghasilan kerja dan profesi bebas (Yusuf al-Qardhawi : 1973 : 487).

Apa yang dimaksud zakat profesi?

Syaikh Yusuf al-Qardhawi sebagai salah seorang ulama  yang mempopulerkan zakat profesi, mendefinisikan zakat profesi sebagi zakat yang dikeluarkan dari penghasilan yang didapat dari pekerjaan yang dikerjakan sendiri dikarenakan kecerdasannya atau keterampilannya sendiri seperti dokter, penjahit, tukang kayudan lainya atau dari pekerjaan yang tunduk pada perseroan ataupun perseorangan dengan mendapat upah, gaji, honorarium seperti pegawai negeri sipil (Yusuf al-Qardhawi : 1973 : 487).

Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 3 Tahun 2003, “penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya (Noor Aflah : 2009 : 128-130).

Pendukung Zakat Profesi

Kalangan pendukung zakat profesi tampaknya semakin banyak ( Fahrur Muiz : 2011 : 11). Di Indonesia, MUI, Pemerintah dan ormas besar Islam bersepakat perlunya memungut zakat profesi dari para profesional. Dukungan politis dan yuridis dari pemerintah juga jelas dengan disahkannya UU Pengelolaan Zakat terbaru tahun 2014. Sementara beberapa tokoh ulama dan cendekiawan muslim baik secara eksplisit maupun implisit menyatakan persetujuan dan dukungan kewajiban zakat profesi.

Di level internasional ada beberapa ulama yang dikenal luas gencar menyuarakan zakat profesi sebut saja sebagian di antaranya Syaikh Yusuf al-Qardhawi, Abdurrahman Hasan, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Muhammad al-Ghazali (Muhammad al-Ghazali : 2005),   Abdullah Nashih Ulwan (Abdullah Nashih Ulwan : t.t : 13) dan juga ulama besar lainnya seperti Abdul Wahhab Khalaf. Namun dari sekian tokoh yang disebut nama Yusuf al-Qardhawi yang paling jelas konsep dan ajarannya tentang zakat profesi lewat kitab Fiqhuz-Zakah. ( Yusuf al-Qardhawi : 1973) 

Di tanah air sendiri banyak cendekiawan muslim yang mendukung zakat profesi walau masih ada sedikit perbedaan di kalangan mereka (Noor Aflah : 2009 : 123-125). Dari kalangan tanah air sejumlah cendekiawan yang mendukung atau menyetujui pemberlakuan zakat profesi di antaranya KH Syechul Hadi Purnomo, ( Moh Hadi : 2010 : ix) M. Amien Rais, (Jalaludin Rahmat : 1998 : 146) Rifyal Ka’bah, Didin Hafidhudin, (didin Hafidhudin : 2002)  Abdul Ghofur Anshori, Quraish Shihab, ( Quraish Shihab : 2002 : 700) Ahmad Rofiq, (Ahmad Rofiq : 2012 : 270) dan lain-lain.

Penolak Zakat Profesi

Beberapa ulama kontemporer menunjukkan kekurangsetujuannya terhadap keberadaan zakat profesi juga dari beberapa lembaga. Pihak yang menolak, umumnya para ulama Arab Saudi dan yang sependapat dengan mereka. Sebab Al Quran dan As-Sunnah secara tekstual tidak menyebutkannya (https://muslim.or.id/364-fatwa-seputar-zakat-profesi.html, diakses 1 Oktober 2022).

Sementara Syaikh Ibnu al-‘Utsaimin, Syaikh Shalih Al-Munajjid  dan lainnya mengatakan bahwa zakat penghasilan itu ada, tetapi seperti zakat lainnya, mesti mencapai nishab, dan menunggu selama satu haul. Dengan kata lain, tidak diwajibkan zakat penghasilan pada gaji bulanan. Hanya saja nishabnya itu adalah setara 85 gram emas dan dikeluarkan 2,5% setelah satu haul (Http://Www.Al-Intima.Com/Syariah/Menyoal-Zakat-Profesi, 25 September 2022).

Argumen Pendukung Zakat Profesi

Kelompok pendukung zakat profesi membangun argumen berdasarkan teks keagamaan dan atsar-atsar. Dari ayat Alquran, kelompok pengusung zakat profesi mengajukan ayat sebagai berikut :

Keumuman kandungan Surat Al-Baqarah ayat 267:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنْ الأَرْضِ… البقرة: 267.

“Wahai orang-orang yang beriman, nafakahkanlah sebagian dari usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…”

Bagi pendukung zakat profesi, ayat tersebut berlaku umum meliputi hasil usaha manusia yang diperoleh secara halal yang dikenal pada setiap kurun waktu.

Dalam mengomentari ayat ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa:

“Ayat ini menguraikan  nafkah yang diberikan serta sifat nafkah tersebut. Yang pertama digarisbawahinya adalah bahwa yang dinafkahkan hendaknya yang baik-baik. Tetapi, tidak harus semua dinafkahkan, cukup sebagian saja.  Ada yang berbentuk wajib dan ada juga yang berbentuk anjuran.  Selanjutnya  dijelaskan bahwa yang dinafkahkan itu adalah dari usaha kamu dan dari apa yang Kami keluarkan dari perut bumi. Tentu saja  hasil usaha manusia  bermacam-macam, bahkan dari hari ke hari dapat muncul  usah-usaha baru yang belum dikenal sebelumnya seperti usaha jasa dan keanekaragamannya. Semua dicakup oleh ayat ini dan semuanya perlu  dinafkahkan sebagian darinya. Demikian juga yang Kami keluarkan dari perut bumi untuk kamu, yakni hasi pertanian. Kalau memaham,I ayat ini dalam arti perintah wajib, semua hasil usaha,  apapun bentuknya, wajib dizakati, termasuk gaji yang diperoleh seorang pegawai jika gajinya telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam konteks zakat. Demikian juga hasil pertanian, baik yang telah dikenal pada masa Nabi maupun yang belum dikenal, atau tidak dikenal di tempat turunnya ayat ini. Hasil pertanian seperti cengkeh, lada, buah-buahan, dan lain-lain semua dicakup oleh makna kalimat yang Kami keluarkan dari perut bumi.” (Quraish Shihab : 2002 : 699 – 700)

Kelompok ini juga mengajukan Surat At-Taubah ayat : 103 walau ayat ini masih mujmal.

{خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (103)} [التوبة: 103]

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Baca juga, Kajian Majelis Tabligh Seri 2: Menerabas Keleletan Zakat

Sedang hadis-hadis yang dijadikan argumen untuk mendukung zakat profesi di  antaranya :

a. Dari Abu Musa al-Asy’ari, dari Nabi saw., beliau bersabda:

 1353 – حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ فَقَالُوا يَا نَبِيَّ اللَّهِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ وَلْيُمْسِكْ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ) صحيح البخاري (5/ 275)

“Bercerita kepada kami Muslim bin Ibrahim, bercerita kepada kami Syu’bah, bercerita kepada kami Sa’id bin Abi Burdah, dari ayahnya dari kakeknya, dari Nabi SAW beliau bersabda, “ Setiap muslim wajib mengeluarkan zakat (shadaqah). Mereka bertanya, ‘Hai Nabi Allah, bagaimana jika ia tidak punya?’ Nabi menjawab, ‘Hendaklah ia bekerja dengan tenaganya. Maka akan memberi manfaat untuk dirinya dan dapat mengeluarkan zakat.” Mereka bertanya lagi, ‘Bagaimana jika ia tidak bisa?’ Nabi menjawab, ‘Menolong orang yang membutuhkan lagi menderita’ Mereka bertanya lagi, ‘Bagaimana jika ia tidak bisa?’ Nabi menjawab, ‘berbuat baiklah dan menahan diri dari kejahatan, karena hal itu menjadi shadaqah baginya” (HR Bukhari).

b. Hadis Ibnu Umar

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ عِنْدَ رَبِّهِ سنن الترمذي (3/ 27)

Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah  s.a.w.  bersabda,  “Siapa  yang memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai lewat setahun di sisi Tuhannya.”

Kelompok ini juga mengajukan atsar  dan  fatwa dari sejumlah sahabat dan tabi’in di antaranya :

1. Ibnu Abbas

Abu Ubaid  meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  tentang  seorang laki-laki   yang  memperoleh  penghasilan. Kata Ibnu Abas, يُزُكِّيْهِ يَوْمَ يَسْتَفِيْدُهُ
“Ia  mengeluarkan zakatnya pada hari  memperolehnya.”

2. Ibnu Mas’ud

Abu  Ubaid  meriwayatkan  pula  dari  Hubairah  bin  Yaryam, كَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ يُعْطِيْنَا الْعُطَاءَ فِي زُبُلٍ صِغَارٍ ثُمَّ  يَأْخُذُ مِنْهُ  الزَّكَاةَ Abdullah  bin  Mas’ud  memberikan kepada kami  keranjang-keranjang kecil kemudian menarik zakatnya ( Yusuf al-Qardhawi : 1973 : 500-501).

3. Mu’awiyah

Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa  orang  yang pertama   kali   mengenakan   zakat  dari  pemberian  adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan ( Yusuf al-Qardhawi : 1973 : 502).

Syekh Yusuf al-Qardhawi berkata, “Barangkali  yang  ia  maksudkan adalah  orang  yang  pertama mengenakan zakat atas pemberian dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada  yang  mengenakan zakat  atas  pemberian  yaitu  Ibnu Mas’ud sebagaimana sudah kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan Ibnu  Mas’ud,  karena Ibnu Mas’ud berada di Kufah, sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah. Yang jelas adalah  bahwa  Mu’awiyah  mengenakan  zakat  atas pemberian  menurut  ukuran  yang berlaku dalam negara Islam, karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan  yang jelas  adalah  bahwa  zaman  Mu’awiyah penuh dengan kumpulan para  sahabat  yang  terhormat,   yang   apabila   Mu’awiyah melanggar    hadis    Nabi    atau    ijmak    yang    dapat dipertanggungjawabkan para sahabat tidak  begitu  saja  akan mau  diam.

4. Umar bin Abdul Aziz (Tabi’in)

Abu  Ubaid  menyebutkan أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَعْطَى الرَّجُلَ عُمَالَتَهُ أَخَذَ مِنْهَا الزَّكَاةَ، وَإِذَا رَدَّ الْمَظَالِمَ  أَخَذَ مِنْهَا الزَّكَاةَ، وَكَانَ يَأْخُذُ الزَّكَاةَ مِنَ الأُعْطِيَّةَ إِذَا خُرِجَتْ لأَصْحَابِهَا bahwa  bila  Umar bin Abdul Aziz memberikan  gaji seseorang  ia  memungut  zakatnya.  Begitu  pula   bila   ia mengembalikan   barang   sitaan,  ia  memungut  zakat darinya. Begitu pula ia memungut zakat dari pemberian bila telah berada di tangan penerima (Yusuf al-Qardhawi : 1973 : 502) 

Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan, أَنَّ عُمُرُ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيْزِ كَانَ يُزَكِّى الْعُطَاءَ وَالْجَائِزَةَ bahwa  Umar  bin  Abdul  Aziz memungut zakat  pemberian  dan  hadiah.

Syekh Yusuf al-Qardhawi berkata, “Itu adalah pendapat Umar.  Bahkan  hadiah-hadiah  atau  bea-bea  yang  diberikan kepada  para  duta  baik  sebagai pemberian, tip, atau kado, ditarik zakatnya. Hal itu mirip atau sama  dengan  apa  yang  dilakukan oleh  banyak  negara  sekarang  dalam  pengenaan  pajak atas hadiah-hadiah tersebut”. (https://www.rumahzakat.org/dalil-zakat-profesi/, diakses 3 September 2022)

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas kelompok pertama berpendapat bahwa zakat profesi itu disyariatkan, bahkan mereka menetapkan kewajiban zakat itu tidak terbatas hanya atas gaji, tetapi mencakup hadiah, dan harta yang pernah dirampas.

Selain argumen naqli, kelompok pendukung zakat profesi juga mengajukan beberapa alasan logika yang dapat disarikan sebagai berikut :

  1. Harta yang diperoleh melalui bekerja atau Profesi yang dengannya menghasilkan uang atau kekayaan, termasuk kategori harta dan kekayaan yang pantas dikenakan zakat. ( Hasby ash-Shiddieqy : 1999 : 233) lazimnya, kekayaan dari penghasilan bersifat berkembang dan bertambah, hal ini sama halnya dengan barang yang dimanfaatkan untuk disewakan.
  2. Logika Keadilan. Berbicara keadilan dalam Islam, maka mewajibkan zakat profesi adalah keniscayaan. Bagaimana tidak, Islam mewajibkan zakat kepada petani yang pendapatannya tidak seberapa, namun ‘meloloskan’orang kaya baru dari beragam profesi seperti pengacara, dokter, artis, atlet, dan profesi  prestise lainnya. ( Ahmad Rofiq : 2012 : 270) Sementara mereka hanya dihimbau bersedekah atau berinfak yang cuma dipahami sebagai tambahan yang sering diabaikan, karena mind set masyarakat sudah terlanjur memahami sunah itu kalau ditinggalkan ya tidak apa-apa. ( Didin Hafidhudin : 2002 : 95-96)
  3. Perspektif maqashid asy-syari’ah. Berbicara maqashid syari’ah (tujuan dan maksud syariat), mewajibkan  zakat profesi adalah sah dan tepat. Karena lebih sesuai dengan tujuan pensyariatan zakat yang intinya diambil dari orang kaya dan diberikan fakir miskin. ( Ahmad Rofiq : 2012 : 296-297)

Selain itu, profesi di zaman Nabi yang utama semua dikenakan zakat jika telah nishab seperti petani, pedagang, peternak, penambang. Bahkan mengapa petani malah kena zakat besar, bahkan lebih besar dari pedagang dan peternak. Rupa-rupanya petani yang dalam bahasa arabnya fallahun  ( فلاح) dengan wazan mubalaghah berarti sangat beruntung. Jadi petani itu orang Arab menyebut sangat beruntung, mengingat siapa yang punya tanah pertanian dan subur dengan sumber airnya, maka ia termasuk orang yang sangat beruntung. Jadi petani itu sebenarnya sangat elit untuk orang Arab khususnya di masa Nabi SAW. Maka tidak heran kalau ia terkena zakat setiap panen dengan persentase yang cukup besar 5 atau 10 %, berbeda dengan pedagang yang cuma terkena zakat 2,5 % itupun hanya satu tahun sekali.

Namun profesi sekarang yang disebut fallahun bukan lagi di tangan petani, tetapi di tangan dokter, akuntan, pejabat, artis, atlit olah raga dan lain-lain yang orang sekang menyebut sebgai profesi ‘basah’.

Penutup

Sungguhpun masih menyisakan keberatan di sebagian ulama, namun zakat profesi semakin berkembang dan diakui di berbagai kalangan. Posisinya di Indonesia juga semakin kuat dengan dimasukkannya zakat profesi dalam UU Pengelolaan Zakat. Sebelumnya MUI juga telah mengeluarkan fatwa wajibnya zakat profesi yang didukung oleh ormas besar di Indonesia Muhammadiyah dan NU.

Perbedaan pendukung dan penentang zakat profesi menurut hemat penulis hanyalah tipis dan tidak substansial. Hanya seputar masalah nishab, haul, dan sebutan zakat. Kalau disebut infak atau sedekah profesi tentu kelompok penentang tidak keberatan. Dengan bahasa lain, kedua kelompok sepakat perlu dan pentingnya orang kaya menyisihkan sebagian kekayaannya untuk golongan lain yang kurang mampu walau dengan sebutan yang tidak sama.

Sungguhpun demikian, kiranya perlu disadari mengingat pemahaman dan sekaligus kesadaran umat Islam terhadap zakat umumnya masih rendah, maka jika hanya disebut infak atau sedekah yang sifatnya ‘hanya’ sunnah akan terasa lemah daya dorong dan ikatnya. Mengingat sunnah dalam benak sebagian besar masyarakat sudah terlanjur dipahami ditinggalkan tidak apa-apa. Jangankan dihukumi sunnah, dihukumi wajib saja belum tentu mereka lekas-lekas membayarnya, apalagi hanya sunnah.

Zakat profesi memiliki landasan normatif yang kuat dan memenuhi maqashid syariah dalam mewujudkan keadilan dan pemerataan agar jurang tidak semakin menganga antara si miskin dan si kaya. Jadi tetaplah rajin dan istiqamah membayar zakat profesi. Bayarlah dengan penuh keimanan dan keikhlasan, insya Allah berkah bagi kita semua. Bagi warga Muhammadiyah tentunya membayar zakatnya ke Lazismu di lingkungan masing-masing.

*Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE