Ukhwah dan Perbaikan Moral Bangsa
Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara (QS. Ali Imran ayat 103).
Satu pesan yang dapat di tarik dari ayat diatas adalah pentingnya persatuan. Allah mengecam sikap permusuhan satu dengan lainnya. Ukwah adalah media untuk mencegah potensi cerai-berai. Pertanyaannya, apa makna ukhwah dalam hubungannya dengan kepekaan sosial-masyarakat?
Satu ikatan
Kata “ukhuwah” berasal dari kata dasar “akhu” yang berarti “saudara”, “teman”, “sahabat”. Kata “ukhuwah” sebagai kata jadian dan mempunyai pengertian atau menjadi kata benda abstrak persaudaraan, persahabatan, dan dapat pula berarti pergaulan. Sedangkan “islamiyah” berasal dari kata “Islam” yang dalam hal ini memberi menjadi sifat dari “ukhuwah”. Jika dipadukan antara kata “ukhuwah” dan “islamiyah” berarti persaudaraan Islam atau pergaulan menurut Islam.
Ukhuwah islamiyah adalah gambaran tentang hubungan antara orang-orang Islam sebagai satu ikatan persaudaran, dimana antara yang satu dengan yang lainnya seakan-akan berada dalam satu ikatan. Ukhuwah Islamiyah menjadi aktual bila dihubungkan dengan masalah solidaritas sosial. Bagi umat Islam, ukhuwah islamiyah adalah sesuatu yang masyru’, yakni diperintahkan oleh agama. Kata persatuan, kesatuan, kerukunan, dan solidaritas akan terasa lebih tinggi bobotnya bila disebut dengan ”ukhuwah”. Apalagi bila kata ukhuwah dirangkaikan dengan kata islamiyah. Ada hubungan konseptual yang erat antara ukhwah islamiyah dengan zakat dan sedekah. Sebenarnya, ukhuwah Islamiyah bukanlah tujuan, tapi realisasi dari iman.
Ukhuwah islamiyah menuntut setiap anggota masyarakat untuk melihat kepentingan bersama. Kepentingan bersama itu terbentuk karena menjunjung perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah sebuah prinsip yang sama. Maka ukhuwah seperti inilah yang memperkuat persatuan dan kesatuan yang menjelma menjadi kerukunan hidup umat dan bangsa, juga untuk kemajuan agama, negara, dan kemanusiaan.
Kepekaan moral-sosial
Alquran dengan gamblang telah mengajarkan ukhwah islamiyah. Hidup berukhwah adalah tuntutan akhlak Islam yang dengan akhlak ini melahirkan manusia sosial dalam arti seluas-luasnya. Dan dalam arti sosial ini pula manusia menemukan pergaulan hidup dan dapat menjadi bagian dari masyarakat untuk hidup bersama dan untuk kepentingan bersama pula.
Oleh karenanya, tertanamnya kesadaran ukwah dapat mengantarkan setiap orang untuk saling menghargai dan dapat pula menimbang-nimbang antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Dengan demikian, egoisme dan sifat-sifat negatif lainnya tidak akan tumbuh dalam kehidupan sosial-masyarakat.
Realisasi makna dan hikmah ukhuwah islamiyah perlu terus menerus ditanamkan ke dalam setiap jiwa. Dari sinilah akan muncul persatuan, kesatuan dan kerukunan dengan dibarengi ketulus-ikhlasan. Dari sini pula potensi-potensi dasar manusia seperti kepekaan moral sosial, misalnya, akan mewarnai kehidupan sosial-masyarakat. Lebih-lebih sosial-masyarakat di internal umat Islam. Sebab, cita-cita ukhwah islamiyah menitikberatkan pada terbangunnya secara kokoh kerukunan internal umat Islam.
Penopang bangunan bangsa
Berkaca pada realiatas bangsa yang mayoritas beragama Islam, kokohnya bangunan ukhwah islamiyah dalam tubuh umat Islam tentu menentukan jatuh-bangunnya Indonesia. Sebaliknya, bila ukhwah umat Islam rapuh bukan tidak mungkin bangsa ini juga akan roboh. Lagi-lagi, pada titik ini Islam dihadapkan pada tantangan untuk sudi bersanding dengan keberagaman agama yang dimiliki bangsa ini.
Tak hanya itu, kemajemukan masyarakat Indonesia yang memuat pluralitas suku bangsa, sosial-budaya, dan bahasa adalah kenyataan yang tak bisa dielakkan. Ini harus kita lihat sebagai sumber kekayaan nasional, yang tentunya juga bisa menyimpan potensi konflik.
Bagi penulis, agama merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian yang serius. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa agama seringkali dinyatakan sebagai kekuatan pengikat yang mempertautkan masyarakat, sekaligus juga dipandang sebagai sumber pertentangan dan konflik dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang berbeda agama, nampak adanya kecenderungan kuat untuk memegang identitas agamanya. Apabila landasan identitas golongan sosial adalah agama, maka batas-batas dan perbedaan sosial atau bahkan pertentangan dapat terjadi sebagai akibat dari doktrin agama yang dianutnya.
Masing-masing golongan agama meyakini kebenaran mutlak atas agamanya dan merasa bertanggung jawab menyebarkan ajaran yang diyakini sebagai kebenaran tersebut. Apabila keyakinan individu dihadapkan pada keyakinan individu dalam kelompok lain, maka akan lahir potensi-potensi konflik. Hal ini terjadi karena setiap sosialisasi ajaran agama selalu membutuhkan sumber daya yang dalam kenyataannya sangat terbatas sehingga menimbulkan persaingan.
Akhirnya, kita pun patut menaruh optimisme tinggi akan peran ukhwah islamiyah dalam menjawab tantangan keberagaman bansga. Kepekaan sosial dan solidaritas antar-sesama umat Islam harus mampu mengantarkan pemahaman kepada umatnya untuk juga bersikap toleran dan terbuka kepada penganut-penganut agama lainnya dibawah payung bangsa. Semoga!
*Prof. Dr. Suparman Syukur, MA, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah.