Tafsir : Teladan Politik Muhammad
Teladan Politik Muhammad
Tafsir
Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Tengah,
Dosen IAIN Walisongo Semarang
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS al-Ahzab: 40).
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS al-Ahzab:
21).
Siapa yang tidak kenal Muhammad SAW, selain beliau sebagai
nabi, ia juga kerap disandarkan julukan pemimpin politik (kepala
negara). Berbeda dalam posisi beliau sebagai rasul Allah yang terbebas
dari kesalahan (ma’shum), sebagai kepala negara beliau bukanlah suprahuman (manusia super) yang tidak memerlukan orang lain. Sahabat menjadi forum
musyawarah untuk menentukan keputusan-keputusan politik penting dan
strategis negara ketika itu, mulai dari persoalan pajak sampai dengan
hubungan antar-Muslim dan non-Muslaim.
Negara adalah bagian
dari urusan dunia yang dalam batas tertentu orang lain lebih tahu dari
dirinya. Dengan rendah hati beliau pun mengatakan, “kamu lebih tahu
dengan urusan duniamu.” Bahkan, pernyataan ini beliau lontarkan di
hadapan seorang petani yang ternyata lebih paham tentang persoalan
pertanian.
Dalam kenyataannya, jabatan politik yang beliau
pegang menjadi sarana strategis bagi upaya implementasi ajaran Islam
dan pengembangannya. Sebab, dengan politik inilah beliau bisa
mengendalikan negara sesuai ide-ide moral Alquran. Hal seperti ini
tidak dapat beliau lakukan ketika masih di Makkah karena tidak memiliki
kekuasaan politik. Oleh karena itu, di Madinahlah beliau pertama kali
membangun negara dan menjadi titik balik kesuksesan menyebarkan ajaran
Islam.
Feeling politik
Bahkan, Muhammad memiliki feeling politik yang sangat visioner. Ketika merasa umat Islam sudah kuat,
beliau dengan para pengikutnya ramai-ramai datang ke Makkah yang sudah
hampir sepuluh tahun beliau tinggalkan. Melihat Muhammad datang dengan
pengikut sedemikian banyak inilah yang membuat para penguasa dan elite
Makkah menjadi panik dan menyerah tanpa perlawanan. Apalagi,
orang-orang Makkah pun kemudian berbondong-bondong masuk Islam.
Peristiwa inilah yang digambarkan dalam Alquran sebagai fath al-Makkah (terbukanya
Kota Makkah) dalam Alquran surah an-Nashr. Kerap juga berapa penafsir
mengartikannya dengan “jatuhnya Kota Makkah”. Setelah peristiwa ini,
Kota Makkah jatuh ke tangan umat Islam. Dikatakan oleh Michel Hart
bahwa sejak saat itu Muhammad tidak saja menjadi pemimpin umat Islam,
tetapi menjadi pemimpin Arab terbesar, apa pun agama dan etnisnya.
Peristiwa fath al-Makkah tak ubahnya sebuah unjuk rasa damai dengan menggunakan people power di bawah komando seorang tokoh agama dengan keanggunan moral di satu
pihak dan seorang negarawan dengan strategi politik jitu di pihak lain.
Muhammad mampu menggabungkan dua kekuatan; agama dan politik dalam satu
kesatuan sinergis yang proporsional hingga mampu membangun negara yang
kuat tanpa harus melakukan penekanan, penindasan, bahkan konflik
sekalipun.
Dengan kekuatan agama, seorang akan memiliki karisma
yang membuatnya mudah memengaruhi masyarakat untuk mengikuti kebijakan
yang dibuatnya. Sementara masyarakat percaya seorang yang memiliki
kekuatan agama tak akan membuat kebijakan yang menyalahi nilai-nilai
yang ada di masyarakat, kecuali pemimpin yang zalim (menindas).
Sedangkan kemampuan politik akan membuatnya tahu bagaimana seharusnya
membuat keputusan strategis yang akan mengikat semua orang.
Indonesia dan Muhammad
Dalam
menilik perspektif kepemimpinan Muhammad untuk kepemimpinan Indonesia
hari ini, ada baiknya berangkat dari tesis BJ Boland, seorang
orientalis asal Belanda yang mendalami percaturan politik Indonesia
pascakemerdekaan. Ia pernah menyatakan, sulitnya tokoh Islam menjadi
kepala negara di Indonesia dikarenakan tiga sebab. Pertama, mereka
hanya bisa diterima oleh kelompoknya sendiri. Jangankan dapat diterima
mayoritas bangsa Indonesia, sesama Muslim sendiri, hanya karena berbeda
aliran politik dan organisasi, tidak bisa menerimanya.
Dalam
kasus pencalonan Amin Rais, misalnya. Hanya segelintir orang Nahdlatul
Ulama (NU) yang memilih Amien Rais menjadi presiden. Juga sebaliknya,
hanya beberapa orang Muhammadiyah yang memilih Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dalam pemilu. Inilah yang pernah memicu BJ Boland
melontarkan kritik kepada umat Islam dengan mengatakan, jika Indonesia
ini menjadi negara Islam, lalu negara ini akan diatur dengan Islam
model siapa?
Kedua, telah terjadi semacam image bahwa
tokoh-tokoh Islam atau sering disebut dengan kaum santri itu tidak
nasionalis. Mereka terkesan hanya mementingkan Islam tanpa
memperhatikan kepentingan negara. Negara ini bukan monopoli milik umat
Islam, melainkan milik seluruh bangsa Indonesia.
Ketiga, harus
diakui umat Islam adalah bagian dari komponen bangsa ini yang secara
pendidikan tertinggal dari komponen bangsa yang lain. Ketika orang lain
sudah bersekolah modern, umat Islam masih berkutat di pesantren yang
tidak berijazah. Bagaimana mungkin menjadi presiden ijazah SD saja
tidak punya. Nurcholish Madjid pernah menyatakan, kita tak membayangkan
seandainya KH Ahmad Dahlan tidak lahir, mungkin saja hingga kini kita
tidak mengenyam pendidikan modern yang darinya akan lahir kader-kader
bangsa yang mampu mengatur negara.
Di sinilah urgensi reparasi
kaderisasi pemipin bangsa berbasis Islam agar meniru gaya kepemimpinan
Muhammad. Dari berbagai pintu dan celah, kaderisasi kepemimpinan bangsa
mesti menjadi perhatian lebih bagi umat Islam yang notabene mayoritas.
Bukan hendak unjuk identitas atau motif-motif keakuan, melainkan
didasarkan pada kontribusi umat Islam yang secara kuantitas sangat
potensial untuk membangun bangsa. Bila kuantitas dan kualitas tida
berimbang, tak ubahnya umat Islam bak sampah sumber daya bangsa yang
cuma jadi penonton dan-meminjam istilah Buya Syafi’i Ma’arif-berada di
buritan peradaban. (Artikel ini juga dimuat di Harian Republika)