Sejak Kapan Wujudul Hilal Meninggalkan Nash?
Sejak Kapan Wujudul Hilal Meninggalkan Nash?
Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag., M.S.*
PWMJATENG.COM – Diskusi mengenai wujudul hilal ternyata masih hangat di berbagai media. Ada anggapan-anggapan baru yang dilontarkan dengan menyangka bahwa hisab wujudul hilal meninggalkan nash sharih. Kemudian, ada lagi anggapan bahwa kriteria wujudul hilal mengutamakan qiyas atas Nash, kemudian muncul penilaian bahwa wujudul hilal bukan hasil ijtihad. Tentu saja, salah faham demikian perlu diluruskan berdasarkan argumentasi yang sepatutnya.
Wujudul Hilal dan Petunjuk Nash
Untuk yang pertama, ada teman yang share tentang diskusi yang di dalamnya ada pendapat bahwa wujudul hilal itu bisa masuk kategori meninggalkan nash dan membuang banyak hadis sahih. Spontan saya jawab bahwa Imam Abu Hanifah mengartikan ayat 38 surat al-Maidah: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا (Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya) dengan memotong kekuasaan si pencuri alias dipenjara. Apakah dengan demikian Imam Abu Hanifah telah meninggalkan nash sharih karena mengartikan memotong tangan dengan memenjarakan pencuri, yang tidak sesuai dengan makna lahir Nash?
Inilah perlunya berhati-hati dalam menggunakan istilah meninggalkan Nash. Pertama, wujudul hilal justru mengharmonikan hadis-hadis dengan ayat-ayat Alquran. Kaidah fikih memang mengatakan:
إعمال الدليلين أولى من إهمال أحدهما ما أمكن
Mengamalkan dua dalil lebih utama dari mengabaikan salah satunya ketika itu memungkinkan
Ayat-ayat Alquran mengisyaratkan agar matahari dan rembulan dan orbit keduanya dijadikan Allah sebagai sarana untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungannya (Surat Yunus ayat 5). Sementara itu, hadis-hadis rukyat tetap dipakai bahwa penanda utama perpindahan bulan (month) Hijriyah adalah melihat hilal. Hanya saja, pemaknaan melihat hilal itu tidak lagi dipahami dengan melihat melalu mata telanjang, melainkan dengan ilmu atau hisab, sesuai isyarat Alquran.
Baca juga, Hari Gini Belum Paham Wujudul Hilal?
Pemaknaan Nash melalui pilihan kemungkinan makna yang tersedia itu bukan termasuk meninggalkan nash, bahkan andaikan dengan takwil sekalipun karena takwil itu memindahkan makna nash dari makna dzahir ke makna lain yang dimungkinkan. Sampai sekarang ketika kalangan Asy’ariyyah memilih takwil dan meninggalkan makna dzahir ayat-ayat terkait yadullah, istiwa dan lainnya, dan tidak ada yang bilang bahwa mereka meninggalkan nash.
Mengenai tuduhan bahwa wujudul hilal itu meninggalkan makna sharih nash, maka itu perlu diurai kembali apa yang dimaksud makna sharih. Menurut Abu Ishaq al-Syirazi dalam al-Luma’, lafal yang mubayyan (menunjukkan arti tertentu secara mandiri) itu terbagi atas dua macam, yaitu mantuq (menunjuk makna secara eksplisit) dan mafhum (menunjuk makna secara implisit atau tidak langsung).
Yang mantuq terbagi menjadi tiga, yaitu nash (petunjuk lafal yang tidak mungkin dipahami lain), dzahir (petunjuk lafal yang mengandung kemungkinan variasi makna) dan umum (petunjuk lafal pada berbagai makna secara tidak spesifik). Sementara itu, yang mafhum terbagi atau mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Makna sharih Nash, menurut al-Syaukani dalam Irsyadul Fukhul hanya ada dalam dalalah mantuq saja, itu pun terbatas pada yang nash, bukan yang dzahir dan umum. Bahkan, yang mantuq pun terbatas pada dalalah muthabaqah dan tadlammun, bukan yang iltizam karena iltizam itu termasuk dalalah tidak sharih.
Ayat dan hadis mengenai penentuan awal Ramadhan dan Syawal itu petunjuknya tidak sampai pada level mantuq nash (petunjuk eksplisit yang tidak mungkin dimaknai lain). Begitu kita mengakui hisab itu bisa dipakai dalam penentuan kalender Hijriyah, maka petunjuk hadis-hadis tentang rukyatul hilal itu turun menjadi mantuq dzahir, alias mengandung kemungkinan pemaknaan lain. Kriteria imkanur rukyat pun tidak pada dasarnya tidak berdasarkan makna sharih nash.
Masalah ini membawa kepada pengertian tentang hubungan nash, ijtihad dan qiyas. Pertama perlu hati-hati dengan istilah qiyas. Istilah qiyas itu punya beberapa pengertian. Pertama, dalam Ushul fikih, qiyas itu mencakup qiyas dalalah atau qiyas illah dan ada qiyas awla. Qiyas awla itu diperselisihkan ulama, apakah termasuk qiyas atau petunjuk nash. Yusuf al-Qardlawi menyebut penggunaan hisab itu dalam bab qiyas awla.
Sebagian kalangan Syafi’iyyah menyebut qiyas awla atau mafhum muwafaqah itu sebagai qiyas dan sebagian menyebutnya sebagai petunjuk nash. Oleh karena itu, kalangan Hanafi menyebut qiyas aula atau mafhum muwafaqah itu sebagai dalalah nash. Argumentasi bahwa qiyas awla itu adalah petunjuk nash, bukan qiyas, bisa dibaca uraianya pada Syarah Mukhtashar al-Raudlah karya Najmuddin at Thufi jilid 2.
Kedua, istilah qiyas atau qiyas burhani sebagaimana dipakai dalam istilah Mantiq dan bagian pendahuluan kitab Al-Mustashfa karya al-Ghazali itu maksudnya adalah silogisme. Peran qiyas burhani ini salam ushul fikih hanya untuk mensistematisasi pola pikir saja.
Ijtihad dan Nash
Sementara itu, tuduhan bahwa kriteria wujudul hilal adalah bentuk ijtihad atau qiyas yang meninggalkan nash, apalagi kemudian disebut bukan hasil ijtihad, tentu hal itu sangat mengherankan. Tidak ada dokumen tarjih yang mengatakan bahwa dasar wujudul hilal adalah qiyas, melainkan ayat-ayat Alquran dan pemahaman terhadap hadis. Ada berbagai nash dan kaidah perubahan hukum dikemukakan oleh para ulama Tarjih. Dengan memahami prinsip perubahan hukum berdasarkan perubahan illat, maka pesan nash sebenarnya bisa dipahami. Rukyat dahulu dipakai karena illat kondisi ummi umat Islam, maka sekarang dengan banyaknya ahli falak kondisi ummi itu sudah tidak lagi relevan.
Lagi pula, ada kesalahan faham bahwa ijtihad atau qiyas itu meninggalkan nash. Memang Imam Syafi’i dalam al-Risalah berpendapat bahwa ijtihad itu adalah qiyas dan qiyas adalah bayan di luar petunjuk langsung nash. Benar pula adanya kaidah yang mengatakan:
إذا ثبت النص بطل القياس
Jika ada Nash yang tetap, maka qiyas tidak dipergunakan.
Tetapi harus dipahami bahwa qiyas itu harus punya acuan pada nash karena prinsip dasar qiyas adalah menyamakan hukum yang belum ditunjuk Nash dengan hukum yang telah ditunjuk nash melalui persamaan illat.
Sementara itu, itihad itu tidak terbatas pada qiyas semata. Ijtihad itu mencakup juga upaya istinbath dari dalil-dalil yang dalalahnya dzanni. Penjelasannya bisa dibaca dalam Ushul al-Tasyri Islami karya Muhammad Ali Hasabullah atau dalam Syarah Mukhtashar Raudllah karya Najmuddin at Thufi.
Baca juga, Yuk Pahami Dasar Kriteria Wujudul Hilal!
Petunjuk dalil syar’i yang tidak qath’i dan tidak dlaruri maka itu menjadi wilayah ijtihad, yaitu nash yang dalalahnya dzanni. Hasabullah mengatakan bahwa wilayah ijtihad adalah hukum-hukum yang belum diterapkan dalam Nash Alquran dan Sunnah dan terhadap nash yang dzanni al-tsubut dan dzanni al-dalalah. Ijtihad terhadap nash yang dalalahnya dzanni bisa berupa tafsir, takwil, menghindari pertentangan petunjuk dalil, takhshish dan sebagainya.
Yusuf al-Qardlawi, al-Ijtihad fi al-Syariah al-Islamiyyah, menegaskan bahwa ijtihad itu tidak hanya menyangkut masalah-masalah hukum baru (insya’i), tetapi juga upaya meninjau ulang pendapat-pendapat lama untuk dilihat kembali menurut kebutuhan masa sekarang (intiqa’i). Ijtihad intiqa’i ini dilakukan dengan membandingkan pendapat-pendapat fikih terdahulu dan menimbang kembali dalil serta argumentasinya sehingga bisa ditarjih yang sesuai dengan kemaslahatan zaman sekarang.
Gagasan al-Qardlawi inilah yang dipraktekkan Majelis Tarjih dalam berpegang pada hisab. Pendapat masa lalu tidak diterima dengan cara taklid, melainkan ditinjau kembali sesuai perkembangan zaman. Hal ini sejalan dengan Manhaj Tarjih, yang meski tidak mengikatkan diri dengan salah satu madzhab fikih, tetapi menggunakan khazanah pendapat ulama klasik sebagai pertimbangan.
Kesimpulan
Anggapan bahwa kriteria wujudul hilal itu adalah teori yang disusun dengan meninggalkan nash ternyata tidak sesuai dengan realita. Pemahaman ulang terhadap nash bukan berarti meninggalkan nash, melainkan upaya untuk menjadikan hukum Islam relevan dengan kebutuhan zaman.
Dalam pandang para ulama Ushul, ijtihad itu mencakup hukum-hukum yang tidak ditunjuk Nash secara langsung dan hukum-hukum yang dasarnya adalah dalil yang petunjuknya dzanni. Yusuf al-Qardlawi bahkan menyarankan satu pendekatan ijtihad dengan meninjau kembali semua pendapat pada masa lalu berdasarkan dalil, lalu dipilih yang paling kuat dan sesuai dengan kemaslahatan zaman.
Dalam konteks tersebut, hisab kriteria wujudul hilal dipilih karena sesuai dengan tuntutan untuk mencari kepastian penanggalan. Meskipun jika nanti Muhammadiyah beralih pada Kalender Hijriyah Global, semangat untuk mencari kalender Hijriyah yang reliabel tetap menjadi inti spiritnya.
*Dosen UIN Walisongo, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha