Khazanah Islam

Rajabiah: Antara Sunnah Dan Tradisi

Di bulan Rajab terdapat peristiwa isra’ dan mi’raj Rasulullah. Telah menjadi kesadaran umum bagi umat Islam, bahwa isra’ mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab. Oleh-oleh mi’raj Nabi bagi kaum muslimin adalah kewajiban melaksanakan shalat lima kali dalam sehari semalam. Selain itu disebutkan bahwa bulan Rajab merupakan satu diantara 4 bulan suci: Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab itu sendiri (QS.at-Taubah/9:36). Bulan Ramadan dikatakan sebagai bulan berkah, secara teknis identik dengan bulan suci,  karena di dalamnya terdapat satu malam yang disebut lailatul qadar (QS.ad-Dukhan/44:3; al-Qadr/97:1-5), malam yang di dalamnya diturunkan wahyu yang pertama, surat al-’Alaq/96:1-5.

Karena kemulyaan bulan Rajab, apresesiasi umat Islam juga sangat istimewa. Disebutkan bahwa nama bulan ini amat banyak, yaitu: al-Asham, al-Ashab, Rajm, al-Harm, al-Muqim, al-Mu’alla, Manshal al-Asinnah, Manshal al-’Ăl, al-Mubri’ , al-Musyqisy, Syahru al-‘Atirah dan Rajab Mudhar. Dalam perjalanan sejarah, muncul berbagai mitos-khurafatiyyah maupun ritual  mengada-ada sebagai akibat prkembangan tradisi dari masyarakat lokal di berbagai belahan dunia Islam. Sudah barang tentu sebagiannya perlu diluruskan kembali sebagaimana tuntunan Rasulullah, sebagainannya perlu dilestarikan.

Perkembangan Keyakinan dan Pola ibadah

Jauh setelah Rasulullah wafat, terutama di kalangan kaum tasawwuf dan tarekatisme banyak bemunculan aneka keyakinan dan peribadatan yang tidak ada contohnya dari Nabi saw, antara lain:

  • Shalat raghaib (kesenangan, keutamaan), dilaksanakan pertama kali di Baitul Maqdis pada tahun 480 H. Pelaksanaannya demikian:

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَان شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ شَهْرأَمَّتِيْ : وَمَا مِنْ أَحَدٍ يَصُوْمُ يَوْمَ الْخَمِيْسِ أَوَّلَ خَمِيْسٍ فِيْ رَجَبٍ ثُمَّ يُصَلِّي فِيْمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعَتَمَةِ يَعْنِيْ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثِنْتَيْ عَشَرَةَ وَكْعَةً يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ مَرَّةً و (إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) ثَلا َثَ مَرَّاتٍ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ مَرَّةً يُفْصَلُ بَيْنَ كَلِّ رَكْعَتَيْنِ بِتَسْلِمَتَيْنِ فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ صَلِّيْ عَلَيَّ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَقُوْلُ اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيْ الأمِيْ وً عًلًى آلِهِ ثُمَّ يَسْجُدُ فَيَقُوْلُ فِيْ سُجُدِهِ سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئكَةِ وَ الرُّوْحِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُوْلُ رَيِّ اغْفِرْلِيْ وارْحَمْ وَ تَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الأَعْظَمُ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَسْجُدُ الثَّانِيَةَ فَيَقُوْلُ مِثْلَ مَا قَالَ فِيْ السَجْدَةِ الأُولَى ثُمَّ يَسْأَلُ اللهَ حَاجَتَهُ فَإِنَّهَا تُقْضَى قَالَ رَسُوْل الله : وَالَّذِيْ تَفْسِيْ بيَدِهِ مَا مِنْ عَبْدٍ وَلا َ لأ أَمَةٍ صَلَّى هَذِهِ الصَلاَةَ إِلاَّ غَفَرَ الله لَهُ جَمِيْعَ ذُنُوْبِهِ وَ إنْ كَانَ مِثْلَ زَيَدِ الْبَحْرِ وَ عَدَدَ وَرَقِ الأَشْجَارِ و شَفَعَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْ سَبْعِمِائَةِ مِنْ أَهْلَ بَيْتِهِ . فَإِذَا كَانَ فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ فِيْ قَبْرِهِ جَاءَ ثَوَّابُ هَذِهِ الصَّلاَةِ فَيُجِيْبُهُ بِوَجْهٍ طَلِقٍ وَلِسَانٍ ذَلِقٍ فَيَقُوْلُ لَهُ حَبِيْبِيْ أَبْشِرْ فَقَدْ نَجَوْتَ مِنْ كُلِّ شِدَّةٍ فَيَقُوْلُ مَنْ أَنْتَ فَوَ اللهِ مَا رَأَيْتُ وَجْهًا أَحْسَنَ مِنْ وَجْهِكَ وَلاَ سَمِعْتُ كَلاَمًا أَحْلَى مِنْ كَلاَمِكَ وَلاَ شَمَمْتُ رَائِحَةُ أَطْيَبُ مِنْ رَائِحَتِكَفَيَقُوْلُ لَهُ يَا حَبِيْبِيْ أَنَا ثَوَابُ الصَلاَةِ الَّتِيْ صَلَّيْتَهَا فِيْ لَيْلَةِ كَذَا فِيْ شَهْرِ كَذَا جِئْتُ الليْلَة َ لأَ قْضِيْ حَقَّكَ وَ أُوْنِِسَ وَحْدَتَكَ وَ أَرْفَعَ عَنْكَ وَحْشَتَكَ فَإِذَا نُفِخَ فِيْ الصُوْرِ أَظْلَلْتُ فِيْ عَرَصَةِ الْقِيَامَةِ عَلَى رَأْسِكَ وَ أَبْشِرْ فَلَنْ تَعْدَمَ الْخَيْرَ مِنْ مَوْلاَكَ أَبَدًا

(Rajab bulan Allah dan Sya’ban bulanku serta Ramadan bulan umatku. Tidak ada seorang berpuasa pada hari Kamis, yaitu awal Kamis dalam bulan Rajab, kemudian shalat diantara Maghrib dan ‘Atamah (Isya) -yaitu malam Jum’at- (sebanyak) dua belas raka’at. Pada setiap raka’at membaca surat al-Fatihah sekali dan surat al-Qadr tiga kali, serta surat al-Ikhlas duabelas kali. Shalat ini dipisah-pisah setiap dua raka’at dengan salam. Jika telah selesai dari shalat tersebut, maka ia bershalawat kepadaku tujuh puluh kali, kemudian mengatakan “Allahhumma shalli ‘ala Muhammadin Nabiyil umiyi wa alihi”, kemudian sujud, lalu menyatakan dalam sujudnya “Subuhun qudusun Rabbul malaikati wa ar ruh” tujuh puluh kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan “Rabbighfirli warham wa tajaawaz amma ta’lam, inaka antal ‘Azizul a’zham” tujuh puluh kali, kemudian sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama. Lalu memohon kepada Allah hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki-laki atau perempuan yang melakukan shalat ini, kecuali akan Allah ampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih lautan dan sejumlah daun pepohonan, serta bisa memberi syafa’at pada hari kiamat kepada tujuh ratus keluarganya. Jika berada pada malam pertama, di kuburnya akan datang pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! Kamu telah selamat dari kesulitan besar’. Lalu (orang yang melakukan shalat ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah aku belum pernah melihat wajah seindah wajahmu, dan tidak pernah mendengar perkataan seindah perkataanmu, serta tidak pernah mencium bau wewangian, sewangi bau wangi kamu’. Lalu ia berkata: ‘Wahai, kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu lakukan pada malam itu, pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu perasaan asing. Jika ditiup sangkakala, maka aku akan menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah, karena kamu tidak akan kehilangan kebaikan dari maulamu (Allah) selama-lamanya – HR Ibnu al-Jauzi dalam kitab al-Mauḍū’ât, 2/124-125).

Para ulama, antara lain: Ibnu Taimiyah, asy-Syaukani, al-Fairuzabadi, al-Maqdisi al-‘Iraqi, dan Abu Syamah mengatakan bahwa hadis ini palsu. (Baca: Majmū’ Fatawa, XXIII, hal 133-134; al-Bida’ al-Ḥauliyah, hal. 241 (https://almanhaj.or.id/3090-shalat-raghaib.html).

  • Puasa dan persembahan ‘atirah dan farra’ di zaman jahiliah hidup kembali. ‘atirah adalah menyembelih unta untuk berhari raya setelah puasa, yaitu pada tanggal 10 Rajab. Farra’ adalah anak kambing atau anak unta yang lahir pertama, kemudian dipelihara, lalu disembelih untuk persembahan berhala. Pada zaman Islam, berhala itu diganti untuk peringatan para syeh sufi. Padahal, tradisi farra’ pada zaman Rasulullah tradisi itu beliau larang. Demikian hadis fi’li menyebutkan.

كَانَ النَبِيُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ يَنْهَى عَنْ صِيَامِ رَجَبَ كُلَهُ لِئَانْ لَا يَتَخِذُ عِيْدًا. (رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَه عَنْ إِبْنِ عَبَاسٍ).

Artinya:

Nabi melarang berpuasa di hari seluruh bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai hari Raya (HR. Ibnu Majah dan ath-Thabrani dari Abdurrazaq.). Hadis ini memang mauquf, tetapi mendapat syahid dari Ibnu Abbas dengan hadis marfu’.

Kepercayaan luas menyebutkan bahwa Rasul bersabda: Allahumma bârik lanâ fi Rajaba wa Sya’bâna, wa ballighnâ Ramaḍân (Ya Allah, berkatilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, kemudian sampaikan kami ke bulan Ramadan – HR. Ahmad). Kritikus hadis Ibnu Suni menyatakan bahwa hadis ini lemah sekali karena terdapat rawi Zaidah bin Abi ar-Ruqad. Ia tergolong munkarul ḥadís dan banyak pelupa dalam meriwayatkan hadis. Ibnu Rajab juga mendaifkan hadis ini (Lathâif al-Ma’ârif: 218).

Umar bin Khathab pernah memaksa orang untuk membatalkan puasa Rajab, lalu berkata: Lâ tasyubbūhu bi ramaḍan (Jangan kamu menyamakan puasa Rajab dengan Ramadan (al-Bani, Irwa’ul Ghalíl).

Imam Ahmad menghimbau, sebaiknya tidak berpuasa di bulan Rajab, meskipun, hanya satu atau dua hari, karena beliau khawatir salah niat dalam melaksanakan puasa. Kesalahan persepsi terhadap puasa rajabiayh telah menjadi kesalahan umum pada masanya.

Imam Syafi’i menyatakan tidak suka jika ada orang berpuasa penuh di bulan Rajab. Ia beralasan dari hadis ‘Aisyah, bahwa Rasulullah tidak pernah berpuasa di bulan itu (Ibnu Rajab, Lathaif al-Ma’arif: 215).  

  • Atirah wal farra’ ala Jawa menjadi antara lain:  menyembelih kambing kendhit, yaitu kambing hitam berbelang putih melingkar atau kambing putih berbelang hitam atau coklat melingkar penuh, atau menyembelih ayam putih polos, ayam cemani (ayam hitam polos), kucing condromowo (hitam polos), atau kadal berekor cabang dua sebagai instrument ritual tertentu, umpama untuk: pelarisan dagangan, meraih derajat tertentu (lurah dan ke atasnya, atau posisi-posisi jabatan), atau kekebalan dari senjata tajam atau tumpul.
  • Pada malam-malam bulan-bulan suci, utamanya bulan Muharram (sura dalam tradisi Jawa) dan bulan Rajab banyak para ‘urafâ’ (wong pinter, wong tuwa, disapa mbah meskipun usianya masih tergolong muda) berjaga di malam hari di tempat-tempat terbuka, dalam posisi ngebleng (puasa wishâl, yaitu tidak berbuka puasa ketika matahari terbenam). Setelah melihat lintang alian (batu meteor) mereka membuat jimat, rajah, wifiq, haikal, maupun rapal-rapal (jampi-jampi, guna-guna) sesuai dengan kebutuhan clien-nya. Sekarang sudah banyak diproduk tanpa permintaan clien kemudian diiklankan untuk dimiliki orang lain dengan ketentuan mengganti mahar (mas kawin) dengan rupiah tertentu. Praktik ini tentu dilarang oleh Islam. Rasulullah pernah bersabda مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ (Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad IV: 154). Dalam riwayat lain disebutkan: مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ (Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad IV: 156. al-Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih sebagaimana dalam Aas-Silsilah ash-Shaḥíḥah no. 492).
  • Hadis-hadis yang menyebutkan pahala puasa di bulan Rajab lebih utama dibanding bulan-bulan lainnya atau bulan-bulan suci (minus Ramadan) adalah lemah sekali bahkan mauḍu’ (palsu – al-Bida’ al-Ḥauliyyah: 235-236; al-Ḥawâdís wal Bida’: 130).Penutup

Penutup

Alangkah bijaksana kalau dalam mengapresiasi bulan Rajab tidak berlebihan, melainkan yang proporsional saja sebagaimana Rasulullah contohkan. Beliau tahu bahwa bulan Rajab adalah syahrul ḥurūm, tetapi beliau juga tidak berlebihan dalam mengapresiasinya.

Puasa Senin-Kamis yang sudah biasa dilakukan tentu boleh karena Rasulullah melaksanakannya, meskipun di bulan Rajab. Puasa Dawud yang melintasi bulan Rajab tentu boleh karena beliau merekomendasikannya. Puasa ayyamul bíḍ (hari-hari putih, purnama, tanggal 13, 14, 15 setiap bulan, termasuk dalam bulan Rajab) tentu boleh karena Rasulullah juga merekomendasikannya. Para wanita berpuasa meng-qaḍâ (nyahur utang)Ramadan tentu boleh karena itu wajib. Semua puasa ini tidak dalam rangka memuasai keutamaan Rajab, melainkan untuk memperoleh ridla Allah. Mencari ridla memang perlu dan harus, tetapi harus mengindahkan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasulullahagar tidak keluar rel Syariah. Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb.

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE