Editorial

Peci untuk Cakades

Oleh : Khafid Sirotudin (Ketua LHKP PWM Jawa Tengah)

PWMJATENG.COM – Alkisah tahun 2020 lalu, sepulang dari Jumatan saya kedatangan tamu. Namanya Suto (bukan nama sebenarnya) beserta 2 orang. Sudah cukup lama saya mengenalnya, aktivis pemuda di sebuah kecamatan. Maksud kedatangan selain silaturahmi, ingin mendapatkan ‘tutur- sembur’ (sumbang saran) terkait keikutsertaan sebagai Calon Kepala Desa (Cakades). Kompetitor yang dihadapi yakni ‘incumbent’ Kades yang punya hubungan keluarga besar istrinya. Dua pemuda yang menyertai adalah panglima “Badal/Jago” (Tim Sukses).

Setelah mendengar jawaban atas beberapa pertanyaan yang saya ajukan, kami bincang santai seputar peta “geo-politik” desanya. Kebetulan desa itu salah satu dari 9 desa di satu kecamatan yang memenangkan saya pada Pemilu Legislatif 2004 dan 2009. Saya menjadi anggota DPRD Provinsi Jateng dari PAN 2 periode (2004-2009 dan 2009-2014). Saya mengenal dan berhubungan baik dengan beberapa tomas (tokoh masyarakat), toga (tokoh agama), toman (tokoh preman), topem (tokoh pemuda) dan ‘botoh’ (bandar judi pilkades) di 9 desa itu.

Sepengetahuan saya Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di Kabupaten Kendal berlangsung dalam 3 tahap/gelombang. Tahun 2020 sebanyak 199 desa dan tahun 2022 ada 62 desa, tersebar di 19 kecamatan. Pilkades Serentak merupakan sarana demokrasi yang Luber-jurdil untuk memilih kepala pemerintahan desa. Diharapkan Pilkades serentak dapat berjalan lebih efisien dan bisa mengurangi permainan politik uang dari para ‘botoh’.

Sebelum Pilkades dilaksanakan secara Serentak, sudah lazim terjadi adanya politik uang yang melibatkan para botoh dari luar Kendal. Diantaranya yang saya kenal adalah para botoh dari Batang, Semarang, Demak, Kudus dan Jepara. Saya jadi teringat disertasi kolega dan senior di Undip, Dr. Hj. Fitriyah, yang menuliskan hasil penelitian tentang peran “botoh” dalam Pilkada di Jawa Tengah.

Kabupaten Kendal memiliki 267 desa, tersebar di 19 kecamatan dan 20 kelurahan di kecamatan kota Kendal. Jumlah pemilih Pilkades di setiap desa bervariasi. Mulai jumlah pemilih dibawah 1000 orang hingga diatas 10.000 orang. Semakin besar jumlah pemilih, membutuhkan biaya politik yang lebih besar (kartu suara, kombong/bilik suara, Panitia Pemilihan Desa/PPD, biaya sosialisasi, dll).

Beberapa issue yang seringkali muncul disaat Pilkades, khususnya menyangkut figur Cakades, antara lain : keburukan, kelemahan dan aib personal (caracter assasination), orientasi politik praktis/parpol, isi tas (fund raising/dana), agama dan ormas keagamaan, latar pendidikan dan kecakapan, serta trah keluarga.

Maka kita mafhum adanya ungkapan: “jika ingin tahu kekurangan, keburukan dan aib pribadi, ikutlah Pilkades”. Ibarat berdiri telanjang di perempatan, Cakades segera tahu aib pribadi yang diangkat menjadi aib sosial; siapa teman/saudara/warga yang benar-2 mendukung; serta siapa teman/tetangga/handai taulan yang tidak berpihak kepada kita. Efek psikologis bagi Cakades yang gagal lebih besar dan lebih berat beban moral dan kejiwaannya dibanding caleg yang gagal pemilu. Belum lagi efek psikologis bagi keluarga inti dan keluarga besarnya.

Peci untuk Suto

Sebenarnya saya kurang semangat untuk memberikan sumbang saran pada kesempatan itu. Selain khawatir distigmatisasi sebagai “dukun/paranormal”, saya kenal baik dengan kedua Cakades. Dimana kedua calon pernah sama-sama membantu pada pemilu 2004 dan 2009. Keduanya warga persyarikatan, apalagi masih memiliki hubungan keluarga.

Namun saya tak kuasa menolak niat baik Suto datang ke rumah. Akhirnya saya memberikan beberapa saran dan “ijazah” bagaimana cara memenangkan kontestasi pilkades. Sekaligus pesan penting yang harus dia jalankan seandainya menang Pilkades. Diantaranya adalah “menang tanpo ngasorake” (menang tanpa harus merendahkan kompetitor); melakukan kampanye simpatik dan hindari caracter assasination; tetap menjalin persaudaraan dengan cakades dan keluarga; serta jangan meyakini dan menjadikan “kepyur” (money politic) sebagai faktor utama kemenangan.

Syukur bisa akur dalam menunaikan “sedekah politik” untuk warga. Caranya bisa disepakati berdasarkan hasil musyawarah Cakades dengan PPD. Misal, setiap Cakades akan membagi amplop berisi sejumlah uang yang sama (Rp 25-100ribu) kepada setiap warga setelah menggunakan hak pilihnya dan diberikan terbuka setelah keluar ‘kombong’ (bilik suara) di Balai Desa. Sekedar pengganti uang kerja libur sehari.

Jika tidak disepakati melakukan “kepyur secara berjamaah/gotong royong”, maka cukuplah diniati sebagai sedekah politik yang “tinemu nalar” (sesuai akal sehat). Dimana besarnya biaya politik Cakades jangan sampai melebihi estimasi harga sewa “lahan bengkok” Kepala Desa selama 1 periode (6 tahun). Mengapa terkait kepyur ini saya sarankan, karena saya tahu betul bahwa di desa tersebut ‘kepyur/membagi uang’ kepada masyarakat disaat pilkades sudah menjadi “tradisi politik” tingkat lokal. Kalaupun Cakades tidak membagi, pasti akan ada “tim botoh” yang kepyur agar supaya menang dalam “botohan” (judi pilkades).

Saya meyakini, elektabilitas (tingkat keterpilihan) seorang cakades, utamanya ditentukan faktor akseptabilitas (diterima/tingkat keterpenerimaan pemilih) yang memiliki porsi 70 persen. Lainnya faktor popularitas (dikenal) dan isi tas (dana) yang memiliki porsi 29 persen. Masih ada 1 persen faktor mutlak Maha Penentu Kemenangan yaitu rahmat dan ridha Allah Tuhan yang Maha Kuasa.

Berdasar pengamatan dan pengalaman empiris Pilkades di sebagian besar desa, Modal Sosial seorang Cakades (suka beramal shalih, aktif di berbagai kegiatan kampung, dikenal ringan kaki, gemar berderma dan bermanfaat bagi sesama) yang dilakukan istiqomah dan berlangsung lama, serta terekam secara baik di dalam batin masyarakat adalah faktor utama ‘akseptabilitas’ seorang Cakades sehingga dipilih oleh sebagian besar rakyat (elektabilitas). Maknanya, figur seorang Cakades yang dikenal baik dan “diterima oleh sebagian besar warga/pemilih” menjadi faktor penentu yang sangat berpengaruh dalam memenangi kontestasi.

Beberapa waktu lalu viral di medsos video pendek terkait Pilkades serentak di kabupaten Rembang. Dimana Kades terpilih merupakan toga sekaligus tomas yang dikenal sangat baik oleh warga desanya. Terlihat jelas dalam video itu, tatkala Kades terpilih berjalan kaki pulang ke rumah, diiringi oleh ratusan warga pendukung sambil meneriakkan yel-yel : “duit ora payu, duit ora payu” (uang tidak laku).

Saya beri Suto peci hitam ukuran 7 yang kebetulan baru saja beli. Ternyata pas ukurannya ketika dikenakan diatas kepala. Pecipun langsung dikenakan Suto ketika pamit pulang. Saya hanya berpesan : “tolong pakai peci ini ketika sholat dan kenakan di Balai Desa waktu Pilkades dilaksanakan”.

Sore hari setelah penghitungan suara selesai, ketua timses mengabarkan kemenangan yang diraih. Tidak lupa dia mengirimkan foto Suto memakai peci hitam polos sedang dikerubuti masyarakat pendukungnya. Alhamdulillah pilkades berjalan dengan aman dan menggembirakan.

Penasehat Politik

Kita sudah mengenal kiprah lembaga survey dan konsultan politik pada perhelatan Pemilu, (Pilpres, Pilgub dan Pilkadal kab-kota). Ada lembaga yang kredibel, adapula yang kurang kredibel. Keanekaan lembaga ini bisa kita lihat dan baca dalam berbagai release hasil survey yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Masyarakat menjadi kian akrab dengan hitung cepat (quick account) hasil Pilpres sejak 2004. Tidak usah bertanya berapa harga jasa lembaga survey.

Kami cukup memiliki pengalaman empiris obyektif-historis dalam melakoni berbagai kontestasi pemilu, ketua parpol, pimpinan ormas, organisasi sosial dan profesi. Lebih banyak menang ketimbang tumbang, lebih banyak menjadi pelaku daripada timses dan sekedar penggembira.

Bagi seseorang yang terjun di dunia politik (termasuk cakades) seyogyanya memiliki beberapa penasehat (advisor/mentor). Agar supaya ketika “menang ora umuk, kalah ora ngamuk” (menang tidak besar kepala, kalah tidak merusak jiwa-raga). Intinya menang atau kalah tidak membuat lupa diri. Jangan sampai terjadi ketika kalah mengidap gangguan jiwa (gila), bangkrut ekonomi atau bunuh diri. Naudzubillah.

Beberapa penasehat (advisor/mentor) yang dibutuhkan yaitu : penasehat spiritual, penasehat intelektual, penasehat finansial (keuangan), penasehat peradaban dan sosial budaya, penasehat KIEM (Komunikasi, Informasi, Edukasi dan Media), penasehat hukum dan keadilan. Last but not least, penasehat “royal” (entertainment advisor). Seorang pemimpin harus “lumrah” (luwes) dalam pergaulan namun tegas dalam pendirian, cukup memiliki selera humor, bisa menyanyi dan pandai menghibur diri, tidak ‘baperan’ dan rendah emosi tatkala dibully di media sosial.

Bukankah ajaran agama mengamanatkan kita untuk memuliakan tamu, menghormati tetangga, menjalin relasi, menahan emosi, suka memaafkan, senang silaturahmi serta bermanfaat untuk sesama.

Wallahua’lam

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE