Muhammadiyah dan Budaya: Menjaga Tradisi Tanpa Melanggar Syariat

PWMJATENG.COM, Surabaya – Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Tafsir, menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak bersikap anti terhadap budaya. Dalam pandangannya, yang perlu dihindari bukanlah budaya itu sendiri, melainkan unsur-unsur takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC) yang terkadang melekat pada praktik budaya tertentu.
“Muhammadiyah tidak melarang budaya. Yang dilarang Muhammadiyah itu TBC-nya, bukan budayanya. Sayangnya, kadang ada warga Muhammadiyah yang kebablasan sampai babar blas,” ujar Tafsir, disambut gelak tawa para jamaah yang hadir.
Pernyataan tersebut disampaikan Tafsir saat menjadi narasumber dalam Kajian Ahad Pagi yang diselenggarakan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Surabaya. Acara yang berlangsung di aula SMP Muhammadiyah 2 Surabaya pada Ahad (26/1/2025) ini dihadiri oleh puluhan jamaah dari berbagai kalangan.
Dalam kajian tersebut, Tafsir mengangkat salah satu contoh budaya Jawa yang sering menjadi perbincangan, yakni tradisi slametan pada ibu hamil atau yang dikenal sebagai tradisi selapanan. Ia menjelaskan bahwa tradisi ini memiliki makna mendalam yang sesuai dengan ajaran Islam.
Baca juga, Hukum Adzan untuk Jenazah dan Jamak-Qashar dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah
Menurut Tafsir, dalam Islam, usia kehamilan 40 hari ketiga adalah momen penting bagi janin. Pada masa tersebut, janin mulai membentuk indera, seperti pendengaran, penglihatan, dan perasaan. “Pada usia kehamilan 40 hari ketiga inilah masa depan manusia mulai ditentukan. Lha, momen penting seperti ini kok dibiarkan kosong. Maka dari itu, adat Jawa memiliki tradisi selapanan. Ini salah satu contoh bagaimana pinternya orang Jawa dalam memahami Al-Qur’an dan hadits,” paparnya.
Namun, Tafsir menekankan bahwa pelaksanaan tradisi ini harus tetap sesuai dengan syariat Islam. Ia mendorong warga Muhammadiyah untuk menjadikan tradisi sebagai sarana mendekatkan diri kepada Al-Qur’an dan memperbanyak doa. “Maka, warga Muhammadiyah jangan kebablasen, tapi juga jangan babar blas. Pada momen ini, warga Muhammadiyah dapat memperbanyak kalimat thoyyibah dengan membaca Al-Qur’an. Jangan sampai momen tersebut dibiarkan kosong,” imbuhnya.
Sikap Tafsir mencerminkan pandangan Muhammadiyah yang tidak memusuhi budaya, tetapi tetap berusaha menjaga nilai-nilai keislaman. Dalam pandangan organisasi ini, budaya lokal dapat diintegrasikan dengan ajaran agama selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid.
Dalam penjelasannya, Tafsir juga mengingatkan agar warga Muhammadiyah berhati-hati dalam menjalankan tradisi. Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara menghormati budaya dan mematuhi syariat. “Sebagai masyarakat Jawa yang menjadi bagian dari Muhammadiyah, kita tidak seharusnya alergi terhadap budaya. Namun, kita juga harus berhati-hati agar tidak salah dalam menjalankan budaya hingga melibatkan TBC,” tegasnya.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha