Editorial

Minyak Goreng, Sembako dan Politik Pangan

Sejak akhir Oktober 2021 minyak goreng (migor) menjadi trending topik di berbagai sosmed dan media massa (cetak, online, tv), Di berbagai media mainstream, migor menjadi headline. Ekonom, politisi, menko, menteri, pengamat hingga pejabat pemerintah daerah semua berbicara. Banyak kalangan aktivis sosmed berkreasi membuat meme, tik-tok, video pendek dan beragam konten dengan tema yang sama : migor langka dan mahal.

Kasus langka dan melonjaknya harga migor yang telah berjalan 5-6 bulan adalah sebuah rekor tersendiri. Sebelum ini kenaikan harga sembako dan migor paling lama berlangsung 1 bulan. Itupun dipicu adanya permintaan (demand) pasar yang meningkat sesaat, biasanya beriringan dengan Hari Raya Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru. Setelah itu harga akan melandai lalu turun kembali ke harga normal.

Akan tetapi kejadian kali ini sungguh tidak ‘tinemu nalar’ (Jawa : masuk akal) publik, sebagaimana artikel kami “Di Balik Meroketnya Harga Minyak Goreng” yang dimuat Suara Merdeka, Kamis 9 Desember 2021.

Menko Perekonomian dalam kunjungannya ke Siak, Riau, Kamis 24 Februari 2022 lalu membuat kejutan. Melansir Wartaekonomi.co.id dalam sesi tanya jawab dengan para petani di Kampung Libo Jaya, Kandis Kabupaten Siak, Menko menyatakan menerima aspirasi petani sawit agar ada keberlanjutan pemerintahan Presiden Joko Widodo karena kebijakannya telah meningkatkan harkat hidup petani sawit. Padahal kita tahu bahwa luas perkebunan sawit rakyat hanyalah sebagian kecil dari lebih 150 juta hektar lahan sawit yang didominasi perusahaan perkebunan sawit swasta Indonesia, kelas dunia dan sebagian kantornya bermarkas di Singapura.

Paling mutakhir, penyanyi idola banyak kalangan, Iwan Fals menyanyikan lagu berjudul Minyak Goreng. Musisi dan pencipta lagu yang dikenal sering menyuarakan kritik sosial atas berbagai ketimpangan sosial dan ekonomi di negeri ini. Iwan Fals juga merilis lagu anyar “Janji Jokowi, Semoga Bukan Janji Kompeni”. Dua lagu yang sangat menarik perhatian publik, khususnya komunitas OI dan netizen.

Migor Bukan Sembako

Bahan pokok adalah bahan utama dan mutlak dibutuhkan masyarakat dalam suatu negara. Sembako (sembilan bahan pokok) merupakan istilah kebutuhan pokok bagi rakyat yang dipopulerkan sejak jaman Orde Baru. Sembako adalah sembilan jenis kebutuhan pokok masyarakat. Begitu pentingnya sembako sebagai komponen utama kebijakan politik pangan rezim Orba, sehingga secara periodik pemerintah melalui Menteri Penerangan RI selalu menyampaikan informasi Harga Pembelian Pemerintah sebagai salah satu alat pengendali stabilitas harga sembako, serta langkah dan kebijakan pemerintah atas kenaikan harga pangan setelah diputuskan dalam sidang kabinet.

Menteri Penerangan dengan narasinya yang khas biasa menyampaikan langsung melalui TVRI dan RRI : “atas petunjuk bapak Presiden,…dan seterusnya sampai selesai”. Kalimat khas tersebut seakan ingin menyampaikan pesan secara implisit bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan bertanggungjawab atas ketersediaan pangan serta dengan tingkat harga yang terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Ke sembilan bahan pangan pokok itu yaitu beras, gula pasir, minyak goreng, daging, telur, susu, kedelai, jagung dan garam.

Pada periode akhir Orba, keluar Kepmenperindag Nomor 115 tahun 1998. Berdasarkan peraturan ini yang dimaksud sembako mengalami perubahan. Meliputi : beras, gula pasir, minyak goreng dan mentega, daging sapi dan ayam, telur ayam, susu, bawang merah dan putih, ikan, garam beryodium. Ada tambahan 4 jenis bahan pokok baru yaitu mentega, ikan, bawang merah dan bawang putih. Sedangkan jagung dan kedelai terlempar dari daftar sembako.

***

Melalui Permendag Nomor 27 tahun 2017, periode pertama Presiden Jokowi (era Pemerintahan Orde Reformasi keempat), sembako berubah lagi menjadi : beras, gula pasir, minyak goreng dan mentega, daging sapi dan ayam, telur ayam, susu, bawang merah dan bawang putih, garam, gas LPG dan minyak tanah. Kebutuhan masyarakat akan gas LPG dan minyak tanah menjadi unsur baru dalam sembako.

Melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, pemerintah membentuk Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang bertugas untuk melaksanakan tugas pemerintah di bidang pangan. Lembaga ini mengambil alih kewenangan tiga kementrian yang berkaitan dengan pangan. Yaitu Kementrian Pertanian, Kementrian Perdagangan dan Kementeian BUMN sehingga ada pelimpahan kewenangan ketiga kementerian tersebut ke dalam Bapanas.

Berdasarkan Pasal 28 ayat 1 Perpres 66/2021 Kementerian Perdagangan diharuskan mendelegasikan kewenangannya terkait perumusan kebijakan dan penetapan kebijakan stabilisasi harga dan distribusi pangan.

Baca juga, [Breaking News] Bencana Hidrometeorologi Landa Beberapa Wilayah di Jawa Tengah, Berikut Respon Muhammadiyah!

Sementara Pasal 28 ayat 2 mengamanatkan Kementrian Pertanian untuk mendelegasikan kewenangan terkait perumusan kebijakan dan penetapan besaran jumlah cadangan pangan pemerintah yang akan dikelola oleh BUMN di bidang pangan.

Bagaimana dengan BUMN ?. Berdasarkan Pasal 29 Perpres 66/2021, Kementrian BUMN akan menguasakan kepada Kepala Badan Pangan Nasional untuk memutuskan penugasan Perum Bulog dalam rangka pelaksanaan kebijakan pangan nasional.

Jenis pangan yang menjadi tugas dan fungsi Bapanas, sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 ayat 1 Perpres 66/2021 yaitu beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas dan cabai.

Menarik mencermati 9 jenis pangan sebagaimana tersebut diatas, terutama masuknya komoditas cabai dan tidak masuknya minyak goreng ke dalam wewenang Bapanas. Padahal tingkat konsumsi masyarakat akan minyak goreng dan produk turunan CPO (Crude Palm Oil) Sawit jauh lebih besar. Kami husnudzan adanya kelalaian dalam penyusunan ‘legal drafting’ yang tidak disengaja. Sehingga Presiden bisa secepatnya menggunakan kewenangan yang dimiliki, seperti tertulis dalam Pasal 4 ayat 2 Perpres 66/2021 yang berbunyi : ‘Perubahan komoditas pangan sebagimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden’.

Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, kami berharap minyak goreng dan produk perkebunan sawit bisa ditambahkan sebagai produk yang ditangani Bapanas. Apalagi jika kita mengingat bahwa sektor perkebunan sebagai penghasil bahan baku pangan, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Kementerian Pertanian cq Dirjen Perkebunan sejak dahulu hingga saat sekarang.

Politik Pangan

Politik pangan merupakan kebijakan negara dan legislasi yang dijalankan pemerintah dalam bidang pangan (minuman/air dan makanan) untuk memenuhi kebutuhan pokok dan pangan bagi seluruh rakyatnya. Politik pangan diorientasikan bagaimana suatu negara mampu mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Pemerintah dalam melakukan politik pangan, dituntut untuk jujur dan bijaksana, serta adil dan berkeadaban dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya.

Kebutuhan bahan pokok pangan bagi rakyat haruslah memenuhi beberapa kriteria dan persyaratan. Yaitu aman (dari paparan dzat berbahaya dan benda asing), cukup (kuantitas dan kualitas), merata (terjangkau semua rakyat), mudah (diakses di segala tempat), bergizi/bernutrisi dan seimbang (memenuhi 7 unsur pangan), serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya. Pangan yang bergizi harus memenuhi 7 unsur dasar bagi kesehatan dan kebugaran manusia. Yakni air, protein, vitamin, mineral, karbohidrat, lemak dan serat.

Belajar dari sejarah, pangan juga bisa dijadikan senjata perang bagi sebuah negara ketika melakukan intervensi atau peperangan terhadap negara lain. Kita bisa belajar dari ambruknya Uni Soviet pada Desember 1991 yang berujung pada pecahnya salah satu negara adidaya menjadi 15 negara. Sebagian pakar ahli berpendapat bahwa negara Barat, terutama Amerika Serikat memegang peranan penting dalam mengacaukan harga dan stock gandum sebagai makanan pokok rakyat Uni Soviet.

Faktanya pangan (air dan makanan pokok) bisa menjadi senjata perang yang sangat ampuh. Sebab ketahanan nasional suatu bangsa sangat ditentukan oleh ketahanan pangan negaranya. Sebagaimana ungkapan dalam bahasa Jawa : “Weteng wareg, pikiran teteg. Weteng ngelih pikiran lan imane biso malih” (Perut kenyang membuat pikiran tenang. Perut lapar bisa membuat pikiran dan iman terkapar). Sejalan dengan satu riwayat Nabi saw. yang mashur disampaikan oleh para kyai dan ustadz dalam berbagai kesempatan. Nabi saw bersabda bahwa “kefakiran itu dekat dengan kekufuran”.

***

Sebagai bangsa Indonesia, kita wajib bersyukur bahwa wilayah nusantara dianugerahi Allah Tuhan Yang Maha Pemurah memiliki sumberdaya alam yang sangat luar biasa banyaknya. NKRI adalah negara dengan Mega Biodiversitas terbaik dan terbesar di dunia. Berupa ratusan ribu spesies tanaman dan hewan yang hidup dan tumbuh diatas tanah, maupun yang berada di dalam laut, danau dan sungai.

Pasal 33 UUD 1945 menyatakan : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan” (Ayat 1); “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Ayat 2); “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Ayat 3); Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Ayat 4).

Akankah terwujud sebuah kondisi sebesar-besar kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ?
Tentu kita semua mendambakan terwujudnya negara yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Sebagaimana diamanatkan konstitusi negara.

***

Tulisan ini kami selesaikan sambil mendengarkan alunan lagu Iwan Fals yang berjudul ‘Minyak Goreng’ :

Minyak goreng menguap
Hilang dan lenyap di pasar
Semua ibu-ibu menggerutu
Pun bapak-bapaknya sudah barang tentu
Kocar-kacir di pasar-pasar

Aneh rasanya kok bisa hilang
Kalaupun ada harganya selangit
Usut punya usut ternyata ditimbun
Oleh siapa ?
Konon oleh tujuh konglomerat tambun

Aku kesal kok konglomerat tega
Aku resah kok polisi tak berdaya
Aku marah kok pemerintah begitu mudah dipermainkan
Aku geram kok kasus itu terus berulang
Ini seperti tikus mati di lumbung padi

*

Bahan kita banyak, sawit jutaan hektar
Lalu kenapa hilang dan menghilang
Dasar mafia, masa bodoh orang susah
Mungkin mafia dan aparat ada main
Pura-pura hilang tapi diumpetin

Kok susah amat memberantasnya
Tembak saja atau hukum seumur hidup
Jera…jera…jera ?
Ah belum tentu lho…

Wallahu’alam
Kendal, 15 Maret 2022

Penulis : Khafid Sirotuddin (Pemerhati pangan, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PWM Jateng)

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE