Menemukan Akidah Muhammadiyah di Antara Asy’ariyah dan Atsariyah
Menemukan Akidah Muhammadiyah di Antara Asy’ariyah dan Atsariyah (Tulisan untuk menyambut Musywil Tarjih Klaten 8-9 November 2024)
Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah. Cendekiawan muslim)
Bagian Pertama
Komparasi Akidah Asy’ariyah dan Atsariyah
Muhammadiyah dan Ahlussunnah
Pada tanggal 8-9 November 2024, MTT PW Muhammadiyah Jawa Tengah akan mengadakan Musywil Tarjih di Klaten. Salah satu yang diangkat adalah mengenai akidah Muhammadiyah. Majelis Tarjih telah banyak menyelesaikan rumusan putusan mengenai pandangan keagamaan, hukum Islam, akhlak, hingga manhaj, namun masalah akidah masih belum secara utuh terumuskan. Hal itu sering menjadi perbincangan, baik di kalangan ulama Muhammadiyah hingga grassroot. Muncul pertanyaan apakah Muhammadiyah itu Ahlussunnah dan apakah Muhammadiyah penganut Asy’ariyah atau Salafi.
Sementara ini, pernyataan mengenai akidah yang paling dasar memang ada di HPT, yang bisa menjadi titik tolak dalam memahami akidah Muhammadiyah. HPT adalah dokumen keagamaan paling jelas dan mu’tamad di Muhammadiyah, tetapi pandangan teologis Muhammadiyah tidak terbatas referensinya pada HPT. Beberapa pandangan mengenai teologi dan pendekatannya dapat ditemukan pada fatwa-fatwa Tarjih, pokok-pokok Manhaj Tarjih, Sejarah Pengaruh Pemikiran di Muhammadiyah dan pandangan dasar Persyarikatan yang diwarnai oleh purifikasi dan dinamisasi. Semua itu menjadi referensi yang harus dipertimbangkan ketika berbicara mengenai akidah Muhammadiyah.
Dalam acara pra-Musywil Tarjih oleh MTT Jawa Tengah yang diselenggarakan secara online pada 19 September 2024, muncul pandangan-pandangan berbeda mengenai akidah Muhammadiyah. Ada yang berpendapat bahwa akidah Muhammadiyah 90% adalah Asy’ariyah. Ada yang berpendapat HPT mengakomodasi akidah Asy’ariyah, Maturidiyah, dan Hambali/ Salafi/ Wahabi. Perbedaan pendapat ini patut diurai agar terjadi memungkinkan kita untuk melihat akidah Muhammadiyah secara jelas. Uraian itu bisa dilihat dengan menganalisis kelemahan dan kelebihan akidah Asy’ariyah dan Hanabilah dan melihat pandangan keagamaan yang hidup di Muhammadiyah.
Untuk memahami posisi akidah Muhammadiyah, baik secara material maupun metodologis, perlu kiranya diletakkan dalam atas pemahaman mengenai pandangan dua kelompok Ahlussunnah terbesar, yaitu Asy’ariyah dan Atsariyah. Dengan memahami pandangan keduanya, maka kita bisa melihat dimana posisi akidah Muhammadiyah yang tertuang dalam dokumen-dokumen Tarjih yang ada.
Dengan titik tolak tersebut, kita bisa dengan tenang memeriksa plus dan minus akidah Asy’ariyah maupun Atsariyah. Kedua akidah ini menjadi akidah dominan di kalangan Muslim Sunni di Indonesia saat ini, yang terkadang menimbulkan polemik.
Plus dan Minus Akidah Asy’ariyah dan Atsariyah
1. Pandangan Asy’ariyah
Akidah Asy’ariyah adalah akidah terbesar pengikutnya di dunia. Asy’ariyah didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari, seorang pengikut madzhab Syafi’i dan berteologi Mu’tazilah. Aliran Asy’ariyah adalah aliran Kalam, yaitu aliran akidah yang menggunakan logika untuk mempertahankan petunjuk Nash. Kebenaran pernyataan setiap premis ditentukan oleh kesesuaian dengan Nash, namun validitas hubungan antar premis ditentukan melalui penyimpulan logis.
Meski mengklaim diri telah mengikuti jalan Ahmad bin Hanbal atau kalangan muhadditsin, tetapi teologi Asy’ariyah tidak menggunakan pemahaman nash secara tekstual sebagaimana kalangan Hambali dan Atsariyah. Al-Asyari juga mengembangkwn sifat-sifat wajib bagi Allah, yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Ibnu Kullab. Sifat wajib itu awalnya 7 lalu berkembang menjadi 13, dan yang populer adalah 20. Dengan menambahkan 20 sifat mustahill bagi Allah, dan 1 sifat Jaiz, serta ditambah 4 sifat wajib bagi Nabi Muhammad, 4 sifat mustahil bagi Nabi, dan 1 sifat Jaiz maka akidah Asy’ariyah muta’akhkhirin sampai kepada rumusan Akidah 50.
Dalam al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bida’ ia membahas beberapa sifat wajib Allah, yaitu la yusybihu al-makhluqat, wahid, alim, Qadir, sami’, Bashir, hayyun, ilmu, ru’yah, iradah, qudrah, Kalam, mutakalliman, muridan, qadim, Khaliq. Selain masalah sifat, al-Luma’, juga membahas mengenai ta’dil, iman, wa’d dan wa’id, dan imamah. Kitab inilah yang banyak diikuti oleh kalangan Asy’ariyah belakangan.
Namun, dalam al-Ibanah an Ushul al-Diyanah bahasan sifat-sifat tersebut belum banyak diuraikan. Yang dibahas adalah tentang melihat Allah dengan mata (menolak pendapat Mu’tazilah), tentang Alquran adalah Kalamullah bukan makhluk (menolak pendapat Muktazilah dan Jahmiyyah), tentang masalah istiwa’ Allah di Arsy, tentang wajh, dua mata, bashar dan dua tangan, tentang penolakan terhadap pandangan Jahmiyyah yang menolak sifat-sifat Allah (ilmu, qudrah, hayah, sam’, bashar atau alim, qadir, hayy, sami’, dan bashir), tentang iradah, tentang taqdir, syafa’ah, haudl, azab kubur, dan Imamah Abu Bakar.
Baca juga, Pentingnya Memahami Agama sebagai Sarana Menuju Tuhan
Pada perkembangannya, akidah Asy’ariyah mencoba memperkuat akidah dengan dalil-dalil syar’i maupun dalil-dalil aqli. Hal itu didasari satu pemahaman bahwa penyimpulan logis melalui qiyas burhani memiliki derajat kesimpulan yang qath’i sehingga bisa menguatkan dalil-dalil syar’i yang qath’i. Untuk menyelaraskan berbagai premis akidah dalam Nash, maka kalangan Asy’ariyah menempuh jalan ta’wil agar makna satu Nash mengenai sifat atau perbuatan Allah tidak dipahami kontradiksi dengan makna sifat lain dalam nash berbeda.
Al-Ghazali dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad mengatakan bahwa jamaah al-Haqq wa Ahlussunnah dipilih oleh Allah dan diberi kekhususan salah satunya dengan kemampuan menggabungkan (talfiq) antara tuntutan syariat dan keharusan menurut akal. Karena tidak ada pertentangan antara syariat yang manqul (berdasar riwayat) dengan kebenaran yang berdasar akal.
Pandangan al-Ghazali ini sebenarnya disetujui oleh Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah menolak adanya pertentangan akal yang jelas dengan naql atau nash yang sahih. Bedanya, Ibnu Taimiyah menolak logika sebagai alat yang tidak membawa pengetahuan baru, sebagaimana ia bahas dalam al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin, sedangkan al-Ghazali meyakini logika itu menjadi keahlian yang dibutuhkan dalam keilmuan, sebagaimana ia terangkan dalam pendahuluan kitab al-Mustashfa.
Konsekuensi dari pemahaman rasional berimbas kepada penggunaan ta’wil dalam perkara akidah. Bagi kalangan Asy’ariyah, ta’wil itu diperlukan untuk mensinkronkan antara pemahaman nash yang satu dengan yang lain. Validitas argumentasi rasional terletak prinsip nonkontradiksi dalam penyimpulan dari premis-premis atau antara satu argumentasi dengan argumentasi lainnya. Contoh, pemahaman lafal yadullah (tangan Allah) dalam Alquran. Penerimaan terhadap makna dzahir atas kata “tangan Allah” di atas beresiko bertentangan dengan sifat Allah laisa kamitslihi syai’ (tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya). Untuk itu, Kalangan Asy’ariyah menempuh jalan takwil dengan memaknai yadullah sebagai qudratullah (Kuasa Allah).
Akidah Asy’ariyah adalah teologi yang mapan sehingga memiliki sumber textbooks yang lengkap. Kitab-kitab Asy’ariyah ada yang diperuntukkan untuk pemula, seperti Aqidatul Awam, Jauharatut Tauhid, Jawahirul Kalamiyah, Kifayatul Awam, dan Samarqandi, hingga yang berargumentasi tinggi, seperti Hasyiyah al-Sanusi karya al-Dasuqi atau al-Baijuri, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, al-Inshaf, al-Mawaqid, al-Irsyad, dan Husnul Hamiduyah.
Karya-karya mutakhir Asy’ariyyah berkisar mengenai penjelasan dan pembelaan kesempurnaan Allah dalam 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil dan 1 sifat jaiz. Menurut Husain bin Muhammad al-Jisr dalam al-Hushun al-Hamidiyyah, istilah wajib, mustahil, dan Jaiz ini mengacu kepada hukum akal, yaitu bahwa menurut akal tidak mungkin Allah tidak memiliki 20 sifat wajib, mustahil Allah memiliki 20 sifat mustahil, dan boleh bagi Allah disifati dengan 1 sifat jaiz. Karena bahasannya bersifat Kalam, maka banyak argumentasi logis dikemukakan pada karya-karya Asy’ariyah yang level tinggi dalam menguraikan sifat-sifat Allah tersebut.
Karena tema-temanya akidah Asy’ariyah mengarah kepada penghayatan tentang Tuhan hingga perbuatan manusia serta melihat Allah, maka akidah ini disukai kalangan teolog, sehingga Abu Ishaq al-Syirazi menyebut kalangan Asy’ariyah sebagai mutakallimin (teolog). Akidah ini juga disukai ahli sufi, sehingga al-Muhasibi dan al- Qusyairi termasuk penganjur dan pembela akidah Asy’ariyah.
Kelebihan akidah Asy’ariyah terletak pada pada penggunaan dalil-dalil qath’i. Untuk memperoleh kesimpulan yang qath’i diperlukan premis-premis yang qath’i dan proses penyimpulan yang valid. Penggunaan logika untuk mempertahankan iman menjadikan akidah Asy’ariyah sesuai untuk perdebatan lintas agama dan kepercayaan karena logika itu diterima secara umum sebagai alat berpikir.
Kelemahan akidah Asy’ariyah dalam sudut pandang purifikasi adalah kurangnya kritisisme kepada praktik keagamaan yang rentan menimbulkan khurafat. Hal itu terjadi karena akidah ini lebih banyak berisi perenungan tentang Tuhan dan bagaimana nasib serta perbuatan manusia dikaitkan dengan kehendak Tuhan. Akibatnya, penganut Asy’ariyah terkadang kurang bisa mendukung purifikasi keagamaan.
2. Akidah Ats’ariyah
Akidah Ats’ariyah yang diperjuangkan Ahmad bin Hanbal berakar dari penolakannya atas pendapat Mu’tazilah bahwa Alquran adalah makhluk. Berdasarkan petunjuk Alquran, Ahmad bin Hanbal bersikeras bahwa Alquran adalah kalamullah, bukan makhluk. Tetapi ia tidak melanjutkan diskusi lebih lanjut. Namun, diskusi tersebut membawa kepada pembahasan masalah sifat-sifat Allah.
Bahasan itu diteruskan kalangan Hanabilah, seperti Abu Ya’la al-Farra’, Ibnu Rajab Ibnu Qudamah, hingga Ibnu Taimiyah. Abu Ya’la al-Farra’ menulis Kitab Ibthal al-Ta’wil dan al-Mu’tamad fi Ushul al-Din. Dalam Ibthal al-Ta’wil dia menegaskan keharusan beriman dengan sifat-sifat Allah. Namun, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Aby Ya’la menolak tasybih atau penyamaan sifat Allah dengan sifat manusia. Menurut Abu Ya’la, kita tidak boleh pula menolak sifat-sifat Allah yang jelas ditunjukkan Alquran dan sunnah, namun tidak boleh pula menyibukkan diri dengan ta’wil, sebagaimana dilakukan oleh Asy’ariyyah. Yang wajib adalah menerima sifat Allah secara lahiriyah, tanpa tasybih.
Pendapat ini didukung oleh Ibnu Qudamah dalam Tahrim al-Nadzar fi Kutub al-Kalam. Ibnu Qudamah menegaskan bahwa iman ulama Hanabilah adalah semata-mata berdasarkan lafal yang tidak diragukan kesahihannya. Yang Berfirman lebih tahu dengan makna atau pesan nash sehingga Nash seyogyanya diimani menurut bunyi lafal-lafal yang Dia kehendaki, tanpa memerlukan tasybih.
Abu Ya’la dalam al-Mu’tamad fi Ushuluddin membagi sifat-sifat Allah ke dalam sifat dzatiyah dan sifat ma’nawiyyah. Sifat dzatiyah jika ditiadakan maka meniadakan dzat Allah, namun sifat ma’nawiyyah tidak demikian. Sifat dzatiyah, seperti qudrah, ilmu, hayah, orasah, idrak, sama, bashar, dan Kalam. Sifat ma’nawiyyah seperti mudrik, ghani, mutakalim, Amir, hayyun,sama’, Bashir, mudrik, nahi, dan mukhbir. Selain itu ada sifat yang muncul dari perbuatan Allah, seperti raziq, mukhbir, Muhyi, muhdits, Mujid, mu’aqib dll. Jadi, sifat Allah tidak dibatasi dengan 20 sifat. Dalam al-Ibthal, Abu Ya’la membahas mengutip sifat Allah seperti al-kaff, al-basth, al-ashabi’ (jari jemari), ainain (dua mata) haya’ (malu).
Penegasan terhadap penolakan makna batin atau makna lain di balik makna lahiriyah dikemukakan oleh beberapa ulama Hanabilah. Ibnu Taimiyah menolak bahwa Alquran memiliki makna lahir dan makna batin, sebagaimana dianut sebagian kalangan Syiah Imamiyah. Makna batin Alquran hanya diketahui oleh para imam.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa makna dasar Alquran adalah makna lahiriyah. Apabila makna lahiriyah tersebut terkait dengan sifat-sifat Allah, ia mengikuti pendapat yang dinisbatkan kepada Imam Malik.
Contoh Allah istawa ‘ala al-Arsy (Allah bersemayam di Arsy). Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa:
istiwa’ ma’lum = Istiwa’ itu bisa dipahami
al-Kaif majhul = cara Tuhan istiwa’ tidak diketahui
al-iman wajib = meyakini istiwa’ Tuhan wajib hukumnya
al-su’al bid’ah = mempertanyakan tentang istiwa’ adalah bid’ah
Ia menguraikan tentang masalah takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat itu secara panjang lebar dalam al-Tafsir al-Kabir. Ayat-ayat mutasyabihat hanya Allah yang mengetahui takwilnya. Tetapi Ibnu Taimiyah dalam Al-Tafsir al-Kabir (Jilid 2) berpendapat bahwa sifat-sifat Allah bukan perkara mutasyabihat. Menganggap ayat terkait sifat Allah sebagai ayat mutasyabihat menjadikan ayat tersebut seperti bahasa Ajam atau asing, padahal jelas Ahmad bin Hambal menolak ta’thil (penafian sifat Allah) yang dianut Jahmiyah. Imam Ahmad bin Hanbal menerima nash menurut petunjuk lahirnya sebagaimana ia menerima nash-nash tentang janji dan ancaman Tuhan. Karena itu, ta’wil oleh ulama muta’akhirin ia pandang sebagai tahrif (perubahan) yang batil.
Kelebihan akidah Ats’ariyah adalah kejelasan dalam kesederhanaannya. Akidah Ats’ariyah lebih menekankan pada penerimaan penjelasan Nash mengenai sifat Allah dan hal-hal terkait keyakinan. Akidah ini lebih sesuai untuk upaya purifikasi pemahaman agama dan pencegahan terhadap khurafat. Akidah ini juga membatasi dari perdebatan teologis yang rumit.
Dalam kelebihan itu pula terdapat kelemahan akidah Ats’ariyah. Karena mengatasi penggunaan nalar, maka pemaknaan yang dirasa bisa menimbulkan kontradiksi kurang mendapatkan penjabaran yang memadai. Selain itu, akidah ini kurang melakukan seleksi mengenai masalah akidah yang pokok dan yang cabang karena tidak hanya menggunakan dalil qath’i saja, melainkan juga dalil dzanni. Akibatnya, banyak persoalan yang seharusnya menjadi bahasan fiqih atau guru diposisikan sebagai masalah akidah sehingga rawan membawa kepada takfir kepada sesama muslim. Akidah ini kurang luwes untuk diskusi atau debat antar keyakinan karena penekanan pada nash, yang tentu ditolak otoritasnya oleh selain muslim
Editor : M Taufiq Ulinuha