Berita

MENELADANI KEJUJURAN NABI MUHAMMAD SAW

Oleh Wahyudi (Sekretaris PWM Jawa Tengah)

          KINI kejujuran merupakan barang yang langka, dan sulit ditemukan.  Pada hal untuk membangun negeri ini sangat dibutuhkan kejujuran, bukan hanya kecerdasan dan kepandaian belaka. Negeri ini kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Tanahnya subur, sumber daya alam melimpah, dan banyak orang pintar. Mulai masa orde lama, orde baru, sampai sekarang orde reformasi. Persoalan kebangsaaan dan keumatan tidak pernah tuntas. Bahkan banyak kasus yang mencuat di negeri ini dan akhirnya dipetieskan. Barangkali karena di negeri ini sulit ditemukan meski secercah kejujuran. Oleh karena itu, saya rasa meneladani kejujuran nabi Muhammad SAW adalah suatu keniscayaan. Sebagaimana yang disitir dalam al-Qur’an: Sesungguhnya kamu (Muhammad) memiliki akhlak yang mulia (al-Qolam: 4)

Gelar Al-Amin

            Nabi Muhammad dalam perjalanan hidupnya, dari masa kanak-kanak hingga dewasa terkenal sebagai orang yang berhati jujur, berbudi pekerti luhur, dan mempunyai kepribadian yang tinggi. Tak ada suatu perbuatan dan tingkah lakunya yang tercela yang dapat dituduhkan kepadanya. Ia benar-benar memiliki kepribadian yang mulia, berlainan sama sekali dengan tingkah laku dan perbuatan kebanyakan pemuda dan penduduk kota Mekah pada umumnya yang gemar berfoya-foya dan suka bermabuk-mabukan. Karena begitu jujur dalam perkataan dan perbuatannya, maka masyarakat memberi gelar Muhammad dengan sebutan “al-Amin”, yang berarti orang yang dapat dipercaya.

            Kaum orientalis Barat mengatakan bahwa gelar “al-Amin” itu diambil dari nama ibunya, Yaitu Aminah. Namun apabila diteliti dengan seksama pendapat tersebut ternyata tidak memiliki dasar yang kuat. Sebab pemberian nama atau gelar pada seseorang dengan nama ibu adalah tidak lazim bagi bangsa Arab. Tidak mustahil ada motif-motif tertentu pada sementara kaum orientalis, yakni hendak menghapus dan mengaburkan sifat-sifat jujur dan pribadi luhur yang memancar pada sosok diri Nabi Muhammad.

            Namun, anggapan sementara kaum orientalis tersebut dibantah oleh Mansuer Sadilo, bahwa; karena baiknya perjalanan hidup dan bagusnya akhlak Muhammad terhadap masyarakat, beliau pada usia 25 tahun diberi gelar al-Amin. Sedangkan William Muir mengatakan bahwa Muhammad diberi gelar al-Amin dengan suara bulat oleh seluruh penduduk negerinya karena kemuliaan akhlaknya.

Berkolaborasi dengan Khadijah

            Pada masa dewasa, Muhammad sudah mulai berusaha sendiri dalam penghidupannya. Tetapi walaupun demikian, pamannya Abu Thalib tak segan-segan mencarikan lapangan pekerjaan baru yang lebih baik baginya. Pada waktu itu tersiar berita bahwa Khadijah, seorang wanita saudagar kaya, hendak mengirimkan barang-barang dagangannya ke Syiria. Khadijah terkenal sebagai seorang yang kaya raya, di samping sukses yang ia capai dalam usaha dagangannya, ia juga seorang janda dua kali dari Abu Hilal ibnu Zurarah at-Tamimi dan Atiq Aidz al-Makhzumi.

            Setelah lama berpikir, Abu Thalib menemui dan menyarankan Muhammad, untuk mencoba membawakan barang dagangan Khadijah ke Syiria. Muhammad setuju, Abu Thalib lantas menghubungi Khadijah dan mengajukan permintaan kepadanya agar ia sudi menerima anak saudaranya itu sebagai salah seorang yang membawa barang dagangannya ke syiria. Abu Thalib mengajukan permohonan agar upah yang diberikan kepada Muhammad nanti bukan 2 ekor anak unta, tetapi 4 ekor anak unta. Permintaan Abu Thalib itu dikabulkan oleh Khadijah. Bahkan ia mengatakan seandainya permintaan Abu Thalib itu untuk orang lain akan dipenuhinya juga, apalagi permintaan itu untuk anak saudaranya sendiri, yang sudah dikenalnya betapa tinggi dan mulia akhlaknya, yang oleh masyarakat Quraisy diberi gelar al-Amin, orang yang dapat dipercaya.

Berangkatlah Muhammad dari Mekah menuju Syiria ditemani oleh Maisyaroh, karyawan Khadijah, mengiringkan kafilah yang membawa dagangan dan menyusuri padang pasir yang luas dibakar terik matahari. Setelah sampai di kota Syiria, Muhammad menjual barang-barang dagangannya. Barang-barang dagangannya banyak yang laku dan habis terjual. Ia memperoleh laba dan keuntungan yang tidak sedikit. Kemudian ia bertolak menuju Mekah dan tiba kembali di Mekah dengan aman dan selamat. Segera ia melapor kepada Khadijah tentang hasil dagangannya itu dan ia menyerahkan keuntungannya kepada Khadijah dalam keadaan utuh, suatu sikap yang melambangkan kejujuran dan keluhuran pribadi Muhammad. Betapa kagum Khadijah terhadap kejujuran Muhammad. Karena Muhammad sangat terpercaya, menyerahkan semua keuntungan dagangannya, barang dagangan semua terjual habis, seolah-olah Muhammad sudah sangat berpengalaman dalam soal perdagangan.

            Kekaguman Khadijah semakin bertambah mendalam terhadap pribadi Muhammad setelah mendengarkan laporan Maisyaroh yang menyertainya dalam perjalanan niaga itu. Khadijah terkesan sekali dengan tutur kata, sikap, perangai, tingkah laku, dan perbuatan Muhammad selama kelana niaga itu yang kini dituturkan kembali oleh Maisyaroh kepadanya. Akhirnya, perasaan naluri kewanitaannya membersitkan rasa simpati yang mendalam kepada Muhammad. Khadijah sangat mendambakan dirinya hidup di samping Muhammad. Sebelumnya tidak sedikit laki-laki yang melamar Khadijah, tetapi lamaran mereka ditolaknya.

            Suatu hari Khadijah mengutus seorang karyawannya yang bernama Nafisah untuk menyampaikan isi hatinya kepada Muhammad dan pamannya Abu Thalib. Muhammad kemudian membicarakan lamaran Khadijah itu dengan Abu Thalib. Muhammad menerima lamaran Khadijah dan juga Abu Thalib setuju. Demikianlah, akhirnya Muhammad dan Khadijah resmi menikah dengan wali Amru bin al-Asad, paman Khadijah, berhubung ayah Khadijah telah meninggal sebelum meletus perang Fijar. Pada saat itu Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun.

Makna Kejujuran

            Demikianlah penggalan kisah nabi Muhammad, sebagai manusia teladan umat. Kejujuran Nabi Muhammad melahirkan sosok manusia yang terpercaya. Bukan hanya dipercaya oleh Khadijah saja, tetapi oleh masyarakat Quraisy, bahkan masyarakat dunia dari dulu hingga akhir jaman.

 Sebagai umat Muhammad sudah sepantasnya apabila meneladani kejujuran beliau.  Karena melalui kejujuran, akan melahirkan keterbukaan. Dan dari keterbukaan akan melahirkan kepercayaan. Sedangkan percaya identik dengan iman, maka kalau orang yang beriman tidak bisa dipercaya dan membuat orang lain percaya kepadanya, keimananannya tereduksi, mengalami pengikisan keimanan. Dengan demikian kejujuran dan keimanan akan memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan, baik dalam kehidupan bersosial, berpolitik, berbangsa maupun bernegara. Bahkan untuk meyakinkan masyarakat pemilih, pelanggan, maupun rakyat tidak lepas dengan kejujuran dan keimanan.

Untuk mengakhiri tulisan ini, sebaiknya kita renungkan kembali syair Syauqi Bey dari Mesir; ‘Suatu umat akan abadi dan jaya, bilamana budi akhlak masih ada padanya, umat itu akan hancur dan binasa, bila akhlak dan budi telah tiada’. Mudah-mudahan negeri ini masih ditemukan orang-orang yang berakhlak. Dan orang-orang yang masih memiliki kejujuran. Dengan demikian harapan untuk meraih kejayaan negeri ini masih ada. Idealnya kejujuran dan akhlaqul karimah dimulai dari diri kita sendiri, dari keluarga, dan dari persyarikatan ini.(*)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE