Memahami Kaidah Ushuliyah
Oleh : Muhammad Taufiq Ulinuha
Pengertian Kaidah Ushuliyah
Kaidah ushuliyyah secara umum merupakan salah satu bagian dari kajian ilmu ushul fikih dan secara khusus merupakan salah satu bagian dari kajian ilmu kaidah hukum Islam (kaidah syar’iyyah) yang mencakup kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyyah. Kaidah diartikan pula sebagai hukum yang berlaku untuk sebagian besar yang meliputi sebagian besar bagiannya.
Adapun ushuliyyah berasal dari kata al-asl, artinya pokok, dasar atau dalil sebagai landasan. Maka kaidah ushuliyyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode pengambilan hukum. Kaidahushuliyyah disebut juga sebagai kaidah istinbathiyah atau ada juga yang menyebut sebagai kaidah lughawiyyah. Kaidah ushuliyyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesastraan Arab.
Jenis-Jenis Kaidah Ushuliyah
1. Amm dan Khash
a. Pengertian Amm
Lafal ‘am (umum) ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Hakikat dari lafal ‘am adalah pertama, lafaz itu hanya terdiri dari satu pengertian secara tunggal. Kedua, lafaz tunggal itu mengandung beberapa afrad (satuan pengertian). Ketiga, lafaz yang tunggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertiannya secara sama dalam penggunaannya. Keempat, bila hukum berlaku untuk satu lafaz, maka hukum itu berlaku pula untuk setiap afrad (satuan pengertian) yang tercakup di dalam lafaz itu.
b. Lafal-lafal Umum
Penelitian terhadap kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa Arab
menunjukkan bahwa lafal-lafal yang dicetak secara kebahasaan dapat menunjukkan suatu keumuman dan mencakup seluruh satuan-satuannya, di antaranya ialah sebagai berikut: Lafal kullu (tiap-tiap) dan lafal jami’ (semua)
كُل رَاعٍ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
2. Lafal mufrad (kata benda tunggal) yang dimakrifatkan dengan alif lam untuk memakrifatkan jenis, misalnya:
الزانية والزاني
Pezina perempuan dan pezina laki-laki….” (QS. An-Nur/24:2)
Namun para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah ada lafaz tertentu yang digunakan untuk menunjukkan bahwa lafaz itu adalah ‘am. Secara garis besar ada dua pendapat, yaitu :
1) Pendapat jumhur ulama yang mengatakan tidak dapat langsung mengamalkan lafaz ‘am tetapi harus mencari dalil yang men-takhshishkannya. Namun dalam golongan ini terdapat pula perbedaan tentang batas-batas pencarian dalil yang mentakhshishkannya sebelum beramal dengan lafaz ‘am itu. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa cukup sampai batas dengan “dugaan kuat” tentang tidak adanya dalil takhshish. Sedangkan menurut golongan lainnya, harus sampai batas meyakinkan bahwa memang tidak ada dalil yang mentakhshishkannya.
2). Pendapat yang mengatakan bahwa harus mengamalkan lafaz ‘am setelah mengetahui adanya lafaz tersebut tanpa menunggu adanya penjelasan yang mentakhshishnya.
c. Kaidah kaidah Aam
1. Aam Syumuli dan Badali
العام عمومة شمولِي وَعَمُومُ المُطلق بدلي
Aam itu keumumannya bersifat syumuli (menyeluruh), sedangkan umum muthlaq itu bersifat badali (mengganti).
2. Perbuatan Tetap yang Memiliki Bagian
الفعل المنبت إذا كان له أقسام فليس بعام في أقسامه
Pekerjaan yang sudah tetap dilakukan jika memiliki bagian bagiannya maka jangan dipahami umum pada bagian-bagiannya. Kalau lah suatu perbuatan itu sudah menjadi sifat yang khusus, Jika sudah dikenal maka itulah yang dimaksud, tetapi jika tidak dikenal maka perbuatan itu masih bersifat mujmal.
3. Lafazh yang Umum Sebab yang Khusus
Dalam memandang (mengambil kesimpulan hukum) itu dilihat lafazhnya yang umum, bukan sebabnya yang khusus.
4. Al-Muqtadhi
التقاضي لاغنوم لة
Al-muqtadhi itu tidak dipandang umum. Kaidah ini merupakan pendapat jumhur. Yang dimaksud muqtadhi dalam konteks ini adalah lafazh yang menunjukkan kepada ketersembunyian (idhmar). Maksudnya, bahwa lafazh itu tidak ada melainkan dengan menyembunyikan sesuatu. Sedangkan yang. disembunyikan pada lafazh itu ada beberapa maksud. Apakah harus diperkirakan semua yang disembunyikan itu atau cukup dengan salah satunya Yang diperkirakan itu disebut dengan muqtadha.
5. Membuang Ma’mul
حدت المعمول بقية العموم
Membuang ma’mul (objek) berarti menunjukkan kepada yang umum. Kaidah tersebut juga diterangkan oleh ulama bayan.
6. Menyebut Sebagian Jenis Hukum yang Umumُ
يخصصح العام أفرد بعض ذكر
Menyebut bagian yang umum beserta hukumnya tidak berarti mengkhususkannya.
7. Aam setelah Takhshis
المعالم بعد التخصيص حُجَّةًفي الباقي
Umum setelah takhshis (pengkhususan) menjadi hujjah bagi yang sisanya. Alasannya, karena tuntutan untuk mengamalkannya untuk sisa yang ada, yaitu yang ditunjukan oleh lafazh. Ketika ada yang menuntut dan tidak ada yang menghalangi maka wajib ditetapkan hukum.
8. Khithab yang Khusus untuk Umat Perkataan yang dikhususkan kepada seorang umat harus dipandang umum kecuali ada dalil yang mengkhususkan
d. Pengertian Khas
Lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama ushul fiqh sepakat, bahwa lafal khas dalam nash syara’, menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain. Contoh lafal khas adalah surah al-Maidah (5) ayat 89.
Maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka.
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafal khas dalam Al-Qur’an, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain seperti makna majazi (metafora).
Apabila ditemukan perbenturan antar dalil khas dengan ‘am, terdapat perbedaan pendapat:
a. Menurut ulama Hanafiyah, seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya, maka dalil yang khas men-takhshish-kan yang ‘am, karena tersedianya persyaratan untuk takhshish. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya disini ada dua kemungkinan:
1. bila lafal ‘am terkemudian datangnya, maka lafal ‘am itu me-nasakh lafal khas;
2. bila lafal khas yang terkemudian datangnya, maka lafal khas itu menasakh lafal ‘am dalam sebagian afrad-nya.
b. Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya perbenturan antara dalil ‘am dengan dalil khushush karena keduanya bila datang dalam waktu bersamaan maka yang khas memberi penjelasan terhadap yang ‘am, karena yang umum itu adalah bentuk zahir yang tetap ber- kemungkinan untuk menerima penjelasan di samping untuk dia- malkan menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalil khas. Lafal khas itulah yang menjelaskan lafal ‘am.
2. Amr dan Nahyi
a. Pengertian Amr
Menurut mayoritas ulama ushul fiqh, amar adalah suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang kedudukannya lebih tinggi kepada pihak yang tingkatannya lebih rendah.
b. Kaidah Kaidah Amr
- Al-Ashl fi al-amr lil wujub (asal dari perintah adalah wajib)
- Dilalah al-amr ‘ala al-tikrar aw al-wahdah (suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?)
- Dilalah al-Amr ‘Ala al-Fauri al-Tarakhi (suatu perintah haruskah dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda-tunda?)
c. Pengertian Nahyi
Secara ringkas, al-nahy adalah larangan melakukan suatu perbuatan, yang muncul dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah.
d. Kaidah Kaidah Nahyi
- Al-Ashl fi al-Nahy al-Tahrim (pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram)
- Al-Ashl fi al-nahy yathliq al-fasad muthlagan (suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan).
- Al-Nahy ‘an al-Syai amr bididdihi (suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya)
Fungsi dari Kaidah Ushuliyah
Kaidah ushuliyah adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk memahami hukum-hukum mengenai perbuatan manusia yang ada dalam nash.
Al-Qur’an dan Hadis. Berikut adalah beberapa fungsi kaidah ushuliyah:
- Sebagai pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum.
- Sebagai sarana untuk melakukan istimbath hukum syara yang bersifat amaliyah.
- Sebagai dasar untuk menentukan hukum-hukum syara’ yang bersifat umum.
- Sebagai alat untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dalam masalah hukum.
- Sebagai alat untuk menentukan hukum-hukum syara’ yang bersifat khusus.
- Sebagai alat untuk menentukan hukum-hukum syara’ yang bersifat mutlak.
- Sebagai alat untuk menentukan hukum-hukum syara’ yang bersifat analogis
- Sebagai alat untuk menentukan hukum-hukum syara’ yang bersifat relatif.
- Sebagai alat untuk menentukan hukum-hukum syara’ yang bersifat kausal.
- Sebagai alat untuk menentukan hukum-hukum syara’ yang bersifat istihsan.
Dalam penerapannya, kaidah ushuliyah harus disesuaikan dengan konteks sosial masyarakat agar dapat digunakan secara tepat dan sesuai dengan kebutuhan.
Referensi
ad-Darini, F. (1985). Al-Manahij Al-Ushuliyyah fi al-Ijtihadi bi Ra’y. Damsyiq: Dar al-Kitab.
ad-Dawalibi, M. M. (1965). Ilmu Ushul al-Fiqh. Damsyiq: Darul Kitab.
Asy-Syafi’I, A. M. (1983). Ushulul Fiqh Al-Islami. Mekah: Darusy Syurq.
Az-Zuhaili, W. (1995). Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Damsyiq: Dar al-Fikr.
Editor : Ahmad