Masukhi: Ibadah Haji Bukan Sekadar Ritual Fisik, Melainkan Upaya Spiritual untuk Mencari Rida Allah

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah tausiyah penuh hikmah, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Masrukhi, menyampaikan refleksi mendalam tentang asal-usul penciptaan manusia dan makna spiritual ibadah haji. Ia mengajak hadirin menyelami peristiwa metafisis yang terjadi jauh sebelum Nabi Adam As. diciptakan.
Masrukhi mengisahkan, saat para malaikat berkumpul di Arsy, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menyampaikan firman-Nya yang agung: “إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً” (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi) [QS. Al-Baqarah: 30]. Mendengar itu, para malaikat merespons dengan sebuah pertanyaan yang menyerupai keberatan, “أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ” (Apakah Engkau akan menjadikan di bumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?).
Namun, Allah dengan tegas menjawab, “إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ” (Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui). Menurut Masrukhi, para malaikat merasa Allah tengah murka kepada mereka atas respons tersebut. Dalam kekhusyukan dan rasa takut, mereka berkumpul kembali di Arsy, merundukkan diri dan bertawaf mengelilinginya seraya mengucapkan: “Labbaikallahumma labbaik, laa syarika laka labbaik.”
Kisah ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Azraqi, disebut terjadi 2.000 tahun sebelum penciptaan Nabi Adam. Allah kemudian memerintahkan malaikat untuk tidak hanya bertawaf di Arsy, melainkan turun ke bumi, di lokasi yang kelak dikenal sebagai Ka’bah. Peristiwa itu menjadi awal dari prosesi tawaf yang hingga kini dijalankan oleh umat Islam dalam ibadah haji.
Masrukhi menegaskan, makna utama ibadah haji bukan sekadar serangkaian ritual fisik, tetapi upaya spiritual untuk mencari rida Allah. “Jemaah haji menjalani rangkaian ibadah mulai dari tawaf, sa’i, hingga wukuf di Arafah dalam kondisi cuaca panas dan penuh tantangan, semata-mata untuk mendapat rida-Nya,” ungkapnya.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ, “الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ” (Haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga) [HR. Bukhari dan Muslim].
Baca juga, Meneguhkan Dakwah Berkemajuan: Strategi Muhammadiyah Mencerahkan dan Memberdayakan Umat
Dalam suasana spiritual yang dalam, jemaah haji kerap menemukan kembali jati dirinya sebagai hamba Allah. Mereka merunduk, menangis, dan mengakui dosa-dosa masa lalu di hadapan-Nya. Menurut Masrukhi, itulah momen puncak dari penghambaan sejati.
Ia juga mengutip pemikiran Ali Syariati, penulis dan pemikir Muslim asal Iran, yang menyatakan bahwa pakaian ihram—yang serba putih dan tidak berjahit—adalah simbol pakaian kemanusiaan. “Pakaian itu menggambarkan ketulusan, kepasrahan, dan ketaatan mutlak kepada Allah,” kata Masrukhi mengutip Syariati.
Namun, menurut Syariati, dalam kehidupan sehari-hari, manusia seringkali melepaskan pakaian kemanusiaannya dan mengenakan “pakaian kebinatangan”. Ia menggambarkan beberapa karakter: pakaian tikus (licik dan egois), pakaian singa (haus kekuasaan dan serakah), serta pakaian kambing (pasrah pada kebatilan dan kezaliman tanpa perlawanan).
Masrukhi mengajak para jemaah dan umat Islam di tanah air untuk kembali mengenakan pakaian kemanusiaan itu—yakni pakaian ihram secara maknawi. “Putih bersih pakaian kita harus menggambarkan putih bersih hati kita. Dalam keseharian, kita harus terus berikhtiar tunduk, runduk, dan hanya berbuat kebajikan semata-mata karena Allah,” katanya.
Ia menutup tausiyahnya dengan doa agar seluruh jemaah haji mendapat predikat haji mabrur, serta umat Islam di tanah air terus dibimbing Allah melalui renungan-renungan spiritual ihram. “Semoga kita semua senantiasa berada dalam jalan kebaikan dan penghambaan sejati kepada-Nya,” pungkasnya.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha