Khazanah Islam

KH. Tafsir : IPTEK Adalah Instrumen Memahami Syariah

PWMJATENG.COM, Semarang – Muhammadiyah sebagai organisasi Islam sejak awal berdirinya hingga sekarang, senantiasa mengusung dakwah pembaharuan yang progresif (tajdid berkemajuan). Di mana tajdid berkemajuan sendiri dapat diartikan sebagai upaya pembaharuan (purifikasi dan modernisasi) dalam berbagai segmen kehidupan sosial dan beragama. Hal tersebut disampaikan Ketua PWM Jawa Tengah Dr. KH. Tafsir, M.Ag. dalam Kajian Tarawih di Masjid At-Taqwa Muhammadiyah Jawa Tengah, Sabtu (25/03/2023).

Lebih lanjut, Kiai Tafsir menyampaikan bahwa beberapa bentuk tajdid berkemajuan yang dilakukan Muhammadiyah, di antaranya pada konteks :

1) Zakat Fitrah

Dalil Zakat Fitrah menegaskan bahwa Zakat Fitrah dilakukan dengan menggunakan kurma dan anggur.


كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ ، وَالزَّبِيبُ ، وَالْأَقِطُ ، وَالتَّمْرُ  (رواه البخاري 1510 ومسلم 985).

“Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama, kami mengeluarkan zakat fitrah pada hari raya Idul fitri berupa satu sha’ makanan. Ketika itu makanan pokok kami adalah gandum, anggur kering, keju dan kurma.” (HR. Bukhari, No. 1510. HR. Muslim, No. 985).

Muhammadiyah menyesuaikannya dengan kondisi sosio-kultur dan budaya bangsa Indonesia. Yang kemudian mengganti kurma dan anggur dengan beras.

Selain itu, perhitungan Zakat Fitrah yang pada dalil aslinya adalah 1 mud. Kemudian dengan ijtihad para ulama, Indonesia meyakini jumlahnya adalah 2,5 Kg. Hal ini disebabkan ukuran 1 mud di Arab, berbeda dengan kondisi masyarakat di Indonesia.

Baca juga, Berbeda Awal Ramadan atau Syawal, Ketua PWM Jateng : Tidak Perlu Ada Pertentangan!
2) Penentuan Awal Waktu Salat

Dalil penentuan awal waktu salat yakni menggunakan tanda-tanda alam. Misalnya dalil tentang waktu Salat Zuhur.

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيْلِ وَقُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra : 78)

Pada ayat di atas, dijelaskan bahwa waktu Salat Zuhur dimulai sejak tergelincirnya matahari, otomatis ketika seorang muazin akan mengumandangkan azan harus melihat posisi matahari, apakah sudah tergelincir atau belum. Hal ini tentu akan lebih mudah ketika melihat jadwal salat yang sudah ditentukan menggunakan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

“Tidak cukup hanya dengan Qur’an Hadis, namun bagaimana Qur’an Hadis dilengkapi dengan instrumen ilmu pengetahuan dan teknologi,” tegas Kiai Tafsir.

Menurut Doktor Studi Islam UIN Walisongo Semarang ini, terdapat dua hal penting di dalam tajdid berkemajuan.

  1. Islam dikontekstualisasikan dengan ruang dan waktu.
  2. Menggunakan IPTEK untuk memahami syariah.

“Bukan Qur’an dan Hadisnya yang kita perbaharui, namun pemahaman kita terhadap Qur’an dan Hadis yang diperbaharui. Mengapa demikian? Karena zaman terus berjalan, namun Al-Qur’an dan Hadis sudah final. Islam seragam sebagai syariah, namun beragam pada pemeluk-pemeluknya,” pungkas Tafsir.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammad Taufiq Ulinuha

Pemimpin Redaksi PWMJateng.com, Redaktur Rahma.ID.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE