Kolom

Kampus dan Krisis Legitimasi

Oleh : Gus Zuhron Arrofi*

PWMJATENG.COM – Istilah krisis legitimasi pertama kali diperkenalkan oleh seorang sosiolog sekaligus filsuf bernama Jurger Habermas. Sosok dengan disiplin akademik tinggi dan berkebangsaan Jerman. Teori yang lahir sekitar awal tahun 70an tampaknya masih cukup relevan untuk membaca situasi hari ini. Pada awalnya teori ini digunakan hanya dalam kontek politik, namun dikemudian hari merambah pada wilayah administrasi, lembaga dan kepemimpinan. Habermas mencoba mengajukan sebuah tesis bahwa ketika sebuah lembaga tidak mampu menciptkan struktur organisas yang dapat secara efektif bekerja untuk mencapai tujuannya maka lembaga itu mengalami bencana awal, apalagi kelumpuhan itu ditambah dengan hilangnnya kepercayaan publik.

Dalam konteks perguruan tinggi ada tiga fakta menarik yang perlu perhatian serius jika kampus tidak ingin kehilangan fungsi esensinya.

Pertama, jebakan birokrasi dan administrasi. Akreditasi dengan segala perangkatnya dijadikan dalil untuk mengukur kinerja sebuah lembaga, baik dan buruknya akan sangat ditentukan bagaimana penyusunan dokumen itu dapa dibaca sebagai sesuatu yang memukau, meskipun kenyataannya tidak mesti menunjukkan demikian. Dalam sekala individu beban para pengajar yang terjebak pada persoalan rumit administrasi yang tidak mencerdaskan. Segala instrumen rumit itu muaranya adalah pengakuan legitimasi negara.

Kedua, peluang dana hibah baik riset maupun pengabdian yang cukup tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa perguruan tinggi identik dengan dunia penelitian. Akan tetapi jika tidak hati-hati akan menciptakan ketimpangan admosfir akademik yang tidak sehat. Apalagi pemujaan terhadap wilayah riset yang dilakukan secara berlebihan, dosen maupun mahasiswa yang mampu lolos hibah dianggap sangat berprestasi, sedangkan diluar itu tidak cukup mendapatkan apresiasi. Bukankah mahasiswa yang dulu berdarah-darah menjadi parlemen jalanan, melakukan demonstrasi untuk menumbangkan kekuasaan yang otoriter adalah kelompok yang paling menentukan wajah republik ini? Mereka sadar bahwa belajar dibangku kuliah, melakukan riset, pengabdian, mengerjakan tugas dengan cara berselancar dari satu buku ke buku lain akan menghantarkan mereka mampu menata masa depan karir kehidupannya. Namun demonstrasi di jalan, melakukan advokasi, menyuarakan kehendak rakyat adalah cara mereka belajar menata dan menentukan masa depan sebuah negara. Dan saya yakin tidak ada satupun kampus yang berani mengambil kebijakan “demonstrasi bisa menggantikan skripsi”.

Baca juga, Fantastis! Lazismu Jateng Sukses Himpun Kurban RendangMu 193 Ekor Sapi

Ada seorang teman yang berasal dari perguruan tinggi ternama di Indonesia mengeluhkan betapa kualitas pembelajaran di kampus mengalami penurunan, iklim akademiknya rusak, lembaganya tidak terurus, forum diskusi meredup, pelayanan terhadap mahasiswa menjadi sangat buruk dan orientasi para dosen bergeser. Bahkan dengan bahasa yang sangat kasar mengutarakan “ mengajar itu tidak lagi menjadi prioritas karena yang lebih penting mendapatkan dana hibah.” Lebih jauh mengatakan “asal mahasiswa mau membantu penelitian dosennya nilainya pasti mendapatkan angka maksimal, masuk kelas tidak lagi menjadi sesuatu yang penting”. Terkadang ada rasa curiga bahwa merebaknya berbagai dana itu adalah bagian dari skenario negara untuk membungkam kritisisme kampus.

Ketiga, dalam banyak hal kampus selalu tertinggal dengan perkembangan dunia luar yang perubahannya begitu cepat. Kampus tak ubahnya seperti pemadam kebakaran, menjadi pengekor dan lebih mirip polisi India sebagaimana dalam film yang responnya selalu terlambat. Dunia kampus sering memberikan narasi yang tidak nyambung dengan kebutuhan masyarakat. Ada perbedaan frekuensi yang cukup akut antara dunia akademik dengan fakta di lapangan. Ini jelas sebuah paradoks yang perlu segera diakhiri. Ada rumusan-rumusan yang seharunya ditata ulang agar kampus dapat terus menemukan momentumnya. Dalam bahasa agama disebut dengan “Sholih likulli zaman wa makan”. Jika tidak segera dilakukan maka akan semakin banyak perguruan tinggi yang kehilangan kepercayaan masyarakat, atau meminjam istilah Habermas mengalami krisis legitimasi. Bagaimana dengan kampus kita?

*Sekretaris MPKSDI PWM Jawa Tengah

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE