Editorial

Indonesia; Kapal Pinisi di Tengah Samudra

Tahun ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) akan menggelar event 2 tahunan sebagai wadah regenerasi pimpinan di tingkat nasional. DPP IMM mengangkat tema “Merayakan Kebhinekaan; Indonesia dalam Perspektif Kaum Muda” dalam gelaran akbar kali ini. Penulis mencoba meramu rempah-rempah fenomena dan problematika, sebagai refleksi dan pemantik bagi kader IMM di Indonesia untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan bangsa.

 

Kebhinekaan Mulai Terkoyak

Sebagaimana kita ketahui, bahwa Indonesia memiliki lambang negara yang diatur dalam perundang-undangan. Frasa Bhineka Tunggal Ika yang tertera pada pita di bawah Garuda Pancasila memiliki makna mendalam bagi bangsa ini. Frasa ini sendiri menurut Eka Darmaputra, Ph.D. dalam buku Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya, memiliki makna keanekaragaman maupun kesatuan Indonesia adalah kenyataan sekaligus persoalan.

Beberapa tahun terakhir, terjadi banyak fenomena yang secara langsung maupun tidak “menggerogoti” persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang jelas berbeda-beda jika dilihat dari suku; bangsa; agama; etnis; budaya; dsb. Sebut saja terorisme; radikalisme; liberalisme; korupsi, kolusi dan nepotisme; intoleransi; ujaran kebencian; maraknya hoax; dsb yang menjadi palu godam dan siap menggempur persatuan bangsa di tengah keberagaman.

Dengan munculnya berbagai pihak yang mengedepankan kepentingan individu/kelompoknya di atas kepentingan masyarakat secara kolektif, maka tidak mungkin bangsa ini akan mengalami keretakan seperti yang pernah disampaikan Prof. Dr. KH. Haedar Nashir dalam acara Dialog Kebangsaan di salah satu stasiun televisi swasta. Indonesia yang dianugerahi kesatuan dan persatuan dalam keberagaman, hari ini agaknya mulai terkoyak karena kepentingan-kepentingan sekelumit orang/kelompok.

 

 Disorientasi dalam Memaknai Pancasila

Selain permasalahan tentang usaha penggerusan kesatuan dan persatuan bangsa dalam keberagaman, muncul masalah lain yang tidak kalah penting untuk dicari pemecahan masalahnya. Dewasa ini, banyak muncul indikasi-indikasi kesalah pahaman maupun ketidak tahuan tentang makna Pancasila, yang berujung pada mafsadat dan stigmatisasi liar.

Disorientasi dalam memahami dan memaknai Pancasila menjadikan publik dan elite menjadi kehilangan arah dan kemudian melakukan tindakan ataupun perilaku yang serampangan. Korupsi dana Bantuan Sosial misalnya, hal ini terjadi karena disorientasi para pemimpin bangsa, sehingga bantuan yang harusnya mampu membantu perekonomian masyarakat di tengah pandemi, akhirnya ditilap juga.

”Disorientasi nilai terjadi hampir di berbagai aspek kehidupan. Publik terlampau sering melihat kemunafikan pemimpin yang tidak memiliki integritas sehingga sebagian masyarakat juga mengambil jalan menerabas, mencari jalan mudahnya, dan tidak lagi percaya pada hukum,” kata Prof. Azyumardi Azra.

Ada juga oknum-oknum yang menggunakan Pancasila sebagai senjata untuk melawan musuh politiknya. Dengan dalih anti-Pancasila; tidak pancasilais; radikal; dsb lawan-lawan politiknya diseret ke meja hijau untuk dihukum.

Yang terbaru adalah kasus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga disingkirkan. Dalam konferensi pers daring yang dilakukan ICW, Dr. KH. M. Busyro Muqoddas menyampaikan, “Materinya sangat kacau, sangat absurd, dan sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai otentik kebangsaan yang luhur digoreskan oleh para founding fathers di dalam paragraf empat Pembukaan UUD 1945.” Beliau menambahkan, “Menurut (pengamatan saya) nilai-nilai kebangsaan yang utama tersebut sama sekali tidak tampak dalam tes wawasan kebangsaan itu.”  

 

Redefinisi Manusia Indonesia dalam Bingkai Keberagaman

Manusia Indonesia sebenarnya sudah dinarasikan oleh Bung Karno sejak awal penyepakatan Pancasila. Dr. Agustinus W Dewantara dalam bukunya Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam Kacamata Soekarno) menjelaskan bahwa ciri khas manusia Indonesia adalah gotong royong.

Gotong royong sendiri menurut Diyah Puspitarini dapat teraktualisasi dengan baik ketika nilai-nilai kemanusiaan; toleransi; keadilan; dan nilai-nilai dasar universal lain dapat dirawat dan diterjemahkan dengan baik.

Prof. Dr. KH. Haedar Nashir dalam sambutannya ketika Milad Muhammadiyah ke 108 berkata, “Semangat ukhuwah dan gotong royong itu niscaya terus disebarluaskan. Ukurannya adalah ketika terdapat perbedaan pandangan dan kepentingan satu sama lain mau saling berkorban dan berbagi, bukan saling mengutamakan kepentingan dan mau menang sendiri.”

Dalam konteks kebangsaan, Muhammadiyah mengartikan gotong royong sebagai konsep taawun. Di mana konsep taawun ini sendiri menurut Prof. Haedar berupaya untuk memberdayakan warga/masyarakat yang lemah; dialog atas berbagai persoalan bangsa; saling tolong menolong antar masyarakat; dsb.

 

Di akhir kami sampaikan, bahwa saat ini bangsa Indonesia membutuhkan pemuda-pemuda hebat yang mampu mencari penyelesaian masalah dari problematika kebangsaan. Menurut hemat penulis, berbagai disparitas dan ketidak adilan yang hadir hari ini, menjadi bukti bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja, apalagi dengan hantaman pandemi Covid-19.

Indonesia hari ini bagaikan kapal pinisi yang sedang berlayar di tengah luasnya samudra. Hempasan dan rintangan pastinya akan datang menghadang laju kapal. Lantas, siapa yang mampu menghantarkan kapal ini sesuai dengan tujuannya dengan selamat? Tidak lain dan tidak bukan adalah seluruh SDM dan sarana prasarana yang ada di dalamnya.

Muhammad Taufiq Ulinuha

Pemimpin Redaksi PWMJateng.com, Redaktur Rahma.ID.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE