BeritaKolom

Idulfitri dan Filosofi Permaafan

Idulfitri dan Filosofi Permaafan (Ringkasan Khutbah Idulfitri di Masjid Sirojul Munir)

Oleh : Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil.*

PWMJATENG.COM – Puji syukur kepada Allāh, kita masih diberi sehat yang insyā Allāh ‘āfiat berlimpah berkah, sehingga saat ini telah menuntaskan puasa bulan Ramadan tahun ini. Secara teori, sebulan penuh kita telah menjalankan ibadah puasa dengan segala dinamika keberkahan di dalamnya. Namun secara praktis, masih beragam sikap kita dalam menjalani bulan penuh berkah ini; ada yang sebatas ritual tahunan berulang, luput dari makna dan penghayatan. Ada yang berjuang dalam istiqāmah, menjalani dengan penuh ketaatan dalam rangka meraih taqwa yang menjadi tujuan. ada pula yang hanya ikut euforia gempita hari raya, tanpa memberi makna berarti dalam berpuasa. Semua bergembira, merayakan kemenangan. Tapi kemenangan dari apa? Berperang melawan apa? kita bingung memberi jawabnya.

Enggan berperang, tapi paling ramai saat rebutan harta rampasan. Sibuk dan heboh dalam perayaan lebaran, tapi kering dan hampa dari pemaknaan dan ketakwaan.

Pesan utama ramadan yang selalu berulang disampaikan; baik saat kultum rutin dan kajian,

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا كُتِبَ عَلَيکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبلِکُم لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183)

Pesan suci ini seolah hanya angin yang melintas tanpa dampak apa-apa. Berlalu begitu saja tanpa muhasabah, introspeksi. Sudahkah puasaku tahun ini menjadikanku hamba yang bertaqwa?

Untuk itu, mari jejak Ramadan yang masih terukir dalam ingatan, aura keberkahan yang terpancar dalam tindakan, kita renungkan dan hayati, lalu kita terapkan dalam bulan-bulan berikutnya ke depan. Sering-seringlah menanyakan ulang pertanyaan kontemplatif; masih adakah jejak Ramadan dalam perilaku kita?

Baca juga, Meningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan Selepas Ramadan: Menjaga Konsistensi dalam Ibadah

Puasa memiliki tiga dimensi; personal, menjadikan kita pribadi yang makin dekat dengan Allah, sosial, menjadikan kita pribadi yang peka terhadap kemanusiaan, peduli dengan kesusahan liyan, dan spiritual, menjadikan kita pribadi yang secara emosional lebih baik dan bijak dari sebelumnya.

Idulfitri erat dan lekat sekali dengan permaafan, forgiveness. Tapi harus diingat, dalam Islam, maaf dan memaafkan bukanlah sikap yang bermental kebebasan, setelah minta maaf merasa bersih dari dosa sehingga enteng untuk melanggar kecil-kecilan aturan agama. Merasa bebas sudah dimaafkan, lalu tanpa beban kembali menyakiti sesama; lewat lisan maupun perbuatan.

Maaf dan permaafan setidaknya memiliki tiga aspek; yang pertama adalah kognitif, menyadari betul bahwa kita salah, lalu dengan sukarela meminta maaf dengan tulus. Yang kedua, afektif, efek batin, dampak emosional, bahwa permaafan membuat kita tidak lagi dendam, tidak lagi menyimpan benci dan luka. Yang ketiga, aspek behaviour, yaitu aspek perilaku. Permaafan bukan hanya ucapan basa-basi minta maaf, ucapan kembali nol-nol, min al ‘āidīn wa al fāizīn, dst. tapi ia harus mampu memberi efek perubahan sikap positif.

Bukankah, setelah kita minta ampun dan bertobat kepada Allāh, kita semakin menjadi hamba yang taat? semakin hati-hati dalam bertindak karena takut akan masuk dalam maksiat? inilah filosofi sebenarnya dari permaafan. bukan maaf yang bermental bebas, tapi maaf yang bermental perubahan, kebaikan, dan perbaikan.

Baca juga, Islam Moderat dan Persepsi Barat

Maaf itu merupakan proses yang membutuhkan waktu, bukan kata maaf instan lalu selesai persoalan. Maaf harus diucapkan dengan sukarela dan ketulusan, lalu ia memberi dampak perubahan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Selanjutnya, Idulfitri, lebaran, identik dengan mudik, di mana kita ‘kembali’ menuju tempat di mana dilahirkan, sangkan paraning dumadi. Untuk apa? Untuk napak tilas ulang kehidupan, bahwa kita tidak boleh lupa akan asal, tidak boleh lupa cinta dan pengorbanan tulus orang tua kita. Sungkem kepada mereka berarti meruntuhkan egoisme dan keangkuhan diri di depan cinta mulia mereka, orang tua kita, keluarga kita.

Namun, benarkah secara praktiknya demikian? Apakah momen lebaran ini merupakan simbol permaafan, kembali fitrah, meraih kemenangan? Atau lebaran menjadi ajang pamer pencapaian duniawi? Ajang show off materi? Benarkah kita datang benar-benar untuk merayakan cinta mulia orang tua? Atau hanya sebatas simbol bertatap muka sekedarnya dengan mereka lalu kembali sibuk dengan dunia kita? Coba periksa lagi, berapa lama kita bercengkerama dengan keluarga, lalu berapa lama kita kembali bercanda ria dengan media sosial, dengan teman-teman kita?

Mari kita renungkan bersama, lalu mengbah sikap kita bila masih keluar dari jalur-jalur pemaknaan lebaran yang sebenarnya.

Sebagai anak, ingatlah, hadiah terbaik bagi orang tua adalah saat anak menjadi untaian tasbih jāriyah orang tuanya. Sayangilah mereka dengan menjadi manusia yang saleh, bermanfaat, migunani, meaningful.

Baca juga, Muhammadiyah Melayani Tanpa Cuti

Memang, orang tua tidak punya segalanya, tapi yakinlah mereka memberi semua yang mereka punya. Tangan keriput, wajah berkerut, semua itu adalah ukiran yang muncul bersama waktu pembuktian cinta, pengorbanan dan kasih sayang mereka.

Mari renungkan. Di saat orang asing menolong kita saat susah, kita dengan husnudzan dan tulus mampu mengucap terima kasih. Tapi lihatlah, ada dua orang yang penuh cinta tulus, bukan hanya sekali, tapi ratusan kali, ribuan kali, menolong kita, tanpa balasan dan imbalan, namun, berapa kata terima kasih tulus yang terucap dari mulut kita kepada mereka?

Puasa dan kemudian Idulfitri adalah momen yang tepat untuk merenungi kembali makna bertetangga. Sudahkan kita menjadi tetangga yang baik? Ataukah tanpa sadar kita berulang kali menyakiti mereka? Ingat-ingatlah selalu pesan Rasulullāh, indikasi keimanan seseorang salah satunya adalah dengan tidak menyakiti tetangga, memuliakan mereka, karena mereka sejatinya adalah orang yang terdekat dengan kita meskipun bukan saudara.

Yang terakhir, mari kita jadikan lebaran ini, Idul Fitri ini, momen muhāsabah, merayakan kebersihan dan kesiapan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

*Anggota Bidang Pendidikan, Pelatihan, dan Kaderisasi Muballigh Majelis Tabligh PWM Jateng, Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta, Dosen Pondok Hj. Nuriyah Shabran UMS, Alumni Universitas Islamabad Pakistan.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE