GUSJIGANG Sebagai Falsafah Gerakan IMM
PWMJATENG.COM – Tepat hari ini tanggal 20 Mei 2022, diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai hari Kebangkitan Naisonal, hari di mana mengingatkan kita bahwa perjuangan mesti bersifat kolektif tidak boleh parsial agar tujuan mencapai kemerdekaan segera mampu dirasakan. Senada dengan hal tersebut satu minggu lagi IMM Jawa Tengah akan melangsungkan hajat besar yakni MUSYDA ke-XX, dimana nantinya akan melakukan evaluasi serta konslidasi organisasi. Semoga semangat kebangkitan nasional senantiasa terpatri, dan mampu menjadi ilham dalam membangun kesadaran untuk bergerak mengatasi permasalahan-permasalahan di tubuh IMM Jawa Tengah.
Mengambil tema “Menegakkan Pilar Peradaban IMM” adalah suatu gambling yang patut dipastikan dalam arena Musyda juga keberlangsungan nantinya. Pertama, perlu ada komitmen masing-masing pihak bersikap laku yang mencerminkan usaha ber keadaban. Sebagai tawaran awal jikalaupun diperlukan musyawirin patut membaca ulang tentang konsep musyawarah itu sendiri; seperti yang ada dalam buku Kuliah Akhlaq karya Alm. Prof. Yunahar Ilyas untuk menuntun jalannya permusyawarahan agar senantiasa menjunjung komunikasi sesuai porsi serta komunikasi harmonis dalam menentukan keputusan.
Kedua, butuh banyak gagasan fresh dalam merumuskan agenda strategis IMM ke depan, gagasan yang mucul dari keserahan, cita-cita bersama menganai ikatan. Oleh karenanya, melalui tulisan ini saya mencoba ikut urun rembug dengan menghadirkan tawaran lanjutan. Sebagimana yang sudah saya jadikan judul, tentu Gusjigang terdengar asing di telinga kader-kader IMM, hal tersebut dapat dimaklumi karena tidak menjadi topik kajian atau materi resmi di perkaderan. Sebagai informasi, Gusjigang adalah local wisdom yang dimiliki Kudus; Gusjigang sering dinisbatkat kepada Sayyid Ja’far Shadiq atau sering dikenal dengan Sunan Kudus. Gusjigang sendiri merupakan akronim dari ba-Gus, nga-Ji dan da-Gang.
Menurut beberapa peneliti, gusjigang dipersonifikasikan sebagai citra diri masyarakat Kudus. Namun pada kesempatan ini saya tidak akan mengulas geneologi Gusjigang; melainkan berusaha menafsirkan core values yang dapat dikembangkan menjadi basis nilai untuk membangun gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jawa Tengah kedepan.
Gus (Bagus)
Kata gus yang merupakan penggalan dari bagus memiliki dua makna yakni bagus secara penampilan dan juga bagus secara tingkah laku. Hal ini perlu ditekankan oleh kader IMM agar usaha menyiarkan kebaikan dapat diterima secara baik oleh khalayak luas. Tidak boleh ada lagi kader IMM yang menyepelekan penampilan dengan beragam argumen “Tidak penting penampilan yang penting isi kepala, gak papa celana bolong-bolong yang penting pintar”.
Ingat, di antara beberapa pitutur luhur yang dapat kita pedomi adalah Ajining raga ana ing busana, yang mempunyai makna bahwa pakaian juga memegang peranan penting bagi seseorang. Orang berbusana rapi tentunya menaikkan martabat dan wibawanya. Orang yang berwibawa tentu tidak perlu garang untuk melancarakan amar ma’rufnya.
Lebih dari itu kader IMM juga mesti memiliki laku yang bagus, laku yang menerjemahkan identitas cendekiawan berpribadi yakni laku akhlaqul karimah. Sebagaimana sabda Rasullullah, “Iman kaum mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaqnya”. Karena memang sejatinya Nabi Muhammad hadir untuk memperbaiki adab.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه
“Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.(Hadits Shahih, Riwayat Muslim, Lihat Shahiihul Jaami’ No. 6709).
Hal ini kenapa gus menempati posisi depan ji dan gang, karena keberkahan gerakan diawali dari bagusnya laku kita terhadap orang lain. Syekh Abdul Qadir Al Jailani menasihati: “Aku lebih menghargai orang yang beradab, daripada orang yang berilmu. Jika hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia”.
Akhlaqul karimah tentu perlu dijadikan titik pijak kader IMM untuk melakukan setiap aktivitas gerakannya, memang terkesan mudah atau remeh tapi hal ini seringkali dikesampingkan dalam interaksi sosial. Kalaupun diperlukan IMM mesti memasukkan kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Imam al-Zarnuji atau kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim karya Imam Nawawi sebagai kitab rujukan dalam perkaderan agar mendahulukan adab daripada ilmu pengetahuan, dan supaya ilmu yang didapat berkah. Jangan sampai IMM menjadi produsen pemimpin masa depan yang kehilangan adab.
Ji (Ngaji)
Perihal ngaji dan atau menuntut ilmu, juga perlu diperhatikan oleh kader-kader IMM yang merupakan organisasi otonom Muhammdiyah sebuah gerakan Islam dan juga gerakan pembaharuan. Dua dimensi tersebut memiliki konsekuensi logis kepada kader IMM untuk senantiasa belajar. Ngaji secara harfiah menuntut setiap kader IMM agar mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil sebagaimana yang sudah tertera dalam SPI pada poin profil kader dasar. Namun sering kali kader IMM memberi kesan menyepelekan aktivitas mengaji atau membaca Al-Qur’an sehingga untuk menjadi seorang imam shalat pun ketakutan. Jika persoalan ini dibiarkan tentu ironi dan sebuah tamparan besar untuk Muhammadiyah.
Ji sebagai makna menuntut ilmu juga hal lain yang perlu dilestarikan sebagai tanggungjawab atas deklarasi diri sebagai kader akademisi atau seorang intelektual. Tentu kita tidak ingin melihat kader-kader IMM memproduksi hoax atau memperkeruh perbincangan di ruang publik dengan menghadirkan wacana yang tidak bernash. Kita pun tidak ingin menempatkan kader IMM sebagai pendosa atas kelalaian terhadap tanggung jawab akademiknya yang mana artinya kita mendukung tesis Tom Nicols tentang The Death of Expertise.
Oleh karenya perlu ada agenda strategis yang bersifat struktural maupun kultural yang mampu meningkatkan iklim akademik di ruang-ruang IMM agar kader tidak alergi dengan ilmu pengetahuan atau meminjam istilah Marcus Mietzner dengan anti-scientific. Melainkan mampu membuat kader bersemangat untuk senantiasa istiqomah; produktif mempublish atau sampai taraf tertinggi mampu mengambil sikap atas aktivitas intelektuanya.
Gang (Berdagang)
Poin terakhir saya posisikan sebagai indikator keberhasilan pimpinan untuk melahirnkan kader-kader yang mampu bertahan di dunia nyata; dunia yang lebih luas setelah selesai ber-IMM karena salah satu ciri seorang pedagang (entrepreneur) adalah survive. Hal ini dapat terealisasi apabila dua langkah sebelumnya yakni gus dan ji benar-benar diterjemahkan dalam rencana strategis progam kerja disetiap level kepemimpinan.
Dalam kaitan yang lebih ekonomis, berdagang menuntut IMM menjadi sebuah organisasi yang berdikari atas ekonomi organisasi, hal ini tentu mampu direalisasikan apabila IMM dengan segala potensinya menjalin kerjasama dengan PTM untuk diberi tempat sebagai ruang mengaktualisasikan diri dalam ranah ekonomi; karena sejatinya organisasi otonom memiliki saham di AUM.
Akhirnya tulisan ini sampai pada paragraf terakhir dengan sedikit harapan supaya mampu menjadi bahan evaluasi serta refleksi.
Wallahu a’lam bishawab
Billahi fii sabililhaq fastabiqul khairat
Penulis : Abdul Ghofur (Ketua Umum PC IMM Kudus Periode 2019-2020)
Editor : M Taufiq Ulinuha