PWMJATENG.COM, Surakarta – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan mulai 1 Januari 2025 menuai kritik tajam. Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, menilai kebijakan tersebut kurang tepat diterapkan dalam kondisi ekonomi saat ini.
Anton menjelaskan bahwa kenaikan PPN dapat memicu resistensi masyarakat, khususnya dari kelas menengah yang menjadi kelompok terbesar dalam menopang perekonomian nasional. “Nampaknya, saya setuju untuk pemerintah menunda dulu kenaikan tarif PPN ini. Bukan soal besarannya, tapi resistensi masyarakat yang berpotensi tidak produktif,” ungkapnya, Selasa (31/12).
Menurut Anton, meskipun ekonomi global mulai membaik, kondisi Indonesia masih stagnan. Target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% pada 2025 dinilainya sulit tercapai. Masalah struktural yang belum teratasi menjadi hambatan utama.
“Sejak pertengahan 2024, Indonesia mengalami deflasi. Ini bukan hal positif karena disebabkan oleh penurunan permintaan, yang dipicu melemahnya daya beli masyarakat. Banyak industri, terutama manufaktur, yang tutup,” paparnya.
Ia juga mengingatkan bahwa deflasi berkepanjangan dapat memperburuk situasi ekonomi, sebab industri yang lesu akan berdampak pada meningkatnya pengangguran.
Anton menilai bahwa persoalan utama bukan hanya pada kebijakan, tetapi juga pada komunikasi yang kurang efektif. Menurutnya, pemerintah perlu memastikan masyarakat memahami tujuan dan manfaat kebijakan sebelum diterapkan. “Untuk diterapkan, kenaikan PPN harus menunggu kondisi ekonomi lebih baik. Saat ini, ekonomi Indonesia stagnan dan kurang produktif,” katanya.
Ia juga menyoroti isu kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pajak. “Banyak wajib pajak yang merasa resisten karena pengelolaan pajak tidak profesional. Data 2023-2024 menunjukkan Rp65 triliun dana dikorupsi, meskipun KPK dan Kejaksaan sudah menanganinya,” ujarnya.
Anton mengusulkan alternatif kebijakan selain menaikkan PPN, seperti penerapan Pajak Kekayaan (Wealth Tax) untuk mengatasi kesenjangan sosial yang signifikan. “Indeks Gini Indonesia mencapai 0,4. Sebagian besar aset dikuasai oleh kelompok kecil masyarakat, sementara mayoritas lainnya hanya memiliki sedikit aset,” jelasnya.
Baca juga, Keputusan Musypimwil Muhammadiyah Jateng Tahun 2024
Ia juga membandingkan dengan sistem perpajakan di Eropa, di mana Pajak Penghasilan (PPh) untuk individu kaya mencapai 40%. “Pemerintah perlu bekerja keras untuk mengidentifikasi wajib pajak kaya. Namun, hal ini belum berhasil dilakukan, seperti terlihat pada kebijakan tax amnesty era Jokowi,” tambahnya.
Anton mengingatkan bahwa kenaikan PPN 12% akan berdampak langsung pada harga barang dan daya beli masyarakat. Sebagai contoh, ia memberikan simulasi perhitungan:
- Harga jual barang: Rp1.000.000
- PPN 12%: Rp120.000
- Harga total: Rp1.120.000
“Kenaikan harga ini akan memengaruhi keputusan pembelian masyarakat, terutama kelas menengah. Jika daya beli menurun, industri terpaksa menyesuaikan, seperti mengurangi karyawan, yang pada akhirnya meningkatkan pengangguran,” terangnya.
Anton juga menyoroti ketidakjelasan pengelompokan barang yang dikenakan PPN tinggi. Ia mencontohkan Netflix, yang dianggap sebagai barang mewah oleh pemerintah, padahal bagi kelas menengah, platform tersebut adalah hiburan standar.
Ia menyarankan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan dari sumber daya alam dan pengelolaan BUMN, daripada hanya bergantung pada kenaikan pajak. Selain itu, masyarakat diminta memprioritaskan kebutuhan dan menunda pembelian barang jika tidak ada peningkatan pendapatan.
“Pemerintah harus lebih kreatif dalam mencari solusi untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa memberatkan masyarakat,” pungkasnya. Dengan langkah yang tepat, kebijakan fiskal dapat berjalan tanpa mengganggu stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Kontributor : Maysali
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha