Epistemologi Bayânî, Burhânî, dan `Irfānî dalam Pemikiran Islam: Pendekatan Terpadu dalam Ijtihad Keagamaan
Epistemologi Bayânî, Burhânî, dan `Irfānî dalam Pemikiran Islam: Pendekatan Terpadu dalam Ijtihad Keagamaan
Oleh : Muhammad Taufiq Ulinuha (Wakil Sekretaris PW Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah; Wakil Ketua Kwartir Wilayah HW Jawa Tengah)
PWMJATENG.COM – Pemikiran Al-Jabiri mengenai epistemologi bayânî, burhânî, dan `irfānî pertama kali diperkenalkan dalam karyanya yang bertujuan untuk menghidupkan kembali peradaban Arab, yang tentu saja sangat berkaitan erat dengan pemikiran Islam pada umumnya. Menurut Al-Jabiri, epistemologi bayânî adalah corak pemikiran yang pertama kali muncul dalam khazanah intelektual Arab. Secara etimologis, istilah bayânî memiliki berbagai makna, antara lain kesinambungan (al-washl), keterpisahan (al-fashl), kejernihan (al-zhuhur wa al-wudhuh), dan kemampuan untuk menjelaskan atau membuat sesuatu menjadi jelas. Epistemologi ini memiliki akar sejarah yang panjang, di mana bangsa Arab sangat mengagungkan nilai kebahasaan, baik dalam sastra maupun balaghah. Secara singkat, metode bayânî berakar dari Al-Qur’an dan hadis.
Kronologi bayânî dimulai sejak masa Nabi Muhammad SAW, yang sering menjelaskan ayat-ayat yang sulit dipahami oleh para sahabat. Proses ini berlanjut, di mana para sahabat menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ketetapan yang mereka peroleh langsung dari Nabi Muhammad SAW, dan kemudian diteruskan kepada generasi Tabi`in dan seterusnya hingga saat ini.
Secara teknis, pendekatan bayânî dalam pemikiran Islam tercermin dalam kajian-kajian seperti ushul fiqh, tafsir, hadis, ilmu Al-Qur’an, ilmu hadis, nahwu, sharaf, balaghah, dan kaidah-kaidah fiqh. Epistemologi bayânî digunakan oleh para ahli fiqh dan teologi untuk memahami dan menganalisis teks-teks keagamaan guna menemukan makna yang terkandung dalam lafaz serta untuk istinbâth hukum dari Al-Qur’an dan hadis.
Metode bayânî merupakan penggabungan antara metode fiqh yang dikembangkan oleh Imam Al-Syafi`i dan metode retorika Al-Jahiz, yang sangat dominan dalam tradisi fikih dan kalam. Namun, menurut Amin Abdullah, sebagaimana dijelaskan oleh Wira Hadi Kusuma, metode ini memiliki kelemahan dalam kajian Islamic Studies, terutama ketika dihadapkan dengan penganut agama yang berbeda dan kultur sosial yang beragam.
Baca juga, Menjadikan Masjid sebagai Episentrum Dakwah
Epistemologi burhânî secara leksikal berarti argumen yang jelas dan tegas. Dalam terminologi ilmu mantik, kata ini menunjukkan proses penalaran untuk menentukan kebenaran antar proposisi melalui deduksi. Berbeda dengan bayânî dan irfānî yang masih terkait dengan kesucian, metode burhânî mengandalkan kekuatan akal rasional yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Dalam tradisi filsafat Yunani, pemikiran ini dikembangkan oleh Aristoteles yang menggunakan logika mantik untuk membahas persoalan alam, manusia, dan Tuhan. Filsafat kontemporer juga memandang alam, Tuhan, dan manusia lebih dari sudut pandang metafisik, berbeda dengan pendekatan bayânî dan irfānî.
Secara praktis, ketiga pendekatan epistemologi ini diterapkan dalam ijtihad keagamaan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Pendekatan bayânî (tekstual-normatif) menempatkan teks-teks agama sebagai rujukan utama dalam studi filosofis. Dalam pendekatan ini, ushul fiqh dan teknik-teknik ijtihad menjadi unsur utama dalam menggali hukum. Pendekatan burhânî (kontekstual-argumentatif) mengedepankan penggunaan indera dan logika untuk memahami teks agama, dengan bantuan ilmu-ilmu sosial untuk melengkapi pemahaman. Pendekatan irfānî (spiritual-intuitif) menekankan kejernihan jiwa yang diperoleh melalui mujahadah masyruah, yang menyimpulkan bahwa keilmuan tidak hanya bersandar pada logika, tetapi juga pada kedalaman rasa agama.
Ketiga pendekatan ini saling melengkapi dan memberikan landasan yang kuat dalam ijtihad keagamaan yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan umat.
Editor : Ahmad