Kolom

Apa dan Bagaimana Kebangkitan Nasional?

Apa dan Bagaimana Kebangkitan Nasional?

Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah. Cendekiawan muslim)

PWMJATENG.COM – Kebangkitan Nasional selaku diperingati pada 20 Mei, berbarengan dengan peringatan lahirnya Boedi Utomo pada 20 Mei 1908. Boedi Oetomo dipandang sebagai gerakan yang mewakili satu kesadaran nasional, yaitu tumbuhnya kesadaran dari kalangan terdidik (priyayi) terhadap nasib warga kebanyakan.

Sebenarnya pemilihan berdirinya Boedi Oetomo bisacsaja diperdebatkan karena Sarekat Dagang Islamiyyah (SDI) berdiri lebih awal, yaitu tahun 1905, setahun setelah Perang Aceh berakhir. Pada tahun 1907, koran pribumi pertama yang bernuansa pembelaan rakyat kecil Medan Prijaji, yang didirikan oleh Tirto Adi Soerjo, muncul di Bogor.

Namun pemilihan momentum apa pun akan tetap menjadi kontroversi karena sulitnya mencari peristiwa yang bisa mewakili semua kalangan sebagai wujud kebangkitan kebangsaan. Boedi Oetomo menjadi momentum karena itulah organisasi yang lahir dari kalangan pelajar atau priyayi dari kelas menengah yang memiliki kemampuan untuk bersuara pada level politik yang lebih tinggi.

Setelah itu, akan bermunculan Sarekat Islam, Indische Partij, dan Muhammadiyah yang semua berdiri tahun (1912), Partai Komunis Hindia (1920), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926) dan Partai Nasional Indonesia (1927). Tidak semua organisasi yang tersebut berdiri atas landasan politik, namun setidaknya kesadaran untuk berserikat dan memobilisasi massa sudah tumbuh di kalangan masyarakat Indonesia.

Sebelum itu, perjuangan rakyat Indonesia bersifat parsial, kedaerahan, dan responsif, belum ada pikiran untuk bersatu dalam menyikapi masalah masyarakat kolonial. Perjuangan pun masih menggunakan pola perlawanan fisik, belum perlawanan lebih terstruktur dan luas, yang hanya bisa dilakukan dengan metode dan cara modern yang dibawa dalam pendidikan Belanda.

Kesadaran bergerak sudah timbul dahulu di kalangan Tionghoa yang dipengaruhi pergolakan di Tanah Tiongkok dan kalangan Arab yang mendirikan Jamiatul Khoir (1901) dan Tiong Hoa Hwee Koan 1900).

Gerakan-gerakan perjuangan itu umumnya tidak saling bertentang, kecuali friksi antara Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah, plus Sarekat Rakyat, yang secara politik kemudian berafiliasi pada PKH/ PKI. Kiai Ahmad Dahlan, misalnya, pernah menjadi anggota Jamiatul Khoir dan Sarekat Islam serta bekerjasama dengan anggota Boedi Oetomo untuk mendirikan Muhammadiyah. Di NU pun lahir kesadaran untuk kebangkitan para pengusaha dan di kalangan pesantren lahir pula Taswirul Afkar, kelompok kajian yang didirikan K.H Wahab Chadbullah dan K.H. Mas Mansur, yang kemudian menjadi lembaga pendidikan tahun 1918. K.H. Mas Mansur kemudian bergabung dengan Muhammadiyah.

Semua gerakan itu menyambut gairah baru yang tumbuh akibat Politik Etis, dimana Pemerintah Belanda bermaksud membalas Budi atas hutang mereka pada rakyat Hindia akibat tanam paksa yang dicetusjan tahun 1830. Tanam paksa itu memberi keuntungan besar bagi negeri Belanda namun membawa dampak penurunan serius pada kesejahteraan rakyat yang menimbulkan kritik dari orang Belanda sendiri, yaitu Eduard Douwes Dekker yang menulis kritik terhadap akibat tanam paksa melalui novel Max Havelaar (1860). Hal itu mendorong lahirnya politik etis, dengan fokus irigasi, transmigrasi dan pendidikan.

Baca juga, Ulama Sejati Adalah Ilmuwan: Menafsir Ulang Ulul Albab dalam Cahaya Al-Qur’an dan Sains

Kebijakan terakhir inilah yang mendorong lahirnya kalangan priyayi yang terdidik dengan pendidikan Belanda yang maju. Mereka mampu menulis, menyuarakan penderitaan rakyat dengan teori yang diolah dari teori Barat, mendirikan media massa, dan berorganisasi.

Kartini memunculkan ide kritis karena mampu menulis dan mengakses buletin atau koran luar negeri. Tirto Adi Soeryo mendirikan koran Medan Priyayi dan mendirikan Organisasi Sarekat Dagang Islamiyyah di Bogor dan membantu berdirinya Sarekat Dagang Islam di Solo yang dipimpin Samanhoedi. Dokter Soetomo dan para mahasiswa kedokteran (STOVIA) mendirikan Boedi Oetomo dengan fokus pendidikan dan kesehatan.

Cokroaminoto, saat menjabat Ketua Sarekat Islam, mendorong pertumbuhan organisasi di daerah-daerah dan mendorong masing-masing memiliki koran. Sarekat Islam memulai pula aksi massa dan demonstrasi buruh untuk menuntut hak pada pengusaha serta upaya masuk parlemen (Volksraad).

Indische Partij menyuarakan pemerintahan sendiri rakyat Bumiputera dengan kerjasama antar ras, baik pribumi maupun WNI keturunan. Pemerintahan sendiri ini menggema tahun 1916-1918 di kalangan Sarekat Islam Semarang dan secara tegas dinyatakan Tan Malaka tahun 1925 dengan semboyan “Merdeka 100%”.

Pada Puncaknya, PNI secara jelas mengartikulasikane kebangkitan nasional itu ke dalam kesadaran kebangsaan (nasionalisme), sebuah gagasan yang baru muncul di Eropa (Perancis) tahun 1880-an oleh pemikiran Ernest Renan. Nasionalisme ini berbeda dengan nasionalisme yang sudah tumbuh di Eropa yang dasarnya adalah kesukuan atau kebangsaan etnis dan bahasa.

Nasionalisme ini dasarnya bukan ras, suku, bahasa atau agama, melainkan berdasar atas kehendak bersama untuk hidup bersama dan mempertahankan warisan bersama. Dalam konteks Indonesia, kebangsaan itu didasarkan atas pengalaman bersama sebagai bangsa yang terjajah.

Dari gagasan nasionalisme inilah berkembang Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menentukan titik tolak kesamaan bangsa Indonesia, yaitu tanah air, bangsa, dan bahasa. Inilah definisi awal paling jelas mengenai identitas kebangsaan Indonesia yang menggeser kebangsaan lokal (bangsa Jawa, Sunda, Melayu, Batak, Ambon, Minang, Aceh, Bugis, Makassar, Banjar, Bali, Dayak, Minahasa, Sasak, Bima, Sumba, Sumbawa, Madura, Papua, Betawi, Toraja, dan lainnya) menjadi bangsa yang lebih besar sehingga bangsa-bangsa sebelumnya hanya menjadi subbagian (etnik/ suku).

Jika disimpulkan, kebangkitan nasional mula pertama dibangun di atas pendidikan. Dari pendidikan itu lahir kesadaran sosial dan nasib bersama, yang melahirkan kehendak bersuara dan media massa, serta kesadaran untuk berserikat dan berkumpul dalam organisasi sampai partai politik. Puncak dari kesadaran itu adalah penemuan perasaan bersama, senasib dan kehendak bersama untuk bersatu, merdeka, dan membangun negara.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE