Moderasi Islam: Konteks dan Konteksasi
Oleh : Prof. Dr. H. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.*
PWMJATENG.COM – Diskursus moderasi Islam semakin menjadi topik menarik di berbagai kalangan cendekiawan, peneliti, pengamat, jurnalis, dan masyarakat umumnya di dunia Islam dan global. Moderasi Islam sering disebut Muslim moderat dan Islam moderat adalah istilah yang sangat kontekstual dan dikontestasi.
Kontekstual karena wilayah dan konteks yang berbeda memberikan corak denotasi yang berbeda. Pada konteks ini, para spesialis menemukan istilah “moderasi” sebagai kosakata yang cocok untuk menghadapi situasi yang baru muncul.
Pada dasarnya, istilah “Islam moderat” berfungsi untuk memberikan definisi yang berwibawa tentang “Islam yang benar”. Moderasi tetap dikontesperdebatkan utamanya setelah serangan terhadap menara kembar, wacana baru seputar muslim moderat terus bergulir di kalangan politisi, akademisi, dan media. Istilah “moderat” menjadi kunci dalam mengidentifikasi muslim yang berasimilasi dengan benar dalam kebudayaan Barat. Muslim moderat ditampilkan sebagai seorang muslim yang mengamalkan iman secara moderat, dan percaya pada nilai-nilai liberal dan sekuler.
Mahmood Mamdani, seorang ilmuwan politik terkemuka di Universitas Columbia, dalam karyanya yang berjudul Good Muslim, Bad Muslim, berpendapat bahwa wacana muslim yang baik dan muslim yang buruk berasal dari Bernard Lewis selama menjadi penasihat kebijakan pada pemerintahan Bush.
Lewis percaya bahwa mengadu domba muslim satu sama lain akan menyelesaikan “krisis Islam”, dengan mengizinkan muslim yang kebarat-baratan untuk memperbaiki masalah internal muslim asing yang ‘terbelakang’, daripada membuat pemerintah Amerika Serikat atau Barat secara terang-terangan campur tangan dalam urusan masyarakat Islam.
Muslim asing non-Barat dianggap tidak progresif, ekstrem, dan rawan kekerasan, dan mereka berbeda dengan “muslim yang baik”. Menurut Demokrat dan Republik neo-liberal, dari George W. Bush hingga Hillary Clinton, “muslim yang baik” adalah orang Barat, Amerika, dan tetap aktif terlibat dalam perang melawan terorisme. Mereka setia, patriotik, dan “moderat”.
Menurut Pew Research Center, muslim Amerika lebih cenderung toleran, pluralistik, dan tanpa kekerasan. Mereka menanamkan sikap bermasalah dan memecah belah dengan kiasan “muslim baik-moderat” adalah lawan “muslim jahat asing”.
Lamiya Khandaker melakukan polling pada grup anonim secara acak melalui media sosial untuk mengisi tanggapan tentang “muslim moderat”. Dari 156 tanggapan, Lamiya melihat pola yang konsisten responden survei mengenai persepsi mereka terhadap muslim non-Barat.
Baca juga, Haedar Nashir : Muhammadiyah dan Islam Berkemajuan Perlu Hadir dan Perkuat Peran di Tingkat Global
Meskipun ukuran sampelnya kecil, ada tiga tema umum: (1) muslim non-Barat tidak terpapar pluralisme seperti di Barat, (2) muslim non-Barat mencampurkan budaya konservatif dengan agama, dan (3) kurangnya kebebasan di dalam kebudayaan non-Barat mencegah munculnya Islam moderat yang autentik.
Pada sisi lain, istilah “moderasi” dalam keilmuan Islam lahir dalam konteks yang berbeda dengan ilmu pengetahuan Barat. Tampaknya istilah “moderasi” di Barat sebagian besar berkaitan dengan agenda politik mereka di dunia muslim. Padahal, dalam konteks Islam, penggunaan istilah ini secara fundamental mengacu pada teologi Islam, etika, sistem kepercayaan, posisi hukum, politik dan seterusnya.
Beberapa definisi dan pemahaman Barat mengenai moderasi dikemukakan di sini. Joshua Muravchik & Charles Szrom mengakui kenyataan bahwa “moderasi” didefinisikan secara sempit sebagai “menjadi benar-benar berkomitmen pada praktik demokrasi”. Murat Somer, mendefinisikan moderasi “sebagai penyesuaian untuk setidaknya beberapa atribut utama di negara tertentu pada waktu tertentu.”
Jillian Schwedler mendefinisikan moderasi sebagai sebuah proses daripada kategori, yang mengandung perubahan yang dapat digambarkan sebagai pergerakan sepanjang kontinum dari radikal ke moderat. Menurut Janine A. Clark, “Islamis moderat” ialah mereka yang bersedia untuk berpartisipasi dalam sistem demokrasi, sedangkan “Islam radikal” dianggap sebagai mereka yang menolak berpartisipasi. Kaum radikal Islam, meskipun terpecah, menolak partisipasi dalam sistem sekuler-otoriter atau demokratis.
Pemahaman moderasi semacam ini dianggap mengekspresikan dirinya dalam hal penerimaan dan pemahaman Islamis yang lebih besar tentang demokrasi, politik kebebasan, dan hak perempuan dan minoritas.
Diskursus moderasi sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana Barat setidaknya diletakkan pada tiga konteks utama. Pertama, menurut definisi umum yang berkembang luas dalam masyarakat Barat, moderasi secara sempit seringkali dihubungkan dengan praktik-praktik demokrasi dan nilai-nilai demokrasi Barat liberal dan sekuler yang hampir selalu menuntut adanya komitmen-komitmen pada ide dan proyek-proyek liberalisme.
Agaknya benar jika dapat dikatakan bahwa para pembuat kebijakan di Barat biasa mempergunakan kacamata demokratisasi sebagai salah satu tolok ukur utama moderasi.
Kedua, moderasi Islam sering dikaitkan dengan upaya untuk memerangi radikalisme. Upaya itu sering disebut deradikalisasi. Deradikalisasi mengacu pada “moderasi ideologis”, yang umumnya berarti pengabaian, penundaan, atau revisi tujuan radikal yang memungkinkan gerakan oposisi untuk mengakomodasi dirinya sendiri untuk memberi dan menerima politik kompetitif “normal”.
Ketiga, konteks pluralisme di mana moderasi Islam sering digunakan untuk membuat tandingan atas kelompok-kelompok ekstremis. Sebaliknya, moderasi berpusat pada penerimaan atau penolakan terhadap pluralisme. Dalam pandangan ini, muslim mungkin masih berharap dan berdoa agar seluruh umat manusia pada akhirnya akan menerima kebenaran pesan Muhammad.
Tetapi mereka tidak boleh mengangkat pedang atau membuat perselisihan sebagai cara untuk mempercepat tercapainya tujuan. Sambil terus mencari petunjuk ilahi dalam Al-Qur’an dan Sunnah, para Islamis ini telah merumuskan interpretasi baru atas teks-teks Islam yang diturunkan yang mengutamakan gagasan pluralisme, representasi, dan hak asasi manusia.
*Cendekiawan Islam, Wakil Ketua PWM Jawa Tengah, dan Rektor UIN Salatiga.
Editor : M Taufiq Ulinuha