Mengulas Era Awal Gerakan Muhammadiyah (3)
Oleh : Prof. Dr. KH. Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah)
Terdapat perkembangan yang menarik bahwa selama tiga tahun setelah perubahan Anggaran Dasar yang membolehkan Muhammadiyah menyebarluaskan gerakannya keluar dari wilayah Residensi Yogyakarta ke seluruh Hindia-Belanda, terdapat animo di daerah-daerah lain untuk membentuk cabang, sehingga terbentuk 14 cabang Muhammadiyah. Pada waktu itu belum dibentuk “gerombolan” atau ranting Muhammadiyah yang berada di bawah cabang. Perkembangan cabang dan gerombolan terjadi setelah tahun 1923, sepeninggal Kiai Haji Ahmad Dahlan. Selain penambahan jumlah cabang, pada masa akhir kepemimpinan Kiai Dahlan juga terdapat perkembangan jumlah anggota Muhammadiyah.
Pada rentang tahun 1916 sampai 1922 terjadi pertambahan anggota Muhammadiyah yang cukup signifikan. Tahun 1916 hanya 149 anggota tetapi pada 1922 menjadi 3.346 anggota yang sifatnya aktif. Berdasarkan pekerjaan pada umumnya anggota Muhammadiyah waktu itu terdiri dari saudagar/pedagang (38,6%) dan pegawai/pamong praja/guru (24,6%), disusul pegawai urusan agama (6%), buruh (19,4%), wartawan (11%), dan swasta (0,6%). Pada masa 1920-1923 itu juga berkembang sekolah Muhammadiyah yaitu dibentuknya Sekolah Angka 2 di Kauman/Suranatan, Karangkajen, Pasargede/Kotagede, dan Lempuyangan; kemudian Sekolah Guru Qismul Arqa Kauman, Sekolah Agama di Suronatan, dan Sekolah Angka 1 HIS Met de Qur’an. Siswa yang belajar di sekolah Muhammadiyah sampai tahun 1923 tercatat 1.084 orang.
Mengingat animo dan jumlah siswa perempuan bertambah, maka Siswa Praja yang mengkoordinasikan aktivitas para siswa sekolah-sekolah Muhammadiyah dibagi menjadi Siswa Praja Pria dan Siswa Praja Wanita, yang setiap satu minggu sekali menyelenggarakan latihan kepemimpinan dalam berbagai bentuk kegiatan. Pada 1921 dibuka Pondok Muhammadiyah untuk tempat tinggal atau asrama siswa-siswi sekolah Muhammadiyah. Siswa laki-laki di Jayangprakosan dan dibina langsung oleh Kiai Dahlan, sedangkan siswa putri di rumah Kiai Dahlan dengan ibu asrama Nyai Dahlan sendiri. Perkembangan berikutnya agar siswa-siswa itu terbina prestasi sekolahnya, maka dibuka dua asrama untuk siswa perempuan di Kauman dan untuk siswa laki-laki di Ngabean. Pada perkembangan berikutnya asrama Muhammadiyah tersebut tidak hanya menampung siswa-siswa sekolah Muhammadiyah tetapi juga berasal dari para siswa MULO dan AMS pemerintah serta Taman Siswa dengan bayaran yang lebih murah (Majelis Pustaka dan Dokumentasi PP Muhammadiyah, 1995: 38).
Baca juga, Kilas Kepemimpinan Muhammadiyah Jateng, Mulai dari Ulama hingga Cendekiawan
Pada era awal kesadaran Muhammadiyah tentang tulis-menulis dan publikasi cukup tinggi dan merupakan hal yang terbilang cerdas untuk ukuran saat itu yang di kalangan umat Islam masih mengandalkan komunikasi langsung dan personal (Sairin, 1995:53). Selain menerbitkan selebaran dan buku, pada 1915 diterbitkan Majalah Soeara Moehammadijah yang berbahasa Jawa campuran bahasa Melayu yang diterbitkan Taman Pustaka Muhammadiyah. Pemimpin Redaksinya Fachrodin, sosok muda yang cerdas, berani, dan penulis yang tajam yang sering mengkritik pemerintah Hindia-Belanda, bahkan bersama Soerjopranoto sempat melakukan mobilisasi kaum buruh pabrik gula Madukismo untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Kandungan isi Suara Muhammadiyah (SM) ialah pengajaran agama Islam, berita Muhammadiyah, tanya jawab masalah, masalah organisasi, dan tulisan-tulisan lainnya. Majalah ini menjadi jembatan atau media yang cukup efektif dan tersebar bukan hanya di wilayah Yogyakarta tetapi juga ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Setelah tahun 1923 ketika Muhammadiyah telah menyebarluas ke wilayah lain Hindia-Belanda, majalah ini menggunakan bahasa Melayu.
Melalui SM itu ide-ide Muhammadiyah dipropagandakan atau disebarluaskan. Hal yang menarik melalui majalah tersebut seperti yang terbit pada nomor 3 tahun 1922, terdapat soal jawab mengenai “Apakah agama Islam cocok dengan akal pikiran manusia?” dalam topik “Agami-Nalar”. Dalam rubrik tanya jawab berbahasa Jawa di SM nomor tersebut ditanyakan hubungan akal dan agama. Setelah redaksi menjelaskan bagaimana agama-agama lain banyak yang tak bersesuaian dengan akal pikiran manusia, akhirnya disimpulkan bahwa “… Ananging agami Islam poeniko tamtoe tjotjok kalijan ngakaling Manoengsa” (Tetapi agama Islam itu tentu cocok dengan akal pikiran manusia)(Suara Muhammadiyah, No 3/1922: 15).
Muhammadiyah generasi awal, setelah Kiai Dahlan wafat pada 23 Februari tahun 1923, terus berkembang ke seluruh tanah air. Perkembangan sampai tahun 1927 cukup pesat dengan semakin bertambahnya jumlah cabang dan gerombolan (ranting) di berbagai pelosok Hindia-Belanda. Hingga tahun 1927 telah terbentuk resmi 47 cabang, 10 calon cabang, dan 98 Gerombolan Muhammadiyah di berbagai daerah di tanah air. Di antaranya yang berada di luar Yogyakarta di luar daftar dalam tabel di atas ialah Cabang Lumajang, Ponorogo, Ngawi, Madiun, Pasuruan, Sumenep, Sampang, Bangil, Situbondo, Batur, Jember, Bondowoso, Malang, Blitar, dan Bangkalan, semuanya di Jawa Timur. Di Jawa Tengah antara lain Cabang Cilacap, Bumiayu, Kudus, dan beberapa daerah lainnya