Meneropong Masa Depan Gerakan Mahasiswa
Oleh Roynaldy Saputro, aktivis Muhammadiyah
Apa kabarmu mahasiswa? Masihkah engkau berada dalam kegelisahan pertanyaan tentang masa depan, dimana kamu takut tidak mendapatkan pasangan, tidak mendapatkan pekerjaan kelak kemudian, bahkan takut tidak bisa makan. Sungguh mengerikan mahasiswa sekarang, sempat-sempatnya melawan Tuhan, bahkan yang lainnya lebih parah. Otak kita diperah, dosen dan nilai membuat kita pasrah, sehingga hakikat kemanusiaan kita kalah. Hai, mahasiswa yang merasa aktivis! Untuk siapa semua aktifitasmu? Dengan apa kamu beraktifitas? Mahasiswa tak punya malu. Sombong dan merasa paling pintar. Tak punya malu, sombong, dan angkuh dalam pengetahuannya. Sudah baca berapa buku hingga kamu sok pintar? Sudah berapa lama kamu bergaul dengan masyarakat? Syukur-syukur di masyarakat kalian ikhlas. Parahnya kamu di masyarakat hanya mengikuti program kaum penindas. Wahai mahasiswa, maka perlulah kamu mengerti peranmu, alatmu, dan tujuanmu!
Sekarang bisa sedikit kau simak, wahai mahasiswa bagaimana hakikatmu. Kita mulai dari kebanyakan mahasiswa sekarang berorientasi pragmatis dan materialistis sehingga telah menggiring banyak mahasiwa pada aktivitas-aktivitas yang kurang relevansinya dengan kehidupan nyata, kurang peka dengan lingkungan sosial, dengan nasib orang-orang lemah, dan dengan kehidupan politik yang menghalalkan segala cara. Kebudayaan global dan pop culture di sisi lain sebagiannya telah menggiring orientasi dunia mahasiswa pada hal-hal yang bersifat hedonis, perayaan, dan hura-hura. Aktivitas hedonis dan pop culture yang seharusnya dikritisi justru menguat. Dunia mahasiswa sebagai kaum intelektual berubah menjadi dunia ABG (Anak Baru Gede).
Padahal mahasiswa adalah sebuah lapisan masyarakat terdidik yang menikmati kesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sesuai dengan perkembangan usianya yang secara emosional sedang bergejolak menuju kematangan dan berproses menemukan jati diri, dan sebagai sebuah lapisan masyarakat yang belum banyak dicemari kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis, alam pikiran mahasiswa beorientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran. Karena orientasi idealis dan pembelaannya pada kebenaran, sebagian ahli memasukkannya ke dalam kelompok cendekiawan (Arief Budiman 1983:150) yang menurut Julien Benda “whose activity not the pursuit of practical aims” atau seperti kata Lewis Coser ”tidak pernah puas dengan kenyataan sebagaimana adanya, mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada zamannya dan mencari kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas” (Lewis A. Coser 199: xvi). Orientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran membuat mahasiswa peka dan peduli terhadap persoalan-persoalan di lingkungannya terutama yang menyangkut bentuk-bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Kepedulian itu diekspresikan dalam bentuk-bentuk protes, menggugat hingga demonstrasi. Perhatian ini kemudian tak bisa dipisahkan dari mereka dan menempatkannya sebagi pendekar sosial. Berhubung sebagai pendekar sosial gerakan mahasiswa bersifat massal, maka dampak politik mahasiswa sering tidak terhindarkan dalam berbagai komunitas masyarakat atau negara. Dalam konteks inilah, mahasiswa sering berperan mewarnai perkembangan masyarakat, perubahan sosial, dan kehidupan politik.
Dalam era reformasi, sifat gerakan mahasiswa relatif berubah dari “konflik vertikal” yaitu mahasiswa vis a vis represi negara ke “konflik horizontal” antara kelompok mahasiswa sendiri. Ketika kekuasaan otoriter sudah tumbang, tantangan-tantangan luar dan koersi sosial politik negara berkurang, gerakan mahasiswa pun melunak. Walaupun agenda reformasi masih belum selesai, tantangan mereka pun berubah bukan lagi tantangan-tantangan eksternal negara melainkan bergeser menjadi konflik internal antar mereka sendiri. Dalam banyak hal, konflik mahasiswa telah bergeser ke orientasi primordial, kelompok dan golongan serta kepentingan-kepentingan praktis lainnya. Di perguruan tinggi “sekuler” konflik antar ideologi mahasiswa dan antar-kelompok menggantikan orientasi perjuangan sosial mahasiswa. Di lingkungan perguruan tinggi yang latar belakang mahasiswanya relatif homogen, seperti PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri), konflik mahasiswa terjadi di atas basis-basis keormasan yang berbeda seperti NU–Muhammadiyah, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)–Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Berhubung tidak menemukan “media konflik” yang lain atau common enemy, maka organisasi-organisasi dari lingkungannya sendiri menjadi media satu-satunya sebagai wadah agresi politik yang kemudian memunculkan benturan kepentingan yang ironis bagi dunia kemahasiswaan. Konflik-konflik primordial itu berkepanjangan dan diwariskan ke generasi berikutnya.
“Gerakan mahasiswa kadang terjebak dalam situasi sulit, untuk membedakan antara bergerak menegakkan moralitas, atau untuk kepentingan politik kekuasaan.”
Studi kasus kubu yang menuntut Jokowi-JK mundur adalah yang tidak menghadiri atau tidak diundang makan malam bersama Jokowi di istana. Pihak yang ingin mempertahankan Jokowi-JK adalah yang diundang makan malam dan berdialog dengan Jokowi beberapa waktu lalu. Kabarnya dialog itu berjalan santai namun konstruktif, sehingga berakhir dengan acara selfie dan foto bersama Jokowi. Dengan adanya hal tersebut, muncul cibiran mahasiswa yang menuntut Jokowi-JK mundur karena tidak diundang ke istana. Sebaliknya, yang tidak menuntut mundur karena sudah “diredam” di istana. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan anggapan bahwa kedua kelompok mahasiswa ini tidak memiliki substansi nalar cukup memadai dalam gerakan politiknya.
Maka ketika melihat situasi seperti itu, ada sedikit pandangan terkait pendekatan-pendekatan yang mungkin bisa dipakai oleh mahasiswa dalam perubahan sosial.
- Pendekatan esoterik biasanya kita akan memasuki wilayah substantif, berupa kajian tentang substansi gerakan dan banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-menerus. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah orientasi perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang melingkupi perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana yang diharapkan akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana dengan visi yang jelas merupakan modal yang sangat berharga dalam merumuskan orientasi perubahan.
- Pendekatan eksoterik, membuat kita memasuki wilayah praksis gerakan. Ia akan berproses dalam persoalan strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan ini tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah strategis taktis sebuah gerakan.
Dari pendekatan di atas, maka kita akan bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa akan terpola dalam dua pola besar yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua, yakni gerakan moral dan gerakan politik. Gerakan moral (moral force) biasanya dipersepsikan sebagai sebuah gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral universal, yakni nilai kebenaran, keadilan, demokratisasi, Hak Azasi Manusia (HAM), dan sebagainya. Sebuah gerakan moral biasanya tidak masuk dalam wilayah kepentingan politik praktis dengan saling dukung-mendukung terhadap kekuatan kelompok tertentu (power block). Mereka hanya mendukung kepentingan nilai yang menurut mereka bagus. Dengan demikian, kalau misalnya sebuah partai politik (parpol) mengedepankan nilai-nilai keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka mereka akan mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan mendukung kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata parpol tersebut tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar moralitas yang dimaksud, maka sebuah gerakan moral akan menarik dukungannya, bahkan melawannya. Jadi, ringkasnya sebuah gerakan moral adalah gerakan yang mendukung untuk memperjuangkan nilai-nilai dengan ukuran moralitas tertentu. Di sinilah independensi gerakan mahasiswa akan terlihat. Mahasiswa bukan subordinat kekuatan politik tertentu.
- Menyeimbangkan orientasi
Mahasiswa tidak harus meninggalkan orientasi keilmuan sebagai tugas utamanya. Tapi, perhatian mahasiswa harus diperlebar, tidak hanya berkutat pada orientasi perkuliahan dan keilmuan tapi pada orientasi lingkungan dan sosial sebagai tugas-tugas kecendekiaan dan intelektual. Dengan demikian, hasil studi akan menemukan aplikasinya dalam kehidupan dan keberadaan kampus akan lebih dirasakan manfaatnya oleh lingkungan sosial dan masyarakat. Juga, eksistensi mahasiswa sebagai kekuatan moral akan lebih terasa maknanya. Kampus dan mahasiswa akan lebih terlibat dengan persoalan-persoalan lingkungan dan pembangunan masyarakat dan bangsa.
- Memupuk idealisme
Idealisme adalah modal utama mahasiswa. Mahasiswa tanpa idealisme sangat berbahaya. Ia akan tumbuh menjadi insan-insan pragmatis, generasi membebek yang tak punya greget, kreatifitas dan keberanian dalam hidupnya. Mahasiswa tidak boleh terjebak hanya pada urusan-urusan intern kampus yang sibuk seputar persoalan administrasi perkuliahan dan politik lokal kampus. Banyak kampus dan aktifitas kemahasiswaannya disibukkan oleh persoalanpersoalan politik praktis di kampusnya sendiri. Ini melemahkan orientasi masyarakat yang lebih luas diluar kampus. Mahasiswa sering dihadapkan pada perebutan pengaruh, kekuasaan, jabatan dan fasilitas di kampusnya masingmasing. Mahasiswa yang pragmatis dan oportunis, banyak yang sibuk dalam pertarungan praktis memperebutkan orientasi material yaitu kedudukan dan jabatan. Banyak mahasiswa menghayati hal ini sebagai sebuah persoalan yang serius karena dianggap mempengaruhi nasib hidupnya setelah keluar kampus.
- Deprimordialisasi
Deprimordialisasi dikembangkan melalui program-program pembaruan pandangan keagamaan. Harus dirintis dan dikembangkan aktifitas-aktifitas mahasiswa yang berorientasi pada pembaruan faham-faham keagamaan dan “keluar” dari kungkungan kelompok dan membatasi ikatan primordial. Dikembangkan kegiatan-kegiatan yang berorientasi lebih luas, lebih luhur dari sekadar kelompok kegamaan untuk kepentingan kelompok, jabatan dan kedudukan.
- Dematerialisasi
Ciri mahasiswa sebagai kelompok cendekiawan seperti dijelaskan dimuka adalah orientasi non-material. Dewasa ini, gaya hidup modern, fasilitas yang mudah bahkan mewah, kecenderungan pragmatis dan material mahasiswa hanya akan melahirkan generasi yang manja dan melemahkan daya juang. Maka, untuk menumbuhkan kembali sense of belonging- nya pada persoalan masyarakat di luar dirinya, gerakan dan aktifitas mahasiswa harus diarahkan kembali pada orientasi non-material dan non-pragmatis dengan mengutamakan aktifitas yang menghidupkan dan memupuk nilai-nilai dan idealisme.
- Menciptakan hegemoni politik baru
Dalam teorinya tentang cultural capital, dalam masyarakat modern, menurut Bourdie –pemikir Posmodern asal Perancis– lembaga pendidikan telah berfungsi sebagai institusi untuk mempertahankan kekuasaan. Kelompok dominan (penguasa) membuat strategi pendidikan (kurikulum, tujuan pendidikan, struktur ekonomi) untuk menggiring anak-anak didik mereka memasuki struktur ekonomi dan masyarakat yang diciptakan oleh kelompok dominan. Produk pendidikan tidak punya alternatif lain kecuali memasuki struktur ekonomi yang diciptakan penguasa dimana kelompok dominan dengan mudah melakukan kontrol. Kecenderungan umum sarjana-sarjana S1 setelah lulus perguruan tinggi adalah bekerja di kantor-kantor pemerintah, menjadi pegawai negeri, di lembaga pendidikan, perusahaan swasta dan lain-lain, yang semua struktur ekonomi tersebut adalah konstruksi kelompok dominan. Dari perspektif inilah, bisa dibaca mengapa agenda reformasi masih susah untuk dijalankan, karena pusat-pusat kekuasaan masih didominasi dan dikontrol oleh kelompok dominan dalam negara. Bila setuju dengan Bourdie, mahasiswa harus menciptakan hegemoni politik baru dimana strategi dan sistem pendidikan berorientasi pada produksi manusia-manusia unggul, yang memiliki idealisme, yang bisa membawa perubahan masyarakat, yang hidupnya diabdikan untuk kepentingan umum, bukan orientasi praktis dan pragmatis yang hanya mementingkan diri sendiri..
Sementara gerakan politik merupakan gerakan untuk melakukan perubahan politik dengan berpihak pada kekuatan politik tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai lokomotif politik mahasiswa. Mereka tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-lobi politik dengan kekuatan politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu dilakukan sebagai strategi untuk mencapai perubahan. Mereka mengkritik gerakan moral sebagai ketakutan untuk bersentuhan dengan kepentingan politik, dan hanya mampu melakukan himbauan moral. Keberpihakan pada kekuatan politik tertentu secara riil tidak apa-apa, sepanjang ide-ide perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan dengan mereka. Dalam kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa bahkan berubah menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.
Gerakan mahasiswa hanya akan berhasil bila bertemu dengan kelompok intelektual radikal yang menopang gerakan mereka. Menurut George Rude, seorang teoritisi sosial kritis, dalam bukunya Ideology and Popular Protest (1995), sebuah gerakan sosial politik atau revolusi hanya akan berhasil bila merupakan kolaborasi kuat antara “inherent ideology of common people” (ideologi yang hidup di masyarakat) dengan “radical ideologies of intellectuals” (ideologi ideologi radikal kaum intelektual).
Daftar Pustaka
Arief Budiman, 1983. ‘Peranan Mahasiswa sebagai Inteligensia,’ dalam Aswab Mahasin dan Ismet Natsir (peny.) Cendekiawan dan Politik, LP3ES,.
Bourdier, Pierre and Jean-Claude Passeron. 1977. Reproduction in Education, Society, and Culture. London and Beverly Hills: Sage.
George Rudé, 1995. Ideology & Populer Protest, The University of North Caroline Press Chapel Hill and London,
Lewis A. Coser, 1997. Men of Ideas. A Sociological View, A Free Press Paperback Classic Published by Simon & Schuster,
Eggi Sudjana, 1995, Transformasi Gerakan Politik Mahasiswa Indonesia, Jurnal Universal, Jakarta.
Editor: Tuti Astha3