Hukum Shalat Arbain, Safar, dan Rawatib bagi Musafir
![shalat arbain](https://pwmjateng.com/wp-content/uploads/2025/02/Gambar-WhatsApp-2025-02-12-pukul-00.03.24_0f4c594f.jpg)
PWMJATENG.COM, Surakarta – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menggelar Kajian Tarjih, sebuah forum akademik yang membahas persoalan keislaman berdasarkan fatwa dan dalil yang kuat. Dalam kajian yang berlangsung pada Selasa (11/2) tersebut, tiga isu utama menjadi sorotan, yakni hukum Shalat Arbain, dasar hukum Shalat Sunnah Safar, dan hukum Shalat Rawatib bagi musafir. Kajian ini menghadirkan Imron Rosyadi, Kepala Lembaga Pengembangan Pondok Islam dan Kemuhammadiyahan (LPPIK) UMS, sebagai narasumber utama.
Dalam pemaparannya, Imron menegaskan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah memegang prinsip bahwa segala bentuk ibadah harus memiliki landasan dalil yang sahih. Oleh karena itu, setiap fatwa tarjih harus didasarkan pada dalil yang kuat, bukan sekadar tradisi yang berkembang di masyarakat.
Salah satu topik utama dalam kajian ini adalah Shalat Arbain, yaitu ibadah yang dilakukan selama 40 waktu berturut-turut di Masjid Nabawi. Praktik ini banyak dilakukan oleh jamaah haji, yang merujuk pada hadis dari Anas bin Malik mengenai keutamaan shalat 40 waktu secara terus-menerus di masjid tersebut. Namun, menurut Imron, Majelis Tarjih Muhammadiyah menilai hadis ini berstatus dha’if, sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum yang kuat.
Sebagai gantinya, Muhammadiyah lebih berpegang pada hadis lain yang menyatakan bahwa shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan setara dengan 1.000 kali shalat di tempat lain. Dengan demikian, warga Muhammadiyah tetap dianjurkan untuk shalat di Masjid Nabawi, namun bukan dalam rangka menjalankan Shalat Arbain, melainkan untuk memperoleh keutamaan shalat di masjid tersebut.
Dalam pembahasan selanjutnya, Imron mengulas hukum Shalat Sunnah Safar, yaitu shalat sunnah yang dilakukan sebelum berangkat atau setelah kembali dari perjalanan jauh. Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah Jilid 1, disebutkan bahwa dasar hukum shalat ini merujuk pada dua hadis utama, yaitu hadis Jabir bin Abdullah dan hadis Ibnu Mas’ud.
Baca juga, Belajar dari Surah Al-Fajr: Kesombongan Membawa Kehancuran, Takwa Mengundang Kemuliaan
Hadis Jabir bin Abdullah menyebutkan bahwa Rasulullah SAW selalu mengerjakan dua rakaat shalat setelah kembali dari perjalanan. Sementara itu, hadis Ibnu Mas’ud menegaskan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan seseorang yang hendak bepergian untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Meskipun hadis-hadis ini menggunakan fi’il amr (kata kerja perintah), Majelis Tarjih tetap memahami bahwa hukum shalat ini adalah sunnah, bukan wajib.
Topik terakhir yang dibahas dalam kajian ini adalah hukum Shalat Rawatib bagi musafir. Shalat rawatib merupakan shalat sunnah yang dilakukan sebelum atau sesudah shalat fardu. Berdasarkan fatwa Tarjih yang diterbitkan dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 2 Tahun 2014, shalat bagi musafir tidak dibatasi oleh jarak atau waktu tertentu.
Imron menjelaskan bahwa dalam sebuah riwayat, Ibnu Umar menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak menambah shalat lebih dari dua rakaat saat dalam perjalanan. Namun, di sisi lain, riwayat dari Nafi’ menunjukkan bahwa Ibnu Umar tetap mengerjakan shalat sunnah fajar (qabliyah Subuh) dan witir saat safar. Dari perbedaan riwayat ini, mayoritas ulama sepakat bahwa shalat sunnah rawatib boleh ditinggalkan saat safar, kecuali qabliyah Subuh yang tetap dianjurkan.
Dalam kesimpulannya, Imron menegaskan bahwa musafir diperbolehkan untuk meninggalkan shalat sunnah rawatib, namun jika ada kelapangan waktu, sangat dianjurkan untuk tetap melaksanakannya. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang memberikan keringanan dalam ibadah bagi mereka yang sedang dalam perjalanan.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha