Zakiyuddin Baedhawy Paparkan Makna Derma dalam Bingkai Tauhid dan Islam Berkemajuan

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah tausiyah yang menggugah, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Zakiyuddin Baedhawy, menyampaikan pandangan mendalam tentang kedermawanan dalam perspektif Islam berkemajuan. Ia menegaskan bahwa jihad di jalan Allah tidak hanya dimaknai sebagai perjuangan fisik, tetapi juga meliputi pengorbanan harta benda. Dalam konteks ini, filantropi Islam seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf, menjadi instrumen utama dalam membumikan ajaran jihad secara sosial-ekonomis.
Zakiyuddin merujuk kepada Surah As-Shaff ayat 10-11, di mana Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ (10) تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ (11)
Ayat ini, menurutnya, menekankan dua hal utama sebagai bentuk perdagangan yang menyelamatkan dari azab pedih: beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa. Namun menariknya, Allah mendahulukan kata “bi-amwālikum” (dengan harta kalian) sebelum “bi-anfusikum” (dengan jiwa kalian). Hal ini, menurut Zakiyuddin, bukan tanpa makna.
Ia mengutip pandangan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, bahwa ujian pertama dalam keimanan adalah sejauh mana seseorang berani mengorbankan hartanya demi kemaslahatan umat. “Kalau kamu mengaku beriman, apakah kamu sanggup menyisihkan hartamu untuk perjuangan di jalan Allah?” ujar Zakiyuddin mengutip pendiri Muhammadiyah itu.
Kedermawanan sebagai Ukuran Keimanan
Lebih jauh, ia menyampaikan bahwa tantangan terbesar umat Islam di era modern bukan hanya soal akidah, tetapi juga praktik nyata dari keimanan tersebut. Salah satunya adalah sikap terhadap harta. Dalam praktiknya, banyak orang yang merasa berat untuk membayar zakat, apalagi jika nominalnya besar. “Kalau kita punya tabungan satu miliar rupiah, maka zakat malnya adalah Rp25 juta. Angka itu besar jika hati belum terbiasa derma,” jelasnya.
Namun, Allah tidak membiarkan pengorbanan itu berlalu tanpa imbalan. Dalam Surah An-Nahl ayat 97, Allah berjanji:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Ayat ini menjadi dasar bahwa amal saleh, termasuk filantropi, akan dibalas oleh Allah dengan kehidupan yang baik. Namun, Zakiyuddin menegaskan bahwa amal tersebut hanya diterima bila didasari oleh keimanan yang lurus dan tauhid yang murni.
Baca juga, Masukhi: Ibadah Haji Bukan Sekadar Ritual Fisik, Melainkan Upaya Spiritual untuk Mencari Rida Allah
“Kalau memberi tanpa iman, walau jumlahnya triliunan rupiah, di mata Allah tidak bernilai,” tegasnya. Tauhid adalah fondasi segala amal. Derma yang tak didasari oleh keimanan ibarat bangunan tanpa pondasi—tidak akan berdiri kokoh dan sia-sia di hadapan Tuhan.
Tata Kelola Zakat yang Sesuai Syariat
Dalam ceramahnya, Zakiyuddin juga menyoroti pentingnya pengelolaan zakat sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an. Ia mengingatkan bahwa masih banyak umat yang mengeluarkan zakat secara langsung tanpa melalui lembaga amil. Padahal, dalam Surah At-Taubah ayat 60, Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا…
Ayat ini menyebut secara eksplisit delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, dan salah satunya adalah “al-‘āmilīna ‘alayhā”—yakni para pengelola zakat. Dengan kata lain, pengelolaan zakat seharusnya dilakukan melalui institusi atau lembaga resmi yang profesional.
“Jangan gengsi menjadi amil zakat,” ujarnya. “Karena SK-nya langsung dari Allah melalui Surah At-Taubah ayat 60. Kalau di Muhammadiyah, bisa sekalian dapat SK dari Lazismu,” katanya sambil berseloroh.
Menurutnya, kemajuan dalam pengelolaan dana sosial Islam meniscayakan adanya sistem yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan. Zakat yang dikelola lembaga seperti Lazismu tidak hanya disalurkan, tetapi juga diberdayakan untuk pembangunan ekonomi umat.
Filantropi sebagai Pilar Islam Berkemajuan
Zakiyuddin kemudian menautkan tema ini dalam kerangka besar Risalah Islam Berkemajuan. Ia menegaskan bahwa filantropi harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan agar terus relevan dan berdampak nyata. Ini adalah bagian dari ijtihad dan tajdid (pembaharuan) dalam praktik beragama.
Ia mengajak umat untuk memandang zakat, infak, dan wakaf sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pemberdayaan umat. Untuk memudahkan pemahaman, ia memberikan ilustrasi segitiga:
- Wakaf diibaratkan sebagai infrastruktur atau kendaraan.
- Zakat adalah sopirnya—yaitu SDM yang diberdayakan.
- Infak menjadi bahan bakar atau operasional.
“Mobil tidak akan bisa jalan kalau tidak ada sopir, dan tidak akan laju kalau tidak ada bensin,” ujarnya. Analogi ini menunjukkan bahwa ketiga bentuk filantropi tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Derma yang Memerdekakan
Pada akhirnya, Zakiyuddin menekankan bahwa praktik filantropi yang benar akan membentuk masyarakat Islam yang berdaya, mandiri, dan maju. Derma bukan hanya tentang memberi, tetapi tentang memerdekakan—diri sendiri dari keserakahan, dan umat dari ketergantungan. Semua itu hanya akan bermakna jika dijalankan dalam bingkai tauhid, iman, dan keikhlasan.
“Semakin besar derma kita, semakin besar pula potensi keberkahan yang Allah berikan,” pungkasnya.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha