Khazanah IslamPWM Jateng

Urf dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Antara Tradisi dan Sumber Hukum Islam

PWMJATENG.COM – Dalam kajian metodologi tarjih Muhammadiyah, keberadaan ‘urf’ atau tradisi masyarakat mendapat perhatian penting sebagai salah satu sumber paratekstual dalam pengambilan hukum Islam. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abdul Fattah Santoso, dalam ceramahnya yang menyoroti kedudukan ‘urf’ dalam sistem Manhaj Tarjih.

Menurut Fattah, Manhaj Tarjih merupakan metodologi ijtihad khas Muhammadiyah yang terdiri atas empat komponen utama: wawasan, sumber ajaran, pendekatan, dan metode teknis. Urf masuk dalam kategori sumber paratekstual, bukan sebagai sumber pokok seperti Al-Qur’an dan Sunah, tetapi sebagai unsur yang menyertai teks utama.

Istilah “paratekstual” dalam Manhaj Tarjih merujuk pada elemen-elemen pendukung di sekitar teks utama, seperti ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahat mursalah, pendapat sahabat, syariat umat terdahulu, dan termasuk urf. Abduh menjelaskan bahwa istilah ini sepadan dengan istilah “paralegal” dalam ranah hukum—yakni entitas yang mendampingi unsur pokok hukum.

Secara bahasa, urf berasal dari akar kata ‘ع ر ف’ (ain-ra-fa) yang juga membentuk kata seperti ‘ma’ruf’ dan ‘Arafah’. Kata ma’ruf bermakna hal yang baik, dikenal, dan diterima akal sehat. Ini menjadi relevan ketika dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menegaskan pentingnya ma’ruf dalam interaksi sosial:

“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”

“Jadilah pemaaf, perintahkan kepada yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Dalil ini memperkuat posisi urf dalam Islam sebagai sesuatu yang dikenal masyarakat dan diterima sebagai kebaikan.

Dalam praktiknya, Rasulullah ﷺ sendiri merujuk pada tradisi sebagai pertimbangan hukum. Abduh mencontohkan peristiwa ketika Hindun binti Utbah mengadu kepada Nabi bahwa suaminya, Abu Sufyan, tidak memberikan nafkah yang layak. Nabi menjawab:

“خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ”

“Ambillah (harta suamimu) sekadar yang cukup untukmu dan anakmu secara ma’ruf.”
(HR. Bukhari dari Aisyah)

Hadis ini menunjukkan legitimasi tradisi masyarakat dalam hukum Islam selama tidak bertentangan dengan nash.

Contoh lain adalah standar timbangan dan takaran dalam perdagangan. Rasulullah ﷺ bersabda:

“الْوَزْنُ وَزْنُ أَهْلِ مَكَّةَ، وَالْمِكْيَالُ مِكْيَالُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ”

“Timbangan adalah timbangan penduduk Mekkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah.”
(HR. Abu Daud dari Ibnu Umar)

Menurut Fattah, Nabi menyesuaikan hukum dengan kebiasaan yang berlaku. Penduduk Mekkah dikenal sebagai pedagang, sementara Madinah masyarakat agraris, sehingga urf mereka menjadi standar dalam jual beli.

Baca juga, Keluarga sebagai Tiang Utama Kehidupan: Refleksi Nilai-Nilai Islami dalam Pembinaan Anak dan Peran Muhammadiyah

Dalam konteks fiqih, prinsip “العادة محكمة” (Al-‘adah muhakkamah) menjadi kaidah pokok yang menyatakan bahwa adat bisa dijadikan dasar hukum. Abduh mengutip pendapat dua ulama klasik: Al-Jurjani dan An-Nasafi, yang sama-sama mendefinisikan urf sebagai kebiasaan masyarakat yang mantap dalam hati, diterima akal budi, dan tidak bertentangan dengan kodrat manusia.

Majelis Tarjih Muhammadiyah sendiri merumuskan urf sebagai “kebiasaan dalam masyarakat yang telah berlaku umum.” Namun, tidak semua kebiasaan dapat dijadikan dasar hukum. Abduh menyebutkan empat syarat utama agar urf dapat diterima sebagai dasar hukum Islam: dirasa mantap dalam hati, diterima akal budi, tidak bertentangan dengan kodrat manusia, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah.

Sebagai contoh, tradisi halal bihalal di Indonesia setelah Idulfitri termasuk urf yang memenuhi keempat syarat tersebut. Tradisi ini mengedepankan silaturahmi, saling memaafkan, dan mempererat ukhuwah Islamiyah. Hal ini tidak bertentangan dengan syariat, bahkan sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Dalam praktik legislasi, urf juga dapat diadopsi melalui peraturan perundang-undangan yang telah lama berlaku dan diterima secara luas. Dalam hal ini, disebut sebagai urf qawni (عرف قانوي), yakni kebiasaan konstitusional. Syaratnya, ketentuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash, atau jika ada nash, maka nash itu dapat ditafsirkan ulang demi kemaslahatan.

Abduh mengutip contoh fatwa tarjih tentang perceraian. Dalam fatwa itu, perceraian dianggap sah hanya jika diucapkan di hadapan hakim. Ini berdasarkan maslahat agar perempuan dan anak tidak dirugikan, sekaligus merujuk pada Undang-Undang Perkawinan di Indonesia yang mengatur hal tersebut.

Namun, urf hanya dapat digunakan dalam ranah muamalah (interaksi sosial), bukan dalam akidah dan ibadah. Dalam akidah dan ibadah, setiap amal sudah diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunah. Muamalah lebih fleksibel karena terkait dengan hubungan antar-manusia yang dinamis.

Secara historis, banyak ajaran Islam berasal dari urf masyarakat Arab sebelum Islam. Ibadah haji, puasa, perdagangan, hingga khitanan, merupakan warisan budaya yang diadopsi dengan penyempurnaan oleh Islam. Namun, tidak semua tradisi diadopsi. Praktik riba dan perlakuan buruk terhadap perempuan, misalnya, justru dihapus oleh Islam.

Fattah menegaskan bahwa para sahabat seperti Umar bin Khattab juga tidak segan mengadopsi sistem administrasi dari Kekaisaran Bizantium, seperti penanggalan Hijriah, sebagai bentuk urf baru yang diperlukan dalam konteks kekhalifahan Islam.

Demikian pula para imam mazhab. Imam Malik banyak merujuk pada praktik masyarakat Madinah dalam fatwanya. Imam Syafi’i bahkan mengubah sebagian fatwanya ketika pindah dari Baghdad ke Mesir karena perbedaan urf di kedua wilayah tersebut.

Dengan demikian, urf dalam pandangan Muhammadiyah bukan sekadar adat, tetapi bagian dari sistem hukum Islam yang rasional, kontekstual, dan maslahat. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariat, urf dapat menjadi instrumen penting dalam merespons dinamika zaman dan kehidupan masyarakat.

Kontributor : M Raffiza Setiaaji
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE
#
https://adsii.or.id/sdm/pkvgames/https://adsii.or.id/sdm/bandarqq/https://adsii.or.id/sdm/dominoqq/https://lp3ibandaaceh.id/assets/pkvgames/https://lp3ibandaaceh.id/assets/bandarqq/https://lp3ibandaaceh.id/assets/dominoqq/https://www.northforeland.co.uk/js/pkvgames/https://www.northforeland.co.uk/js/bandarqq/https://www.northforeland.co.uk/js/dominoqq/https://argenerasiunggul.id/unggul/pkvgames/https://argenerasiunggul.id/unggul/bandarqq/https://argenerasiunggul.id/unggul/dominoqq/https://beliisuzu.com/cd/pkvgames/https://beliisuzu.com/cd/bandarqq/https://beliisuzu.com/cd/dominoqq/https://cheersport.at/doc/pkv-games/https://cheersport.at/doc/bandarqq/https://cheersport.at/doc/dominoqq/https://baznassurabaya.id/cgi/pkv-games/https://baznassurabaya.id/cgi/bandarqq/https://baznassurabaya.id/cgi/dominoqq/https://tanjungsepang.com/ts/pkvgames/https://tanjungsepang.com/ts/bandarqq/https://tanjungsepang.com/ts/dominoqq/https://www.sna.org.ar/fuente/pkvgames/https://www.sna.org.ar/fuente/bandarqq/https://www.sna.org.ar/fuente/dominoqq/https://revistas.pge.sp.gov.br/docs/pkvgames/https://revistas.pge.sp.gov.br/docs/bandarqq/https://revistas.pge.sp.gov.br/docs/dominoqq/https://noorarfa.com/baku/dominoqq/https://noorarfa.com/baku/bandarqq/https://noorarfa.com/baku/pkvgames/
toto macausitus toto slot