
PWMJATENG.COM – Dalam sebuah ceramah yang menggugah, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, mengajak umat Islam untuk merenungkan kembali makna keulamaan yang autentik. Menurutnya, ulama sejati adalah mereka yang menguasai ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk kemaslahatan umat, bukan semata yang berpenampilan agamis atau terjun dalam diskursus fikih semata.
Hisyam mengawali refleksinya dengan merujuk pada karya monumental The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History karya Michael Hart. Di dalam buku itu, Nabi Muhammad Saw. menempati posisi pertama sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah dunia, mengungguli tokoh besar seperti Isaac Newton di posisi kedua dan Yesus Kristus yang justru berada di peringkat keempat. “Ini menunjukkan betapa luar biasanya sosok seperti Newton. Bahkan, ilmuwan yang hanya memperhatikan buah apel jatuh pun mampu merumuskan hukum gravitasi yang mengubah dunia,” ujar Hisyam dalam ceramahnya.
Namun, dalam pandangan Islam, pengagungan terhadap ilmu pengetahuan tidak berhenti pada hasil penemuan semata, melainkan harus bermuara pada keimanan. Inilah karakter utama dari ulul albab, sekelompok manusia yang dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai mereka yang berpikir secara mendalam dan senantiasa mengingat Allah dalam berbagai keadaan.
Allah berfirman:
ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَـٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَـٰطِلًۭا ۚ سُبْحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
“Ulul albab adalah mereka yang mengingat Allah saat berdiri, duduk, maupun berbaring, dan memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran: 191)
Hisyam menekankan bahwa keberadaan ulul albab bukan sekadar simbol kesalehan, melainkan representasi akal sehat yang senantiasa terhubung dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberpihakan terhadap kehidupan. “Ilmu pengetahuan sejatinya digunakan untuk memuliakan manusia, bukan untuk memusnahkan sesamanya,” tegasnya.
Dalam konteks kontemporer, ia menyinggung ironi penggunaan ilmu untuk kehancuran, sebagaimana yang dilakukan oleh rezim Zionis Israel terhadap rakyat Gaza. Teknologi canggih, aplikasi mutakhir, bahkan perusahaan besar dunia seperti Microsoft dituding turut berkontribusi dalam menguatkan kekuatan militer Israel. “Ilmu yang seharusnya membawa berkah, justru menjadi alat untuk membunuh anak-anak tak berdosa,” ungkapnya prihatin.
Mengamati fenomena alam juga menjadi titik tekan ceramah tersebut. Mengapa umat Islam jarang merenungkan hujan yang turun, laut yang luas, atau gelombang air yang bisa dimanfaatkan sebagai energi alternatif? “Allah telah memberi tanda-tanda kekuasaan-Nya, namun manusia sering mengabaikannya. Padahal, satu kepak sayap kupu-kupu pun bisa memengaruhi badai di belahan bumi lain,” ujarnya, mengacu pada teori chaos dan kausalitas dalam fisika modern.
Baca juga, Menghidupkan Wakaf Muhammadiyah: Dari Aset Menganggur ke Amal Produktif
Hisyam juga mengangkat kisah Maryam Mirzakhani, ilmuwan matematika asal Iran yang menemukan kejeniusannya setelah keluar dari negaranya. Mirzakhani, perempuan Muslim pertama peraih Fields Medal, justru mendapatkan pengakuan luas di Amerika Serikat. Hal yang sama juga terjadi pada Profesor Abdus Salam, fisikawan Muslim asal Pakistan, yang meraih Nobel di Italia, bukan di tanah kelahirannya.
“Pemikir-pemikir besar seperti Fazlur Rahman pun justru menemukan kecemerlangan intelektual saat berada di Barat. Di negara asalnya, mereka tak selalu mendapatkan tempat,” tambahnya. Fenomena ini, menurut Hisyam, menunjukkan bahwa dunia Islam harus mengevaluasi cara pandangnya terhadap ilmu dan ilmuwan. Banyak tokoh Muslim yang tercerahkan setelah mendapat lingkungan yang menghargai ilmu, bukan tradisi semata.
Mengutip Al-Qur’an surat Fatir, ia menegaskan bahwa tanda-tanda kebesaran Allah tercermin dalam fenomena hujan, gunung, dan warna-warni tanaman serta makhluk hidup lainnya:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءًۭ فَأَخْرَجْنَا بِهِۦ ثَمَرَٰتٍۢ مُّخْتَلِفًا أَلْوَٰنُهَا ۚ وَمِنَ ٱلْجِبَالِ جُدَدٌۭ بِيضٌۭ وَحُمْرٌۭ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَٰنُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌۭ
“Tidakkah engkau melihat bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Kami mengeluarkan buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Di antara gunung-gunung juga terdapat garis-garis putih dan merah yang beragam warnanya serta yang hitam pekat.” (QS. Fatir: 27)
Fenomena ini menunjukkan kesempurnaan ciptaan Tuhan yang mengandung keindahan dan keteraturan luar biasa. Dari hujan yang turun, tumbuh tanaman dengan warna-warna yang tidak pernah ‘salah kombinasi’. “Tidak seperti manusia yang masih bisa salah pilih warna pakaian, tanaman tak pernah keliru memilih warna bunga,” ujar Hisyam diselingi canda reflektif.
Lebih lanjut, ia mengutip firman Allah:
إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fatir: 28)
Namun, ia menyoroti pemaknaan sempit terhadap kata ulama di Indonesia. “Istilah ulama telah terdistorsi menjadi hanya untuk ahli fikih atau pemuka agama di kampung. Padahal, ulama berasal dari kata alima yang berarti orang yang berilmu,” tegasnya.
Menurutnya, tokoh seperti B.J. Habibie lebih layak disebut sebagai ulama karena dedikasi dan kecerdasannya dalam memajukan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat. “Ulama seharusnya adalah mereka yang memaknai ilmu sebagai sarana ibadah, refleksi, dan pengabdian, bukan sekadar otoritas keagamaan.”
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha